Kini tiba hari dimana Nicho harus mengakhiri meeting-nya dengan para klien yang datang dari beberapa negara. Hari ini pula dirinya harus mengakhiri pertemuannya dengan Calista. Penutupan meeting kali ini menggunakan suasana yang berbeda yaitu dengan makan siang bersama. Disaat acara makan siang berlangsung, terdapat Izki di luar aula sedang memantau Calista dari balik jendela. Duduk termenung menghirup secangkir kopi hitam dan menjelma jadi orang lain. Izki kini semakin penasaran akan keberadaan Calista karena sekarang Calista telah sirna dari pandangannya. Ketika dirinya mengendap-endap mendekati gedung itu, ada seorang perempuan yang berlari dan menabrak dirinya. Izki sangat kesal, sebab kopi hitam pekat miliknya kini tumpah dan meninggalkan noda di kemeja biru kesayangannya.
?Ma-maaf ya.? Cewek itu sangat terkejut melihat kemeja biru Izki yang penuh noda. Izki menatap cewek itu dengan tatapan kesal, dipandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
?Maaf , maaf!! Lu bisa liatkan ini jadi kotor!? Bentak Izki kepada sosok cewek cantik mungil dihadapannya, kini ia hanya bisa merunduk sedih. Cewek itu memasang muka sok imut dihadapan Izki. Sesaat Izki memandangi wajahnya, Izki terpukau oleh pesona kecantikan yang terpancar di wajah manis itu.
?Ya sekali lagi maaf. Oh ya lu siapa? Kaya gak asing.? Cewek itu berusaha membersihkan noda dari kemeja Izki. Ketika dia memandangi Izki, dirinya teringat akan seseorang. Sosok cowok yang pernah dijumpainya disuatu tempat.
?Gua, Izki. Lu siapa? Pernah liat gua dimana?? Izki menatap sinis cewek dihadapannya. Menyelidik misterius. Tatapan itu penuh tanda tanya.
?Izki? Kayanya pernah dengar. Oh ya, lu sahabatnya Nicho, kan?? Cewek itu tak mengutarakan siapakah ia sebenarnya. Cewek itu sibuk mengenali Izki lebih dalam.
?Kok lu tau? Lu siapa si??
?Gua Ara, mantannya Nicho.? Ara menjawab dengan rasa bangga yang membara.
?Oh Ara. Loh, lu ngapain di sini?? Izki terlihat kebingungan.
?Mending kita bicarain di tempat lain. Gimana kalau di kedai sebrang jalan?? Ara mencoba memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada.
?Yaudah boleh, ayo!? Izki menerima dengan semangat tawaran yang Ara berikan kepadanya. Seusai sampai di kedai yang dipilih oleh Ara, mereka duduk di dalam tepatnya di kursi yang paling pojok. Tempat yang memberikan sugguhan pemandangan cantik kota Yogyakarta. Dengan di balik kaca bening, kedua insan itu memandangi jalan raya kota Yogyakarta yang ramai dengan ribuan sapaan ramah disana. Kedua pelupuk matanya kini merasa senang, jarang hal tersebut dapat dijumpai di Jakarta apalagi Singapura.
?Nih jadi kedatangan gua kesini tuh gak sendiri.? Ara mulai membuka percakapan setelah sejenak terdiam menunggu pesanan datang.
?Sama siapa? Ngapain lu di sini?? Izki menatap Ara dengan serius, kedua bola matanya hanya terfokus oleh gadis cantik di hadapannya.
?Sama Viana. Kenal kan? Kita kesini tuh mau cari tau kebenaran tentang kedekatan Nicho dengan Calista.?
?Apa? Calista!?
?Iya, kenapa?? Ara menjawab dengan nada santai sembari menggigit biskuit cokelat di tangannya.
?Calista kan istri gua. Terus apa hubungannya sama lu? Emang lu siapanya Nicho??
?Duh satu-satu dong nanya?nya,? Ara tersedak ketika mendengar bahwa Calista ialah istri dari Izki. Ara merasa dirinya tak lagi mempunyai kesempatan untuk mendekati Izki.
?Yaudah jawab. Oh ya emang Nicho dimana?? Izki semakin khawatir. Dirinya terus curiga terhadap Calista.
?Nih jadi gini, gua tuh assisten pribadi Nicho dikantor. Gua heran aja kenapa Nicho gak ngizinin gua ikut apalagi Viana istrinyapun gak di ajak. Terus beberapa waktu lalu kita dapat kabar dan bukti foto akan kedekatan mereka.? Ara memalingkan wajahnya ke luar jendela. Dirinya tak ingin melihat respons Izki yang meletup-letup.
?Mana buktinya?!? Bentak Izki dengan nada cepat. Lantas Ara mencoba meraih handphone-nya dan memperlihatkan sederetan foto mesra antara Calista dengan Nicho.
?Gak percaya gua. Ngakunya meeting tapi masih bisa selingkuh.? Izki menggeleng tak percaya. Izki marah, mukanya memerah.
?Aduh sabar dong sabar, kan kita belum tau kebenarannya seperti apa!? Ara mulai mencari perhatian Izki. Dirinya bersikap manis di hadapan Izki hanya untuk mendapatkan simpati dari Izki.
?Ya mending kita selidiki sekarang juga!? Izki menatap Ara dengan wajah menyeringai. Senyuman itu sungguh sadis.
?Yaudah bentar biar gua suruh Viana ke sini.? Ara menelfon Viana untuk segera datang ke kedai tersebut. Selama menunggu kehadiran Viana, Ara mencoba mengenal Izki lebih jauh. Ara terkagum terlebih terpukau dengan harta kekayaan Izki. Ara semakin menggila untuk jatuh cinta terhadap Izki. Disitulah kedekatan Izki dengan Ara terjalin. Diam-diam Ara tak memperdulikan kedekatan Nicho dengan Calista sebab Ara jatuh hati pada Izki. Izki pun memanfaatkan Ara. Sebab Ara tau bahwa Calista dekat dengan Nicho.
