Loading...
Logo TinLit
Read Story - Keadilan Hidup
MENU
About Us  

Apa kamu percaya dengan keadilan hidup? Atau malah menurutmu hidup ini tidak pernah adil? Tentu saja semua orang pernah berpikiran yang sama. Tetapi dulu, aku selalu berpikir bahwa hidup ini tidak pernah adil. Saat itu aku masih pada masa-masa labilku. Aku belum dapat berpikir luas dan ke depan. Aku saat itu adalah seorang egois yang hanya memikirkan diriku sendiri tanpa membuka mata untuk keadaan lainnya.

            Aku, Elenoir Elizabeth. Aku biasa di panggil Elena. 5 tahun lalu, tepatnya saat umurku baru menginjak 15 tahun, aku masuk ke salah satu sekolah swasta favorit di daerahku. Sekolahku cukup terbilang elit dan penuh dengan murid-murid cermelang. Tidak heran, persaingannya cukup ketat dan bergengsi. Aku sendiri sebenarnya bisa masuk ke sekolah tersebut berkat beasiswa yang susah payah ku dapatkan. Mungkin, kalau kamu baru tahu ceritaku sampai disitu kamu akan berpikir bagian mana yang aku katakana tidak adil dan berpikir seberapa tidak bersyukurnya aku bukan? Itu barulah awal dari semua yang dulu aku anggap ketidakadilan dalam hidupku. Semenjak hari pertama aku menginjakkan kaki di sekolah itu banyak ‘kejutan’ yang aku terima.

             “Hei! Ngelamun aja sih, El!” Itu Denandra Amelia atau Dena. Dia adalah orang pertama dan satu-satunya yang mau berkenalan denganku dan akhirnya menjadi sahabatku. Dia satu-satunya orang di sekolah itu yang menerima “si anak yang cuma hoki dapet beasiswa”, yaitu aku. Aku memang tidak berlatar belakang yang sama seperti kebanyakn siswa di sekolah tersebut. Ayahku hanya karyawan swasta biasa bukan manager atau direktur atau bahkan seorang pemilik suatu perusahaan tertentu. Dan ibuku biasanya bekerja di depan laptop, menjajakan kue-kue dan makanan-makanan unik lainnya yang ia buat sendiri di dunia maya. Bukan seperti ibu-ibu dari kebanyakan siswa di sini yang setiap ke sekolah pakaiannya sangat glamor dan tentunya tidak lupa dengan mobil yang luar biasa pula. Ya, samalah seperti orangtua Dena. Tetapi bedanya Dena tidak pernah menyombongkan dirinya. Itulah kenapa saat itu aku bersyukur pernah berteman dengannya. “Eh, sorry sorry. Abis lo lama banget sih ke kantinnya!” jawabku sesaat tersadar dari lamunanku. “Yaudah nih minum yang lo pesen, santai gausah diganti kayak sama siapa aja sih lo!” Dena memang selalu seperti itu. Dia selalu ikhlas berbagi kepada siapapun.

            Rasanya memang sangat sulit untuk bertahan hidup di sekolah ini. Bukan karena bullyan atau caci maki yang kudapatkan. Cara mereka bukanlah seperti itu. Lebih pada tatapan mata setajam elang, persaingan akademis yang ketat, serta mewahnya barang-barang yang mereka miliki. Mereka biasanya akan menatapku dari atas ke bawah kemanapun aku pergi. Aku tidak pernah bisa lepas dari tatapan mata mereka yang sanggat menggagu. Saat itu, beruntung aku punya Dena sebagai temanku yang setia hingga sampailah aku di semester 6, semester akhir di sekolahku. Tentu saja persaingan ketat tidak berhenti, bahkan semakin menjadi-jadi. Dan tidak lupa tatapan mata elang mereka juga tidak pernah berhenti. Sebab kami sudah akan mendekati penentuan kelulusan kami. Dan mereka juga harus berburu gelar untuk dapat melanjutkan bisnis orangtua mereka. Sedangkan aku, aku masih dengan beasiswaku berusaha sepenuhnya untuk menjadi yang terbaik hingga lulus. Sehingga setidaknya aku bisa membantu kedua orangtuaku sambil melanjutkan kuliah.

