Disaat Nicho dilanda kegelisahan yang sangat menggetarkan, ada tugas baru untuk dirinya. Nicho memiliki tugas untuk memperluas jangkauan perusahaannya. Nicho terus merenung, dirinya tak bisa memilih antara keluarga ataupun karir. Desakan ekonomi yang mencekik meraung-raung akan kebutuhan insani. Begitu pula kehancuran yang kini melanda hubungan rumah tangganya. Nicho tertekan, dirinya lunglai tak berdaya. Ia bersandar pada kursi kerja miliknya. Tak terlihat pula gadis penghancur hubungan itu berlalu lalang. Nicho melarang siapapun untuk masuk ke ruangannya terlebih harus mengganggunya.
Kini hari larut malam, sinar matahari yang sedari tadi membiaskan wajah Nicho kian meredup. Sinar yang hangat itu berganti dengan sorotan lampu gemerlap malam. Jakarta yang terlihat panas membara berubah menjadi taburan kelap-kelip cahaya. Dengan sejuta warna yang terhampar luas di depan mata, Nicho membayangkan wajah indah istrinya. Hati yang terluka terasa jelas dibenaknya. Bisikan tangisan itu terus terngiang ditelinganya. Hingga kini ia tersadar, dilihat jam yang melingkar di tangan kanannya. Jam itu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sontak Nicho terkejut, sudah seharian dirinya hanya termenung di depan jendela kaca. Meratapi kebodohan yang ia lakukan bersama Ara. Menyesalkan segalanya yang telah terlewati.
?Hah?! Jam 9.? Nicho menoleh ke jam tangan hitam yang melingkar di lengannya. Lekas Nicho meraih tas miliknya dan segera beranjak dari tempat duduknya. Namun ketika Nicho melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja seseorang menghalanginya. Orang yang selalu mengganggu segala aktivitasnya membuat dirinya semakin jenuh atas sifatnya.
?Malam Nic ? bagaimana atas jawabannya? Apakah bisa hadir pada meeting kita kali ini?? tanya Ara dengan wajah yang sangat ceria. Tak terlukiskan sedikitpun rasa lelah disana. Hanya senyuman tulus yang terkembang diwajah manisnya.
?Loh, kamu belum pulang? Besok saya kasih kepastiannya.? Nicho berlalu begitu saja meninggalkan Ara. Nicho tak ingin berbicara dengan Ara untuk saat ini, semua dikarenakan hal yang baru saja mengguncang hubungan rumah tangganya.
Nicho melajukan mobilnya secepat mungkin. Dirinya terus menatap kedepan dengan fokus. Sesekali dirinya melempar pandangan ke arah luar. Namun lagi-lagi hanya hinar binar Jakarta yang ramai, tersuguhkan di depan mata. Ia merasa kesepian ditengah keramaian yang ada. Tak seorangpun yang bisa mengubah gairahnya untuk hidup. Hanya Viana?lah yang ada di pikirannya.
?Mah, aku pulang.? ucap Nicho ketika membuka daun pintu. Kini dirinya sangat terkejut ketika mendapati Viana tertidur di sofa dengan ditemani secangkir teh hangat. Nicho tau bahwa Viana terlalu lelah untuk menantikan kehadiran dirinya. Teh hangat yang selalu disuguhkan untuk dirinyapun kini berada di hadapan Viana. Nicho tertegun, hatinya tersentuh. Betapa mulianya Viana sebagai seorang istri. Masih saja dirinya tega bercumbu dengan wanita lain. Lelaki mana yang tak bersyukur jika memiliki istri solehah. Mungkin hanya dirinyalah yang tak dapat mensyukuri apa yang ada. Sebab apa yang sering hadir diantara kita akan lebih berharga bila sudah kehilangan.
Ketika Nicho usai menatap Viana sejanak, dirinya bertekad untuk membawa Viana ke kamar tidur. Namun ketika dirinya hendak mengangkat tubuh mungil Viana, Viana terbangun. Viana segera membenarkan posisinya. Viana segera mencium tangan suaminya.
?Maaf ya aku ketiduran. Oh ya ini teh hangat untukmu,? Viana mengambil teh hangat itu. Nicho menatap Viana dengan berlinang air mata. Nicho sangat kagum oleh sosok Viana. Segera diambil secangkir teh hangat itu.
?Gapapa kok. Makasih ya.?