?Lama banget Viana,? ucap Izki lirih nyaris tak terdengar, namun telinga Ara sangat tajam dapat menjadi pendengar yang baik.
?Bentar lagi sampai kok.? Ara mencoba mencairkan suasana kembali, sesaat Viana tiba Ara menyambut dengan baik. Dirinya bersikap sangat manis di hadapan Izki.
?Jadi gimana?? Viana terkejut karena tak mengerti apa yang sedang dibicarakan.
?Oh ya kamu kok di sini?? Viana menatap Izki tiada henti. Izki hanya memasang wajah yang tampan rupawan.
?Iya aku curiga dengan Calista. Ternyata setelah berbicara dengan Ara, ternyata mereka menjalin kedekatan lagi, ya?? Izki menatap Viana dengan mengangkat sebelah alisnya. Viana merasa tak enak hati sehingga dirinya hanya bisa tersenyum kaku.
?Gimana kalau sekarang kita kembali mendekati gedung itu dan menyelediki mereka?? Ide Ara tiba-tiba saja muncul. Tanpa pikir panjang, Izki dan Viana menyetujui ulasan yang baru saja Ara sampaikan. Kini Izki, Ara, dan Viana menjelma menjadi detektif. Mereka bertiga bersatu untuk mengawasi Nicho dan Calista.
Namun disaat penyelidikan berlangsung, Izki dan Viana sibuk menata hati. Hati yang hancur berkeping-keping melihat pasangan yang kini berada di depan mata terlihat sedang asik berdua.
?Vi, kamu kenapa?? Tanpa sadar Izki ketika melihat Viana menjatuhkan air matanya.
“I'm fine.? Viana menjawab dengan singkat dan lirih nyaris tak terdengar oleh Izki.
?Kamu ga kuat ya lihat situasi seperti ini? Yaudah lebih baik kita cari kebahagiaan aja yuk ditempat lain.? Izki kini merangkul Viana. Viana sedang rapuh, dirinya butuh sandaran hingga ia tak berontak karena mendapat sentuhan selain suaminya. Ara terlihat sangat cemburu, dirinya terabaikan begitu saja.
?Eits ? kalian mau kemana?? Ara memegang pundak Izki.
?Mau cari kebahagiaan! Kalau lu mau, lu aja yang nyelidikin mereka, kita berdua angkat tangan.? Izki kembali berjalan pergi meninggalkan tempat persembunyian mereka. Izki berusaha mengubah air mata Viana menjadi senyuman terindah.
?Kita duduk disana aja ya, aku ga kuat lagi untuk jalan,? Viana menahan isak tangis. Kini mereka duduk berdua dibangku taman yang sepi. Situasi dan kondisi sangat mendukung Viana untuk melepaskan semua penat melalui air mata. Dirinya kini bersandar di pundak Izki.
?Jangan nangis Vi, gua bingung sama Nicho. Kenapa dia ga bersyukur punya istri secantik lu. Masih aja berusaha merebut Calista dari gua.? Izki mengusap lembut pipi Viana. Mencoba menghapus setiap air mata yang mengalir. Memberikan ketenangan jiwa dari batin masing-masing yang saling tersakiti.
?Entahlah. Maafin Nicho ya, dia udah berusaha ngerebut Calista dari lu.? Viana meminta maaf. Disaat dirinya terjatuh rapuh, masih saja dia memperdulikan sosok yang telah melukai hatinya. Viana masih menjaga nama baik suaminya. Izki kini semakin berdecak kagum oleh sosok perempuan seperti Viana.
Ditengah misi yang kini tertunda, Izki jatuh hati pada Viana. Izki melihat betapa tulusnya Viana pada Nicho sejak dahulu kala. Izki sangat salut akan kasih sayang yang begitu besar yang Viana berikan kepada Nicho. Namun Nicho selalu mengabaikan rasa Viana. Vianapun mulai merasakan kenyamanan pada Izki. Diam-diam Izki dan Viana menyimpan rasa yang sama.
***
Melihat kedekatan antara Nicho dengan Calista serta Izki dengan Viana, Ara kesal. Dia yang ingin meraih Nicho tapi kini Nicho di raih oleh Calista. Ia pula ingin merebut Izki namun Izki mencintai Viana. Ara merasa kesal dengan keadaan yang hanya memanfaatkan dirinya. Oleh karena itu Ara menjadi pengkhianat ditengah suasana yang tak memungkinkan.
?Nicho!? teriak seseorang dari kejauhan, sontak Calista dan Nicho menoleh bersamaan. Ketika diamati ternyata yang memanggil mereka ialah Ara.
?Ara?!? teriak mereka serempak. Kini Ara semakin mendekat.
?Kok kamu disini?? Nicho menatap Ara tak percaya. Terus memandanginya tak berkedip sekalipun.
?Ialah gua disini gak sendiri kali!? Ara menjawab dengan nada santai sembari mengibaskan rambutnya. Sebelah alisnya menyerngit ke atas.
?Maksud kamu?? Calista kebingungan melihat tingkah laku Ara yang sangat aneh.
?Ya gua tuh disini ditemani oleh Viana dan Izki.?
?Apa?!? Calista dan Nicho teriak serentak. Kini mereka saling melempar pandang tak percaya. Ara hanya tersenyum lebar menyaksikan sepasang kekasih yang seperti ketahuan selingkuh saat sedang bercumbu.
?Gak percaya! Kalau ada mana mereka?? Calista menentang keras pernyataan Ara. Ara hanya menatap Calista dengan tatapan tajam. Menukik menyelidik dengan mendalam.