            Pagi itu, sudah 4 bulan semenjak semester 6, yang berarti minggu depan aku akan melaksanakan ujian. Pagi itu merupakan pagi yang cukup aneh menurutku. Sebab, ibu tidak membangunkan aku. Bahkan tidak ada suara nyaring spatula besi yang berlawanan dengan wajan yang biasa ibu lakukan di pagi hari. Tidak juga ada wangi sedap yang selalu membuatku berangkat sekolah. Rasanya pagi itu sungguh mencekam dan tepat setelah bangun tidur aku merasakan bahwa hari ini tidak akan seperti biasanya. Aku pun segera keluar dari kamarku. “Ibu? Ayah? Kok aku gak dibangunin sih?” Aku sedikit berseru tetapi hasilnya nihil tidak ada suara apa-apa. Aku pun mendekati kamar kedua orangtuaku. “Hari ini kamu buat sarapan sendiri ya, El.” Jawab ibuku sambil menahan tangisnya. Suara itu jelas dan tak pernah hilang dari pikiranku setiap harinya semenjak kejadian itu. “Bu? Ada apa? Ayah mana?” aku masuk ke kamar ibu dan mendapati barang berserakan di mana-mana. Ibu langsung memelukku erat sambil berucap, “Sekarang tinggal kita berdua, El. Ibu yakin kita berdua pasti kuat, El. El harus percaya pada ibu ya?” suara lirih ibuku membuatku tidak tahan untuk mengeluarkan air mata. Tetapi aku harus bisa mengguatkan ibu. Hari itu aku melewatkan sekolah. Siang harinya, kami membereskan kamar ibu bersama dan ibu menjelaskan semuanya padaku. Ayah meninggalkan ibu. Sebenarnya aku belum jelas mengetahui apa alasannya, tetapi saat ini yang aku fokuskan hanya ibuku dan akademisku. Malamnya aku masuk dan mengunci dengan pelan kamarku. Hari itu aku sangat marah. Aku marah karena lagi-lagi hidup tidak berlaku adil padaku. Aku marah karena ayahku meninggalkan aku di saat aku hampir menyelesaikan sekolahku. Aku marah karena ayahku marah kepada ibuku dan meninggalkannya sendirian tanpa alasan yang jelas. Yang jelas aku sangatlah marah dengan keadaan yang ada saat ini. “Hidup ini emang gak adil! Mana yang katanya hidup adil buat semua orang? Gue aja gak pernah ngerasa setitik kecipratan adilnya hidup! Gak guna!” Aku pun menangis sejadi-jadinya hingga terlelap.