?Ya sama-sama. Kamu pasti lelah. Istirahat yuk!? seru Viana sembari membukakan dasi Nicho. Perhatiannya, sentuhannya, senyumannya sungguh tulus. Tak ada kebohongan yang tersiratkan disana. Seolah tak ada masalah yang kini menimpa dirinya. Meskipun hati dilema, namun Viana tetap mencoba tegar dan mempercayai suaminya.
?Iya. Maafin aku ya sayang. Aku ga bermaksud melukai hati kamu sama sekali. Aku minta maaf yang sedalam-dalamnya.? Nicho kini mencium kening Viana. Viana hanya membalas dengan sebuah senyuman. Viana tau bahwa Nicho hanya mencintai dirinya. Viana pula yakin bahwa Nicho berkata yang sejujurnya.
?Iya aku maafin kok.? Viana menatap Nicho lekat-lekat. Namun ada saja yang masih tersimpan diantara mereka. Viana terus menerus menatap Nicho hingga Nicho mau mengutarakan apa yang sebenarnya ia sembunyikan.
?Oh ya, aku mau minta izin sama kamu.? Nicho menggenggam tangan Viana lembut. Seolah tak ingin melukai hatinya untuk yang kedua kali. Nicho tak ingin membuat Viana kembali bersedih terlebih jika harus menitihkan air mata.
?Izin kemana?? Viana terkejut, matanya berbinar. Seolah tak ingin ditinggal pergi oleh orang terkasihnya.
?Aku izin meeting di Yogyakarta selama 1 minggu. Mungkin itu waktu yang cukup lama. Namun kali ini beda.? Nicho memutuskan pembicaraannya. Nicho mencari ekspresi yang tergambar di wajah Viana.
?Apa yang beda?? tanya Viana cepat tak ingin terlewatkan sepatah katapun. Viana ingin meyakinkan bahwa dirinya tak akan ditinggalkan suaminya.
?Kliennya datang dari beberapa negara. Tapi aku hanya sendirian ke sana. Aku gak bisa ngajak siapapun, apalagi asisten itu hanya akan memperkeruh suasana dan menghancurkan rumah tangga kita.? Nicho menjelaskan dengan tegas. Viana kini merasa sedih, dirinya seakan tak dianggap nyata.
?Oh gitu yaudah. Berapa lama kamu?? Viana tetap menampilkan senyum andalannya. Jauh di lubuk hatinya dirinya semakin terluka. Tak sedikitpun Nicho menganggap dirinya ada. Nicho tak melirik Viana bagaikan pendamping hidupnya. Viana hanyalah bayangan semu di hidup Nicho. Viana hanyalah penyemangat di kala keterpurukan melanda. Viana hanyalah tempat bersandar, tanpa ada balasan kasih sayang yang mendalam.
?Aku akan 1 minggu di sana. Besok aku berangkat. Bolehkan??
?Iya boleh kok. Yaudah kalau gitu kamu mandi sana, biar aku yang bereskan semua kebutuhanmu.? Viana beranjak pergi menuju kamar tidur tanpa memedulikan Nicho. Nicho hanya tersenyum bahagia. Dibalik senyuman itu, ada hati yang terluka.
***
Setelah semalaman ia beristirahat, tiba saatnya Nicho menginjakkan kakinya di kota indah yaitu Yogyakarta. Kota yang penuh warna-warni sejarah. Kota yang tak luput dari wisata kuliner dan budaya yang khas. Serta kota yang selalu menjadi destinasi wisata. Namun jauh di Jakarta, Viana kesepian. Merajut asa di antara air mata yang bergelimpangan di pipinya. Sepi. Tak ada yang menemaninya dalam kesendirian. Tak ada gairah untuk hidup. Sinar mentari yang mencoba masuk ke kamar , seakan menyapa dirinya. Mencoba memberi semangat kehidupan yang melekat erat di tubuhnya. Serta semilir angin di luar seakan melambai-lambai. Meniupkan irama tak beraturan yang menenangkan jiwa. Lengkap sudah semua perasaan yang hancur. Perasaan yang tak lagi sama ketika pertama berjumpa. Perasaan yang terabaikan dari rasa kasih sayang yang pernah ada. Tapi jauh tanpa Viana ketahuipun Nicho sedang berjuang. Berjuang menyelesaikan masalah yang bertubi-tubi menyerangnya. Merapuhkan semangat 45 yang telah tertanam pada dirinya. Mencoba menggoyahkan hati dan rumah tangganya. Serta mencari sesuap nasi di antara kerasnya kehidupan yang ada.