?Kalian jalan aja beberapa meter ke arah Barat. Disana ada mereka kok lagi berdua.? jawab Ara membuang muka.
?Oke! Ayo Nic,? seru Calista menarik tangan Nicho. Nicho tampak kebingungan, diikuti langkah kaki Calista. Sementara Ara hanya memandangi dari kejauhan. Menjadi saksi perang ketiga diantara mereka.
?Viana! Izki!? Calista berteriak dari samping bangku taman. Lantas Viana dan Izki menatap ke arah sumber suara.
?Calista! Nicho!? Viana menghapus air matanya dengan cepat. Berdiri tegak menghadap mereka.
?Oh ternyata.? Calista mendengus kesal, meremehkan sepasang kekasih yang ketahuan sedang asik berduaan.
?Kenapa? Kamu mau marah? Kamu gak lihat siapa orang di sebelah kamu?!? Kini Izki membuka mulut, Izki tak ingin Calista membentak Viana. Calista tersentak, kini mereka semua ketahuan sedang asik berdua dengan pasangan yang tak semestinya.
?Yaudah kalau gitu impaskan!! Kita tukeran, biar gak bosen!!? Calista menyeringai menatap Viana, tapi Viana hanya bisa merunduk. Viana tak enak hati kepada siapapun disana. Dibalik pepohonan disebrang jalan, Ara sedang asik menertawakan kondisi yang sangat menegangkan itu.
?Oke! Deal?? Izki menjulurkan tanggannya pertanda untuk berjabat tangan, Nicho kaku melihat kejadian itu. Lantas Calista segera menyentuh lengan Nicho dan tanpa sadar Nicho menyetujui tantangan itu.
?Viana ? Miss you!!? Calista memeluk erat Viana. Entah untuk mencairkan suasana ataukah pelukan tulus. Namun pelukan itu membuat suasana menjadi cair. Membuat senyum terkembang diwajah mereka.
“Miss you too Calista.? Viana membalas pelukan itu. Viana sama sekali tak mencurigai sahabat karibnya itu. Viana ialah sosok yang sangat lugu oleh sebab itu dirinya tersenyum bahagia.
Ara terlihat sangat marah ketika menatap Calista dan Viana berpelukan. Ara tak mengerti kenapa mereka senang akan pertukaran pasangan yang sedang berlangsung. Ara kini merasa kesepian, dirinya kini kembali ke rencana pertamanya yaitu mendekati Ferrel kembali.
***
“Ferrel.? Ara memanggil Ferrel yang kini sedang menatap indahnya langit sore sembari menghirup kopi dipinggir kolam renang hotel.
?Loh kok lu disini? Bukannya lu lagi sibuk menyelidiki Nicho??
?Buat apa ngurusin mereka!!? Ara terlihat jengkel. Kini dirinya semakin mendekat. Duduk di samping Ferrel tanpa izin terlebih dahulu. Ferrel nampak kebingungan namun dirinya tak mudah dibodohi oleh sikap manis Ara.
?Terus lu ngapain ke sini?? Ferrel menatap Ara dengan tatapan meremehkan. Ara tak memedulikan tatapan itu. Hanya rencananya yang terus terngiang dikepalanya.
?Kok kasar sih, akukan sayang sama kamu. Selama ini aku hanya berpura-pura aja. Aku cuma mau lihat respons kamu.?
?Hah? Ya ampun. Stop!! Ga usah bersandiwara, gua tau semua kali keburukan lu. Lu dekati gua karena cuma jadiin gua pelampiasankan?? Ferrel kini menjauhi Ara. Ara tersentak oleh perkataan Ferrel. Kini dirinya hanya bisa diam tak bergeming.
?Ihs kamu ngomong apa si, jangan kasar gitu dong.? Ara kini mendekap hangat Ferrel dari belakang. Ferrel sangat membenci jika dirinya harus terperangkap dalam medan magnetnya.
?Apaan si!! Udah gak usah berharap! Gua gak mungkin bisa nerima lu. Gua tau lu gimana!!?
Ferrel melepaskan pelukan itu. Kini dirinya melenggang pergi meninggalkan Ara. Ara kini terdiam di tepi kolam meratapi nasibnya. Memperhatikan wajah yang berlipat sendu di atas genangan air kolam yang tenang. Santai. Sepi. Sedih. Sendiri. Dirinya merasa dicampakan begitu saja. Dunia terasa gelap tak berwarna. Kini dirinya terus berfikir bagaimana caranya bisa mendapatkan kekayaan dengan cara singkat.
***
Kini ialah hari terakhir mereka berada di Yogyakarta. Hari ini pula yang akan memisahkan kedua kekasih yang sedang bertukar pasangan, itu sangat disayangkan. Disaat kebahagiaan yang selama ini Nicho dan Calista cari, harus kandas dalam waktu sehari. Oleh sebab itu Calista dan Nicho diam-diam membuat sebuah rencana. Rencana yang tak akan pernah di duga. Rencana yang akan menggetarkan hati dan jiwa.
Demi melancarkan rencana mereka, mereka terpaksa mengajak pasangan mereka untuk pulang bersama. Calista kembali dengan Izki ke Singapura, sementara Nicho kembali dengan Viana ke Jakarta. Kini mereka harus kembali berpisah, dua kepingan hati yang hampir bersama kembali terpisah oleh jarak dan waktu yang berbeda.
Selama di perjalanan pulang menuju Jakarta, Nicho terlihat sangat acuh kepada Viana. Entah salah apa, Nicho seakan membenci Viana. Mana mungkin dirinya membenci Viana karena perselingkuhan itu, sementara dirinyapun berselingkuh juga. Viana semakin bingung dengan sikap Nicho kepadanya. Kegelisahan dan kesedihan kini bergelayut jelas diwajahnya. Hingga kini mereka telah menghabiskan waktu bersama dengan tak ada sepatah katapun yang terlontar diantara keduanya.