            Keesokan harinya aku membuatkan ibu sarapan dan berangkat tanpa membangunkan ibu. Karena saat ini ayah sudah pergi, aku harus berkendara sendiri ke sekolah. Akibatnya, aku telat dan harus menunggu di ruang kepala sekolah sampai jam perlajaran pertama selesai. Pagi itu penampilanku sudah kacau akibat asap dan debu di jalan, belum lagi baju yang sudah acak-acakan akibat desak-desakan di bus umum yang kunaiki tadi. “Ini lagi siapa yang telat?” seruan kepala sekolah mengagetkanku dari lamunanku. “Maaf Pak, tadi saya harus nunggu kendaraan umum.” Ucapku dengan maksud menjelaskan alasanku. “Kamu tahu kan ini sekolah paling disiplin? Jangan sampai nama sekolah kita tercoreng gara-gara kamu ya! Awas kalau kamu telat lagi, beasiswa kamu saya cabut! Udah saya mau meeting dulu. Kamu diam di sini sampai jam pelajaran pertama selesai! Awas kalau kemana-mana!” ucap kepala sekolah sambil berlalu pergi. “Dih! Apa-apaan itu! Baru telat sekali aja udah ancam cabut beasiswa!” seruku dengan nada tinggi. Sisa kemarahanku kemarin akhirny terluap lagi dan semakin menjadi saat aku melihat suatu catatan di meja Bapak Kepala Sekolah. “Hah? Apa ini?” dengan penasaran aku membuka catatan tersebut, sebab sepintas terlihat nama panjang sahabatku, Dena. “Apa?!” teriakku. Aku takut ketahuan orang lain. Ternyata catatan itu berisikan nama-nama anak yang sudah membayar uang sogokan atas nilai mereka. Mengingat sebentar lagi akan dilaksanakan ujian. “Apa-apaan ini! Ini tidak adil! Ketidakadilan apa lagi selanjutnya?” ucapku teriak. Tiba-tiba seseorang masuk ke ruang Bapak Kepala Sekolah dan membekap mulutku. “Hei! Jadi kamu si anak beasiswa? Jangan sampai hal ini tersebar kemana-mana. Sampai hal ini tersebar saya akan laporkan hal ini kepada bos saya dan dia pasti akan mencabut beasiswa kamu. Jadi jangan macam-macam.” Katanya dengan tegas sambil menunjukan video aku yang sedang membuka catatan tersebut. Ternyata dia adalah bodyguard dari Bapak Kepala Sekolah. Tentu saja mengingat kondisi ibuku, aku tidak menyebarkan ke siapa-siapa.

            Sepanjang sisa hariku bersekolah, aku tidak pernah lagi berbicara dengan Dena sejak aku tahu hal tersebut. Ternyata dia tidak sebaik yang aku kira. Aku salah menilai orang. Rasanya saat ini di dunia ini tidak ada lagi orang yang baik kepadaku selain ibuku sendiri. Minggu depannya aku menjalani ujianku dan berusaha sebaik-baiknya. Di hari kelulusan aku memang tidak mendapat peringkat satu tetapi setidaknya aku bisa mendapatkan peringkat tiga. Setelah itu rasanya aku sangat lega telah keluar dari tempat itu. Hingga suatu hari aku tersadar. Aku sedang melihat ibuku bersusah payah membuat kue di dapur. Aku pun mulai berpikir, posisi ibuku lebih sulit dibandingkan posisi aku. Ibu harus berjuang sendirian menghidupi aku. Tetapi aku yang selalu menggangap hidup itu tidak adil memiliki ibu yang luarbiasa. Pikiranku juga melayang pada Dena. Mungkin itu bukan kemauan Dena bahkan diluar hal yang Dena ketahui. Padahal Dena sudah berusaha belajar sekeras mungkin. Ya, dan memang Dena pernah cerita tentang keluarganya yang walaupun utuh tetapi sangat jarang memperhatikan Dena. Begitu juga dengan Ayah. Mungkin Ayah punya alasan mendesak tertentu yang membuat ia harus memnentukan pilihan.

Semakin lama akupun mulai belajar untuk melihat hal-hal di hidup ini tidak hanya dari satu segi saja. Hidup mungkin memang tidak selamanya adil, tapi hal itu berlaku dengan semua orang. Itulah mengapa berpikiran luas itu sangat diperlukan. Saat ini, setiap harinya aku berusaha menjadi orang yang jauh lebih baik lagi.

Tags: rc18

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perbedaan Itu Indah?
270      223     0     
Short Story
Perbedaan itu indah, namun tidak semuanya. Terlebih untukku. Dapatkah kita mewujudkan keinginan kita untuk selalu bersama dengan perbedaan yang ada?
Beyond the Eyes
472      333     1     
Short Story
"Not every wound can be seen, or maybe she was just too blind." The short life story of a doctor, a lover, and a mother.
Ruman Tengah Jalan
738      440     3     
Horror
Sapi Bertelur
1252      762     0     
Short Story
Aku dan Saya
391      233     1     
Inspirational
Aku dan Saya dalam mencari jati diri,dalam kelabilan Aku yang mengidolakan Saya yang sudah dewasa.