Kini sehari setelah Nicho tiba di Yogyakarta, ia bergegas ke tempat dimana ia akan melakukan pertemuan dengan beberapa kliennya. Betapa terkejutnya Nicho ketika melihat para kliennya yang datang. Dari sederetan orang disana, dirinya hanya terpaku oleh cewek cantik nan rupawan yang telah lama tak dijumpainya. Ya, itu ialah Calista. Sosok cewek idamannya yang dari dulu hingga kini tak dapat berada di genggamannya. Nicho mencoba fokus pada materi yang akan di bahas, tapi entah kenapa seketika pikirannya terfokus pada Calista. Seusai melakukan meeting pada hari pertama, Nicho mencegah Calista untuk pergi.
?Calista,? seru Nicho dari kejauhan sembari mengikuti langkah kaki Calista. Calista terlihat sangat takut akan dirinya untuk diintrogasi oleh mantan kekasihnya. Calista pula tak menghiraukan panggilan itu. Ia semakin mempercepat gerakan kakinya. Tak kan lagi kerinduan yang telah lama sirna akan bangkit. Tak akan lagi pelukan itu ia rindukan. Tak akan ada lagi kenangan yang terjalin di antara mereka. Oleh sebab itu ia terus berlari tiada henti.
?Calista ? Calista!? Nicho terus mencoba memanggil Calista hingga kini langkah kaki itu terhenti. Calista menoleh sebentar, awalnya ia hanya tersenyum untuk menghargainya dan kembali membalikan posisi utamanya. Namun tiba-tiba saja Calista menoleh dan berlari memeluk tubuh Nicho. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa Calistapun sangat merindukan Nicho. Tak aka nada lagi kesempatan emas seperti itu. Calista tak ingin jika harus berpisah lagi dengannya.
?Nicho ? I really miss you!? Calista terus memeluk tubuh Nicho. Nicho sangat rindu sosok Calista, terlebih pelukan hangat itu. Sudah lama tak berjumpa namun kini hadir di depan mata. Sungguh ini anugerah terindah yang ada dalam hidup mereka.
“Miss you too,? Nicho melepaskan pelukan itu sembari menatap mata indah Calista.
?Maaf waktu itu aku gak pamit, cuma lewat secarik kertas.? Calista merunduk seakan mengenang kesalahannya diwaktu lampau. Secarik kertas? Kata itu mengingatkan Nicho tentang teka-teki yang terus terngiang dikepalanya.
?Emm ? oke ayo ikut aku, ada yang ingin aku perlihatkan. Sekaligus kita makan malam ya?? Nicho melihat langit yang mulai meredup. Pertanda kini hari mulai malam.
?Oke kita makan dimana? Diangkringan aja ya.? Calista meminta dengan nada manja, sungguh menggoda Nicho. Lantas mereka berjalan berdua beriringan, hingga tanpa diduga Nicho menggandeng erat tangan Calista. Sungguh Calista bahagia dan terhanyut suasana malam hari yang hangat di Yogyakarta. Mereka menyinggahi salah satu angkringan di pinggir jalan. Sungguh romantis bila dirasa walaupun terkesan sederhana. Canda tawa tergambar diantara mereka hingga Nicho tersadar bahwa dirinya ingin memperlihatkan suatu benda.
?Oh ya ini kan maksud kamu?? Nicho memperlihatkan secarik kertas dan sebongkah handphone yang kini usung. Calista tertegun, kertas yang ditulis tangan olehnya beberapa waktu silam serta handphone yang sempat terabaikan kini berada di genggaman Nicho. Nicho menjaga baik dua benda itu.
?Loh kok, ada di kamu? Kamu sengaja simpan ini?? Calista menatap Nicho dengan mata berbinar. Calista tak menyangka bahwa Nicho sebegitu perhatian terhadapnya. Terlebih Calista sangat bahagia dapat menikmati kebersamaan yang tak terduga. Mungkin memang waktu yang menarik ulur mereka sehingga mereka dipertemukan kembali di tempat dan suasana yang berbeda.
?Iya. Aku penasaran dengan dua benda ini. Aku anggap ini teka-teki atas kepergianmu. Apakah kamu bisa menjelaskan ada apa dibalik ini semua??