?Aku mau tidur duluan ya. Aku capek.?
Nicho membanting diri ke kasur. Nicho seakan menguasai kasur, dirinya tidur ditengah. Rasanya tak ingin membiarkan Viana tidur disampingnya. Viana hanya menghela nafas, dirinya segera mengambil selimut dari lemari baju dan lekas keluar kamar mencari tempat yang nyaman untuk sekedar beristirahat.
Kini mentari pagi sudah bangkit di kaki langit, menyinarkan cahayanya yang elok dari balik gedung-gedung tinggi. Semilir angin pagi ini berhembus kencang menandakan hari akan hujan. Perlahan awan hitam pekatpun menutupi matahari pagi ini. Langit nampak gelap, keadaan pagi ini seakan malam hari. Nicho merapihkan diri lalu bergegas untuk pergi menuju kantornya. Ketika ia berada di ambang pintu, Viana memanggilnya dengan suara serak yang hampir tak terdengar. Nicho lekas menoleh mencari sumber suara, ternyata kini Viana berbaring lemas di atas sofa dengan berbalut selembar kain halus. Nicho seakan iba melihat keadaan istrinya yang kian memudar, namun entah kenapa rasa itu hilang ketika terbesit wajah Calista dikepalanya.
?Aku berangkat kerja dulu ya.? Nicho memalingkan wajahnya dari hadapan Viana, kini dirinya ingin secepat mungkin melangkah pergi dari rumah tempatnya bernaung bersama. Namun langkah kaki itu terhenti oleh bisikan Viana yang kian menipis.
?Jangan kerja, hari ini terlalu gelap untuk kamu berada di luar. Temani aku hari ini saja.? pinta Viana dengan mata berlinang dan wajah memohon. Nicho hanya menghela nafas dan bertekad untuk tetap melangkah pergi ke kantor pagi ini. Dirinya kini pergi menjauh tak menggubris pernyataan Viana. Viana meringis menahan sakit di hatinya melihat orang yang sangat dicintainya mengabaikannya begitu saja. Pikirannya tiba-tiba saja melambung tinggi, berharapkan ada Izki di sampingnya. Jikalau saja ada Izki, ia pasti merawat Viana dengan sabar hati.
Disaat perjalanan menuju kantor, mobil Nicho tiba-tiba terhenti. Dirinya kesal disaat waktu yang mendesak, mobil kesayangannya meraung-raung enggan untuk jalan. Jalananpun kian gelap, bagaikan berjalan di tengah malam. Awan hitam yang mengepul tinggi seakan sejengkal diatas permukaan bumi. Menutupi sesaknya pagi hari dengan polusi yang bertebaran dimana-mana. Gemuruhpun mulai mewarnai pagi yang mencekam itu. Angin yang bersemilir kencang seakan menjadi saksi betapa mengerikannya pagi hari ini.
Nicho semakin kesal, setelah dirinya bangkit mencoba mengecek mesin mobilnya tak didapati sedikitpun masalah. Namun mobil itu mati tanpa sebab. Kini Nicho menendang ban depan mobilnya, saat itu pula suara petir menggelegar memekikkan telinga. Nicho terkejut, entah nasib buruk apa yang akan ia terima pagi ini. Nichopun segera ingin menghampiri pintu mobilnya, namun seketika hujan turun dengan deras. Membasahi jalanan dengan cepat, debu yang bertebaran menyeruak masuk di hidung hingga menyakitkan saraf penciuman.
Nicho semakin mempercepat langkah kakinya dan berusaha sekuat tenaga membuka gagang pintu mobilnya. Namun disaat ia sedang berusaha membuka pintu mobil, angin berhembus kencang dan hujan mengguyur tubuhnya. Tiba-tiba saja ia ditarik oleh seseorang. Nicho tak dapat melihat jelas orang itu, debu yang berterbangan kencang terbawa angin ,serta daun dan ranting yang ada di sekitarnya menutupi pemandangannya. Nicho dibawa kesebuah tempat oleh orang itu. Ternyata orang yang baru saja menariknya ialah Erlangga. Sahabatnya yang telah lama tak ia temui.
Nicho mencoba membuka matanya perlahan-lahan. Memfokuskan pandangan kepada orang dihadapannya yang baru saja menariknya. ?Er ? Erlangga!?
?Iya. Lu ngapain tadi? Kalau lagi petir gini harusnya jangan masuk ke mobil.?
Erlangga mencoba menjelaskan maksud dan tujuannya menyeret Nicho ke tempat itu. Kini mereka bernaung dibawah halte pemberhentian bus di salah satu bilangan di Jakarta. Biasanya halte itu sesak oleh sederetan orang yang akan beraktifitas, namun kini halte itu tak berpenghuni. Hanya dirinya dan Erlangga lah yang menjadi penghuni halte di pagi yang menyeramkan.
?Abis tadi gua panik, yaudah gua buru-buru masuk ke mobil.?
Nicho melihat penampilannya yang lusuh. Basah kuyup diguyur hujan, angin yang berhembus kencang mendinginkan suasana. Petir yang terus bersahutan membuat orang enggan beranjak dari tempatnya berpijak. Tak ada pembahasan diantara mereka. Hanya suara alam yang bersenandung murka dihadapannya. Bila saja ia menuruti perkataan Viana takkan ada sesal di dada.
Setelah sekian lama menanti, hujan seakan lelah menumpahkan amarahnya. Semua sirna begitu saja, langit kini berubah kembali cerah menyisakan rerantingan pohon yang berserakan disepanjang jalan. Nichopun bergegas menghampiri mobilnya dan mencoba menyalakannya namun sayang mobil itu tak mau nyala juga. Nicho terpaksa kembali ke halte, menghampiri Erlangga dan berharap tumpangan darinya. Dengan sigap Nicho menaiki motor milik Erlangga. Hari itu Erlangga usai pergi bersama teman-temannya hingga ia memilih motor sebagai alternatif utamanya demi menghindari kemacetan Jakarta yang sangat mencemaskan jiwa.
Akhirnya kini Nicho sampai diperusahaan miliknya. Nicho memperkenankan Erlangga untuk sekedar singgah dan beristirahat di ruang kerjanya. Namun Erlangga harus segera kerumah sakit karena kini ibunya sedang dirawat. Dengan berat hati Erlangga menolaknya dan bersungit pergi.
***
Kini diruang kerja yang nyaman Nicho mengehampaskan diri di kursi kerjanya yang nyaman. Menyenderkan bahu, melepas penat yang ada. Menatap keluar jendela, menimang kedua tangannya dan menghembuskan nafas lega. Untuk kesekian kalinya ide itu terbesit lagi, langsung di raih handphone di mejanya dan menelfon sebuah nomor. Nicho menunggu dengan harap-harap cemas. Berharap semua akan berjalan lancar tanpa ada hambatan. Tapi tiba-tiba saja seseorang memanggil namanya. Lekas dirinya mematikan panggilan dan segera mengalihkan pemandangan.
?Iya ada apa memanggil saya?? Nicho memutar bangku kerjanya dan mencoba mencari-cari sumber suara. Betapa terkejutnya Nicho melihat Ara kembali ke ruangannya.
?Ini Nic?? Ara tergelegap. Dirinya khawatir akan kemurkaan Nicho sebab raut wajah Nicho berubah ketika mendapati wajah manisnya.
?Ngapain kamu ke sini? Sayakan sudah pecat kamu!!? Nada bicara Nicho kian meninggi. Tegas. Keras. Seolah membuat gertakan pada Ara yang memberanikan diri untuk kembali ke perusahaannya. Sejak kejadian di Yogyakarta minggu lalu, Nicho memberhentikan Ara atas dasar tidak mengikuti aturan yang telah berlaku.
?Maaf saya cuma mau kasih berkas ini.? Ara menyerahkan amplop cokelat dihadapan Nicho. Tentu! Nicho heran. Apa yang berada di dalam amplop itu. Apakah surat pengunduran diri atau apa entahlah itu masih belum jelas.
?Apa ini?!? Nicho menatap Ara dengan tatapan sadis. Menukik setajam silet. Ara bagaikan mati rasa. Dirinya lemas ditatap dengan tatapan tajam, jika saja Ara tak dapat mengatur emosi mungkin saja dirinya sudah tersukur di lantai.
?Silakan dilihat, tapi sebelumnya saya pamit pergi.?
Ara bergegas keluar. Langkah kaki itu terbesit diantara rok span yang ia kenakan. Mungkin saja bila ia tak dapat mengatur langkahnya, ia bisa tersukur di lantai karena terlalu sulit berjalan cepat di tengah rok yang menahannya untuk bergerak lebih banyak. Ara nampak seperti orang ketakutan. Nicho hanya memandangi punggung Ara dari kejauhan sambil menautkan kedua alisnya. Rasa penasaran yang menggebu mendesaknya untuk segera membuka amplop itu. Ketika Nicho membuka amplop itu ternyata di dalamnya terdapat beberapa lembar foto mesra antara Izki dan Viana. Nicho kalap, dirinya sangat marah. Ini alasan mengapa Ara melarikan diri secepat kilat! Ini alasan yang sangat kuat bagi dirinya untuk terus melancarkan ide?nya bersama dengan Calista.
***
Di Singapura kini langit tampak cerah. Langitnya biru berpadu dengan putihnya awan. Kicauan burung bersiul merdu. Kupu-kupu berterbangan kesana-kesini sembari bersenandung ria. Menari-nari di udara bersama membawa keceriaan pada warnanya yang mencolok mata. Tapi hari yang indah ini tak mendukung suasana hati Calista, Calista dan Izki kini sedang bertengkar hebat di suatu ruangan. Ruangan itu penuh dengan kecaman yang berterbangan. Emosi yang meletup. Kata-kata yang menyakitkan hingga keputusan yang memedihkan hati. Ya! Keputusan tersebut ialah sebuah ?perceraian?.
Kalimat itu terlontar dari mulut Calista ketika dirinya dituding berselingkuh. Sementara ia sedang bertugas kala itu. Izkipun menyetujui perceraian diantara mereka. Hancur, hancur sudah semua. Hancur berkeping-keping layaknya sebuah puzzle. Hati yang kini sempurna kembali hancur dan harus ditata. Mungkin ini waktunya Calista untuk kembali ke kampung halamannya dan merajut kisah kasih yang baru.
Namun peraturan negara menuntutnya, memaksanya untuk tetap tinggal dan menyelesaikan semua prosedur perceraian yang ada. Mengikuti serangkaian kegiatan yang memenatkan jiwa. Lantas Calista melarikan diri keluar ruangan. Mencari celah bagi dirinya untuk sekedar menghidup udara. Menikmati indahnya dunia.
Tanpa ada kepedihan yang terbawa. Calista berjalan diantara beberapa orang yang berlalu-lalang. Memperhatikannya dengan seksama. Seolah ada beban berat yang kini dideritanya. Namun Calista mengabaikan itu semua mencari celah bagi dirinya untuk menepis kesedihan yang ada. Hingga ia teringat oleh seseorang yang dapat menghiburnya dan sesegera mungkin menghubunginya.
Calista menanti panggilan itu hingga terhubung, namun sayang sesaat kemudian handphone Nicho tak dapat menerima panggilan. Calista semakin nelangsa. Menimbun semua kesedihan yang ada dalam-dalam. Menghapus butiran air mata yang mengalir. Membiarkan angin berbisik ria di telinganya yang mungil.