?Iya maaf, kala itu kami kesiangan, sehingga kami hanya bisa meninggalkan secarik kertas untuk salam perpisahan. Perihal handphone ini, handphone ini jatuh dibanting oleh Izki. Izki tak ingin aku ada kontak untuk komunikasi dengan kamu dan Viana.? Calista menunduk sembari mengaduk minuman yang berada di hadapannya.
?Kenapa begitu? Ada yang salah?? Nicho menatap Calista dengan sangat serius. Nicho terus mencari tau sekecil apapun fakta yang tersembunyi.
?Karena Izki khawatir akan kedekatan kita Nic. Aku paham akan hal itu, tapi tak seharusnya dia setega itu sama aku.?
?Oh, jadi ini alasan dibalik dua benda yang selama ini aku simpan? Baiklah. Ternyata ada hikmahnya, bayangkan kalau dua benda ini aku abaikan. Pasti terus terjadi kesalahpahaman antara kita.? Nicho tersenyum lega menatap muka Calista. Calista mencoba membalas senyuman itu.
?Sudahlah lupakan masa lalu itu. Kita ukir cerita baru ya, disini. Walau ini hanya seminggu kita manfaatkan waktu yang ada.?
Nicho mengelus lembut pipi Calista. Calista terkejut, dirinya seolah kaku membeku dihadapan Nicho. Sudah sekian lama tak berjumpa, kini rasa yang sama masih ada. Masih menghiasi hari mereka. Calista semakin yakin bahwa Nicho masih mencintai dirinya, begitupula sebaliknya. Jujur dua insan itu tak dapat memaksakan hati mereka untuk mencintai orang lain. Sudah lama berpisah namun kekuatan cinta mereka tak dapat di bohongi lagi. Entah sampai kapan mereka akan memaksa hati untuk terus bertahan pada pasangan yang salah.
Pertemuan mereka kini semakin mempererat hubungan mereka. Seketika Nicho melupakan masalah yang menimpa dirinya, begitupula Calista melupakan Izki yang menetap di Singapura. Selama meeting?pun Calista berperan sebagai klien sekaligus asisten pribadi Nicho.
Diluar meeting mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Kali ini tak ada satupun yang melihat kedekatan diantara mereka, oleh sebab itu mereka sangat senang menghabiskan waktu bersama. Di kebersamaan itu, benih-benih cinta kembali hadir. Menghiasi tawa canda di wajah mereka. Entah ?Janji Suci? apa yang telah mereka ingkari. Mereka seakan tak ada ikatan yang melarang untuk bersama.
Dibalik kemesraan dan kebahagiaan yang kini dirasakan Nicho dan Calista. Ternyata ada seseorang yang tak sengaja melihat keakraban mereka. Tanpa mereka sadari, orang tersebut terus memperhatikan segala gerak-gerik mereka. Sosok itu mengendap-endap dalam diam. Dibalik tembok yang mulai kusam dirinya berdiri tegap mengintai sepasang kekasih yang dilanda kebahagiaan. Lampu remang-remang di tepi jalanpun memberi hangat suasana yang kian dingin oleh tiupan angin malam. Tak lupa pula orang tersebut menyertai bukti nyata akan kedekatan mereka.
***
?Ferrel!? Ara berteriak memanggil Ferrel yang kini sedang berjalan di koridor lantai 7 tepatnya di depan ruang kerja Nicho.
?Iya, ada apa?? Ferrel menoleh mencari sumber suara yang menggema ditelinganya. Ketika dirinya mengikuti sumber suara, terlihat jelas wajah manis Ara.
?Lu mau ngapain ke sini? Mau cari Nicho??
?Iya. Kenapa?? Ferrel nampak kebingungan.
?Nicho tuh lagi di Yogyakarta.? Ara menatap Ferrel. Seketika Ferrel semakin meyakinkan dirinya, bahwa orang yang ia lihat beberapa hari yang lalu benar Nicho sahabatnya karibnya.
?Loh, lu kok ga ikut? Lu kan asisten pribadinya.?
?Nicho melarang siapapun ikut dengannya. Viana aja ga ikut.? Ara kini berjalan ke ruangan Nicho. Lantas Ferrel segera mengikuti langkah kaki Ara.
?Kok gitu? Emang kenapa?? Ferrel menatap Ara mencari jawaban yang tulus di muka manis itu. Ara ialah orang yang cerdik mencari beribu alasan oleh sebab itu Ferrel tak ingin tertipu lagi.