***
Nicho langsung menancap gas secepat kilat. Kini mobilnya sudah berada di tangannya kembali setelah diservice. Nicho kalap. Dirinya mengendarai mobil dengan emosi yang memuncak. Ketika sampai di depan rumah, ia mengklakson mobilnya berkali-kali. Itu sangat mengganggu penghuni rumah. Viana sesegera mungkin membukakan gerbang untuknya. Kini Nicho keluar dari mobil dan segera menatap Viana yang tersenyum dihadapannya. Ditarik tangan Viana dengan kasar menuju kamar. Membanting dirinya di kasur sembari melemparkan beberapa lembar foto di hadapannya. Viana tercengang, mulutnya mengatup. Tak ada satu katapun yang dapat terlontar.
?Apa ini?!? Nicho seolah meyakinkan maksud dari sederetan foto dihadapannya. Tak ada jawaban dari Viana.
Nicho semakin membentaknya. ?Benarkan dugaan aku!! Kalau gitu buat apa kita pertahanin semuanya??
?Maksud kamu?? Viana angkat bicara. Ia mendongakan kepalanya menatap Nicho. Nicho terlihat sangat emosi, bajunya yang berantakan dan rambut yang acak-acakanya semakin memperjelas bahwa dirinya sangat terpukul.
?Iya buat apa kita pertahanin hubungan kita? Aku minta kita cerai!?
JEGER!!! Kalimat itu. Kalimat yang keluar dari sosok kepala keluarga? Sungguh Viana seperti tersambar petir. Dirinya lemas tak berdaya hampir pingsan. Disaat dirinya lemah, memucat kini ada masalah besar yang menerpanya. Jikalau menurut agama mungkin itu sudah termasuk bercerai. Namun menurut hukum itu belum berakhir. Viana menggigit bibirnya, merasakan hatinya tiba-tiba terasa nyeri. Sakit. Menusuk dan mencabik jiwa dan raga.
Hancur. Kini pikiran terbawa angan. Hanya emosi yang merajalela dimuka bumi. Menghancurkan kedamaian hati dan jiwa yang telah lama terjalin. Memisahkan secercah kebahagiaan suci dengan perbuatan keji yang takkan terulang lagi. Viona terus menatap Nicho tak percaya, ingin rasanya menjerit namun pita suara urung mengeluarkan suaranya. Viana hanya mampu berdesis.
?Ja ? jangan tinggalin aku Nic! Aku tau aku salah. Aku tau kita salah. Tapi gak perlu sampai berceraikan?? Air mata yang mengalir di wajah Viana nampak seperti air terjun. Deras. Tiada hentinya. Terus mengalir membasahi seluruh permukaan wajahnya.
?Perlu! Untuk apa lagi dipertahanin hah?!? Nicho membentak Viana dengan kasar. Viana hanya bisa tertunduk sembari memegang tangan Nicho. Memohon bertekuk lutut dihadapan Nicho. Sungguh tak sedikitpun hati kecil Nicho tersentuh. Emosi telah menguasai dirinya. Nicho mengibaskan tangannya untuk melepaskan diri dari Viana.
?Nicho ? jangan pergi!? Viana berteriak sukuat tenaga. Namun teriakan itu bagai bisikan. Lirih hampir tak terdengar. Nicho melenggang pergi meninggalkan Viana yang tersukur dilantai. Menangis meraung-raung kesakitan. Hatinya sangat sakit diperlakukan seperti itu. Sungguh hina bila di rasa. Sungguh tak pantas kelakuan yang baru saja Nicho perbuat. Namun itu telah terjadi. Semua telah terlewati. Viana tersadar bahwa selama ini ia terlena oleh keindahan dunia semata. Viana hanya bisa menahan rasa sakit sembari berderai air mata.
***
Ditengah kegelisahan yang melanda kedua hati, akhirnya Nicho bergegas menghubungi Calista. Seusai telefon itu tersambung, keduanya saling menautkan hati. Membeberkan rencana yang telah berhasil diantara kedua pihak. Serta bergegas bersama untuk meninggalakan dunia sesaat. Calista memburu waktu, mencoba meraih penerbangan terakhir hari ini ke Jakarta. Tanpa pamit ke Izki, Calista terbang ke Jakarta dengan cepat. Sementara Nicho sibuk mengurusi berbagai administrasi untuk kepergiannya bersama Calista. Mereka berdua berencana untuk mengasingkan diri ke Bali. Pulau Indah penuh suka cita dan keleluasaan semata. Ketenangan jiwa dan raga akan mereka dapatkan di pulau itu. Nicho segera pergi ke bandara untuk menjumpai Calista disana.
Calista melempar pandang ke luar jendela pesawat. Tatapannya kosong menerawang setiap rumah yang terlihat bagai titik diantara awan. Menelisik kesedihan yang kian menerpa serta membayangkan kebahagiaan di depan mata. Waktu ini! Waktu yang sangat ditunggu-tunggunya setelah sekian tahun merana. Menahan rasa cinta yang ada. Kini berubah menjadi sebuah kenyataan semata.
Tanpa ia sadari, ia telah tiba di bandara. Lekas dirinya bergegas turun dan mencari orang terkasih. Orang yang dapat ia miliki secepat mungkin. Orang yang sudah menantinya sekian lama untuk dapat kembali kedekapannya. Sekarang Calista terbesit, terbesit oleh langkahnya. Seakan dirinya berusaha memijaki bumi diantara orang yang memadatkan bandara. Meraih seseorang di ujung jalan. Lekas saling berpelukan seusai berhadapan.
“Miss you so much, Cal.? Nicho memeluk erat tubuh Calista. Nicho sangat bangga dapat kembali memiliki Calista meskipun belum ada ikatan pasti diantara mereka.