?Ga tau juga.? Ara mengerlingkan matanya, melempar pandangan ke luar jendela kaca. Mencari keindahan kota ditengah kebosanan yang melanda. Kini harinya hampa tanpa ditemani Nicho di sisinya setiap kali bekerja. Namun sayang yang terlihat di pelupuk mata hanya kota Jakarta yang penuh keramaian semata. Tak ada hal yang berbeda. Sehingga semakin memperburuk suasana hati.
?Gua tau alasannya!!? Ferrel berkata dengan santai sembari meletakkan majalah dimeja. Sontak Ara terkejut, menoleh dan mendekati Ferrel.
?Apa alasannya?? Ara menatap Ferrel dengan serius.
?Calista. Ingat Calista kan??
?Calista yang waktu itu? Loh kok Calista? Ara menyerngitkan kedua alisnya. Ara tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh Ferrel.
?Iya. Lihat saja ini.? Ferrel memperlihatkan beberapa foto mesra antara Nicho dan Calista di Yogyakarta. Ara tak percaya, segera diraih handphone milik Ferrel dan mencoba meneliti sebaik mungkin setiap foto yang ada.
?Kok bisa ada dia? Nicho kan di sana meeting.?
?Entahlah, kala itu gua lagi mengunjungi saudara gua yang adain acara pernikahan. Terus malamnya gua mau cari oleh-oleh. Tapi tiba-tiba gua liat mereka. Awalnya mau gua samperin tapi gak enak setelah liat mereka begitu mesra yaudah gua cuma perhatikan dari jauh.? Ferrel mengutarakan apa yang sebenarnya terjadi.
?Oh jadi gitu. Ini gak bisa dibiarin!! Gimana kalau kita kasih tau Viana terus kita pergi kesana?? Ara dibakar api cemburu. Dirinya merasa tersaingi. Meskipun dia tau bahwa dirinya tak berhak untuk cemburu oleh sebab itulah ia sengaja mengajak Viana. Kini tak ada lagi kata musuh antara ia dan Viana. Kini di pikirannya hanya bagaimana memusnahkan saingan barunya.
?Boleh juga tuh.? Ferrel dan Ara segera menuju rumah Viana. Ketika sampai disana, terlihat Viana yang sedang asik membersihkan rumah.
?Assalamualikum,? ucap Ara dan Ferrel serentak. Sontak Viana menoleh dan menjawab salam itu. Dengan cepat Viana menyelesaikan tugasnya lalu mengajak kedua tamunya untuk masuk ke dalam rumah.
?Ada apa datang kesini??
?Vi, kamu tau gak?? Ara seolah menakutkan, membuat suasana menjadi mencekam. Viana terlihat bingung, dirinya terus bertanya dalam hati terlebih kini ada perasaan yang mengganggu dirinya.
?Tau apa??
?Itu perihal kedekatan Nicho dengan Calista.? Viana sangat terkejut. Calista? Sahabat lamanya yang menghilang dan kini kembali lagi. Dimana ia? Kenapa kini berita itu sangat menyakitkan.
?Maksud kamu? Calistakan di Singapura.? Viana membantah keras kalimat itu. Viana tak mempercayai perkataan Ara. Viana tak ingin berburuk sangka kepada sahabatnya terlebih suami tercintanya.
?Ini Calista, kan?? Ara memperlihatkan layar handphone milik Ferrel.
?Astagfirullah.? Viana menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Kini tanpa ia sadari, air mata itu kembali meluncur.
?Vi, jangan nangis. Kitakan belum tau kebenarannya.? Ferrel berusaha menenangkan Viana. Kini Viana menunduk, menahan isak tangis. Ferrel menatap Viana dengan wajah iba. Ferrel tak tega melihat perempuan sebaik Viana menangis. Namun hanya Ara yang terlihat tersenyum bahagia di atas penderitaan orang lain.
?Yaudah gimana kalau kita kesana aja?? Ara mencoba mengutarakan idenya. Viana kini hanya menatap Ara sejenak kemudian mengangguk.
?Yaudah sekarang kita siap-siap, nanti sore aku jemput ya.? Ferrel mengusap lembut pundak Viana lalu berpamitan untuk pulang.