“Miss you too, Nic.? Calista merasakan pelukan itu sangat hangat. Menenangkan jiwa yang semula dingin. Dingin tanpa kasih sayang. Kini semua terasa kembali. Hati yang hancur serasa menemukan serpihan yang telah lama hilang. Kini hidupnya terasa lengkap. Hatinya tak lagi mencari-cari sebab sepotong hati yang telah hilang kini kembali.
Seusai pertemuan itu, Nicho membawa Calista untuk beristirahat sejenak di hotel. Nicho tak akan membiarkan Calista kelelahan. Namun mereka tau, mereka belum mempunyai ikatan yang pasti hingga dengan berat hati Nicho memesan dua kamar yang berbeda.
Pagi berlalu, lekas mereka mempersiapkan diri untuk segera kembali ke bandara dan menuju Pulau Dewata Bali. Tak terbayangkan keindahan disana terlebih ditemani sang pujaan hati. Nicho sangat antusias saat itu, dirinya hanyut dalam suasana lagu yang dilantunkan di dalam mobil. Jalanan yang sepipun mendukungnya untuk menancapkan gas lebih dalam hingga dirinya bisa cepat sampai di bandara. Tawa candapun mewarnai atmosfer saat itu, semua terbuai oleh keindahan dunia hingga Nicho membawa mobil dengan secepat kilat. Tiba-tiba saja mobil dihadapannya mengerem mendadak. Sontak Nicho kaget, dirinya yang sedang asik menatap wajah manis Calista sembari sesekali mengusap pipinya kini membanting stir secepat kilat. Mobil yang dibawanya kini melompat pergi dari lintasan. Mereka jatuh, terguling menabrak pohon besar diantara dua jalan yang sangat besar. Semua orang tak ada yang melihat pasti kejadian itu, semuanya terfokus pada kecelakaan yang baru saja menyebabkan kecelakaan lain. Nicho dan Calista tak tersadarkan diri didalam mobil.
Alih-alih ada seseorang yang sedang melintas, dirinya tertegun melihat mobil yang terlihat hancur berkeping-keping. Orang itu panik, berteriak kesana-kesini mencari bantuan. Beberapa wargapun datang menghampiri secepat yang mereka mampu. Mereka memutar otak untuk segera menyelamatkan sepasang kekasih itu. Akhirnya setelah sekian lama menanti, mereka dilarikan ke rumah sakit terdekat.
?Permisi, apakah di sini ada salah satu dari anggota keluarga korban?? Sang Dokter bertanya kepada beberapa warga yang sedang duduk cemas di luar ruangan. Semua saling melempar pandang. Tak ada satupun yang bergumam hingga ada satu pemuda yang memberanikan diri mengacungkan tangannya.
Pemuda itu lekas berdiri dan menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan. ?Saya perwakilan dari warga dok, bagaimana dengan kondisi mereka??
?Mereka baik-baik saja hanya ada beberapa benturan di kepala. Mungkin harus dirawat secara intensif untuk beberapa saat. Mohon segera dihubungi pihak keluarganya ya.? ucap Sang Dokter dengan tersenyum yang dibalas dengan anggukan mengerti dari pemuda itu. Dokter itupun pamit mengurusi pasien lain, sementara beberapa warga memutuskan pulang karena hari kian larut malam. Hanya ia seorang diri yang mencoba mencari data dan informasi yang melekat di tubuh Calista dan Nicho.
Ketika menemukan dompet Nicho, terdapat pula disana KTP yang tertera jelas. Terlebih ada handphone Nicho yang tak menggunakan kata sandi. Hal genting seperti ini yang membuat seseorang merasa mudah jika harus berjumpa dengan handphone yang sama sekali tidak memakai kata sandi. Memang semua dapat disalahgunakan, namun jika keadaan terdesak kata sandilah yang akan menghambat segalanya.
Pemuda itu langsung menelisik setiap nomor telfon yang tertera di phonebook. Panggilan yang terakhir ia panggil ialah Calista. Di hubungi nomor itu namun naas itu ialah nomor cewek disampingnya yang sama-sama menjadi korban. Pemuda itu tak putus asa, ia terus menghubungi beberapa teman Nicho di tengah malam. Tak ada satupun yang menjawab. Hingga kini ia mulai putus asa, wajahnya murung tertunduk lemas. Bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan kedua korban ini secepat mungkin.
Disaat kegelisahan melanda, tertera di layar handphone milik Nicho bahwa ada sebuah panggilan masuk. Dengan cepat ia angkat dan berbicara dengan sangat antusias. Ternyata yang kini menghubungi Nicho ialah Ferrel. Ferrel di sebrang sana membelalak kaget, dirinya terkejut. Tengah malam ia mendapat kabar buruk. Ferrel segera mematikan sambungan telefon.
Secepat mungkin Ferrel menghubungi Izki dan Viana secara bergantian. Memberitahukan berita buruk itu secara perlahan. Ferrel melesat cepat menuju ke rumah Viana. Sementara Izki mencoba mencari penerbangan pertama ke Jakarta. Setelah sepertiga malam terlewati, Ferrel dan Viana segera menuju tempat kejadian. Viana berlari dengan tenaga seadanya, mencoba bertanya kepada resepsionis dengan terbata-bata. Ferrel yang kini menemaninya memperjelas setiap kata yang diutarakan oleh Viana.
Setelah mendapatkan informasi, Viana dan Ferrel bergegas ke ruangan. Pemuda itu nampak kelelahan menahan kantuk semalaman. Ferrel sangat berterima kasih terhadap kebaikan yang telah dilakukan pemuda itu. Sementara Viana nangis menghampiri Nicho, mencoba memelukinya dan menyadarkan Nicho dengan beberapa bisikan.
?Ga usah bersedih Mba. Mereka cuma belum sadar, kata dokter gapapa kok cuma ada beberapa benturan.? Pemuda itu mencoba menenangkan Viana yang terisak dalam tangisnya. Viana tak memedulikan perkataan pemuda itu, dirinya terus terpaku pada Nicho.
Sementara sesaat suasana hening, Viana sudah kehabisan air mata. Pita suaranya pun kini kelelahan. Ferrel hanya menatap iba dari kejauhan. Disaat Ferrel mempersilakan pemuda itu pulang, hadirlah Izki dengan tergesa-gesa. Hampir tak menyadari keberadaan Ferrel yang telah terlewati.
?Izki!? teriak Ferrel kepada Izki yang baru saja berjalan melaluinya. Izki memberhentikan langkah kakinya dan membalikkan badannya.
?Ferrel? Lo Ferrel, kan?? Izki terlihat sangat cemas, Ferrel mengerti keadaannya hingga ia tak lagi berkata dan segera memberi isyarat pada Izki untuk terus mengikutinya. Hingga tiba mereka pada sebuah pintu, dibukanya kasar hingga Viana menengok. Izki menatap tak percaya, lekas dihampirinya Calista yang terbaring lemas. Izki merasa sangat bersalah. Seakan semua dosa kini menimpanya secara bergantian. Izki merasa semua ini salahnya, telah melanggar janji suci mereka. Kedua pasangan kini tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga pagi menjelang.
Ketika subuh, Nicho tersadar lebih dahulu dibanding Calista. Nicho menatap tak percaya ada Viana dihadapannya. Nicho menatap Viana yang tidur kelelahan di sampingnya. Lalu seketika ia memperhatikan sekeliling ruangan. Dirinya tampak kebingungan, namun kini ia tersadar bahwa ia berada di rumah sakit. Ketika ia menoleh, ia tersentak melihat Calista berbaring tak sadarkan diri disebelahnya. Dirinya merasa berdosa sudah melukai dua orang yang berbeda. Melukai hati dan fisik dua wanita hebat disisinya. Saat dirinya menatap Calista, saat itu pula Calista membuka matanya.
Secara perlahan namun pasti. Nicho segera memasang sebuah senyuman tipis diwajahnya. Viana dan Izki pun terbangun dari lamunan dan mimpi buruknya masing-masing. Mereka berdua terlihat sangat bahagia melihat kedua-duanya sadarkan diri. Di saat itulah, hati kecil Nicho dan Calista tersentuh, kini mereka sudah merasa puas bersama. Kini mereka belajar menghargai perasaan dan waktu.
Andai saja nyawa mereka terenggut akan kesalahan besar yang telah mereka lakukan yaitu, menentang hukum alam. Menentang suratan takdir yang telah di berikan oleh Tuhan. Itulah sedikit sentuhan yang Tuhan berikan agar hambanya kembali menuju jalan yang lurus. Jalan yang tak melenceng dari aturan yang telah berlaku, peraturan yang telah ada di setiap kitab suci, serta peraturan yang akan ada hingga maut memisahkan jiwa dan raga.
Setelah seharian, kini Nicho dan Calista diperkenankan pulang. Terlebih mereka memutuskan untuk rawat jalan. Kini semuanya saling memaafkan satu sama lain dan mengikhlaskan perasaan yang pernah ada. Perasaan yang pernah singgah di hati masing-masing. Mencoba memulai semuanya lagi dari semula. Izki mencoba memperbaiki hubungannya dengan Calista, begitu pula Nicho dan Viana. Sesaat Izki dan Calista berpamitan ingin kembali ke Singapura, Ferrel hadir diantara mereka.
?Nicho!! Izki!!? sorak Ferrel ketika turun dari mobil. Empat pasang mata kini menyelidik Ferrel dengan tatapan penasaran. Ferrel bagaikan umpan yang berada di kandang singa yang siap diterkam oleh empat singa.
?Ada apa?? Nicho memasang wajah bosan. Ferrel terlihat tergesa-gesa.
?Ada kabar buruk!?
?Hah? Apa?? Viana sontak kaget mendengar perkataan itu. Dirinya sangatlah simpatik terhadap setiap orang.
?Itu Vi, A ? Ara.? Ferrel sangat sulit mengatakannya. Dirinya seakan tak lagi dapat berkata.
?Ara? Kenapa Ara?? Calista melotot, memalingkan wajahnya menatap Ferrel. Padahal sedari tadi dirinya memperhatikan yang lain.
?Ara meninggal dunia.?
?Innalilllahi. Kapan? Kenapa? Sekarang dia dimana?? Viana tak henti bertanya.
Nyawa Ara kini direnggut oleh sikapnya sendiri. Ara frustasi karena hidup dalam kemiskinan dan tak kunjung mendapatkan cowok mapan. Ara melukai dirinya sendiri dengan mengkonsumsi obat hingga over dosis. Ara sempat dilarikan kerumah sakit namun semua terlambat. Kini Ara berbaring tenang diperut bumi, menyisakan seberkas kenangan yang terngiang dikepala. Semuanya langsung mempersiapkan diri untuk pergi kerumah duka. Calista dan Izki pun mengurungkan niatnya untuk kembali ke Singapura. Calista ingin pergi menjumpai Ara untuk yang terakhir kalinya, sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan semuanya.
Mereka mengikuti sederetan proses pemakaman Ara hingga selesai. Kini mereka berlima berada tepat di hadapan liang lahat Ara. Batu nisan cantik nan sederhana tertuliskan sebuah nama indah. Arania Aurelia Putri. Nama yang indah untuk dikenang dengan sejuta sikapnya yang pernah singgah di hidup mereka. Nama yang tak lagi asing untuk mereka. Nama yang selalu muncul disetiap perkara. Kini mereka puas dapat mengantarkan Ara kepangkuan Tuhan dengan tenang. Mereka menundukkan kepala dan berdoa bersama. Kini semua beranjak pergi meninggalkan Ara sendiri di dalam dunia lain yang lebih kekal dibanding alam semesta.
--The End--