Viana segera menuju kamarnya. Dirinya terus menghapus air mata yang tiada henti. Sembari menangis dirinya terus menata beberapa baju yang akan dibawanya untuk ke Yogyakarta. Hingga kini tak tersadar, mentari mulai beranjak ke peraduannya. Terdengar suara deru mesin mobil milik Ferrel. Segera Viana melihat dari balik jendela kamar dan bergegas menuju keluar. Disana sudah terlihat Ferrel dan Ara yang duduk manis di dalam mobil. Lekas Viana segera duduk dibelakang dan dengan hati berdegup ia menenangkan dirinya. Selama di perjalanan suasana hening, tak ada sepatah kata pun yang terlontar. Semuanya sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. Tak terasa hari kian malam, mereka memutuskan untuk singgah di rest area.
?Ayo kita istirahat dulu, makan dulu.? ucap Ferrel memberhentikan mobilnya lalu menatap ke arah Ara dan Viana.
?Iya.? jawab Viana membuka pintu mobil dan segera menghirup udara dingin malam. Viana sejenak menghilangkan penat yang ada, membiarkannya terbang melebur bersama dinginnya malam. Viana berjalan seolah lunglai tak berdaya.
Selama makanan tersaji di depan mata, Viana hanya termenung. Tak sedikit pun di sentuh olehnya makanan dan segelas air itu. Dirinya terus membayangkan hal yang belum jelas kebenarannya. Ferrel menatapnya iba, seolah memberi perhatian lebih. Ara nampak cemburu, lantas dirinya membanting garpu dan pisau yang berada di tangannya lalu melangkah pergi.
Viana dan Ferrel tak mengerti kenapa Ara seperti itu. Namun sayang Ferrel tak memperdulikan Ara melainkan terus menatap Viana. Ara semakin jengkel, karena semua orang tak menganggapnya nyata. Viana dan Calista yang selalu mendapat kebahagiaan hingga tanpa dia sadari kini dia menyimpan benci kepada kedua insan itu.
Mereka bertigapun melanjutkan perjalanan ketempat tujuan. Hingga kini hari silih berganti. Sinar mentari mulai mengintip dibalik bukit yang berbaris. Menyinari jalanan yang tampak sepi dan sunyi. Hingga mereka tiba di hotel penginapan yang akan mereka singgahi beberapa hari kedepan.
Begitu pula Izki, orang terkasih Calista yang kini ditinggali. Tanpa merasa bersalah Calista menjalani hari hingga lupa dengan sang pujaan hati. Namun, Izki merasa terabaikan. Calista jarang sekali memberi kabar kepada dirinya. Entah desakan dari mana, Izki memberanikan diri untuk terbang pula ke Yogyakarta.
***
Setelah mempersiapkan diri, Izki segera terbang menuju Yogyakarta. Dirinya sengaja tak memberi kabar kepada Calista. Namun ketika Izki sampai, Izki tak menemukan Calista di kamar hotelnya. Izki segera meraih handphonenya lalu menghubungi Calista.
?Halo.. Sayang kamu lagi dimana?? Izki seolah tak mengerti kondisi yang sesungguhnya. Calista lekas menjawab dengan santai tanpa berfikir panjang.
?Aku lagi dikamar hotel. Kenapa??
?Yakin di kamar? Gak usah bohong,? Izki mencoba menggoda Calista. Dirinya ingin terkesan sok misterius.
?Iya. Emang kenapa si?? Calista mulai khawatir. Entah kenapa Calista merasa ada yang beda.
?Coba kamu keluar kamar. Aku udah di depan kamar kamu ini.? Izki menjawab dengan nada tegas. Pernyataan itu sangat mengejutkan Calista. Calista tergelagap bingung harus menjawab apa karena kini dirinya sedang bersama Nicho.
?Hehe, iya iya aku lagi diluar, aku abis beli beberapa oleh-oleh soalnya sehari lagi kan aku balik.? Calista menggigit bibir bawahnya. Wajahnya tak karuan, keringat terus meluncur di dahinya karena dirinya ketahuan bohong. Sungguh Calista sangat terpukul oleh suasana yang sangat mencekam itu.
?Oh gitu. Tuhkan udah aku bilang jangan bohong! Cepet kamu, aku udah lama nunggu.?
?Iya.? Calista segera memutus pembicaraan itu dan pamit kepada Nicho. Kini kakinyapun berat untuk melangkah, sebab takut akan resiko yang dihadapinya. Namun akan lebih berat lagi jika dirinya membuat Izki menunggu lama di depan kamar hotel.
Calista segera melesat cepat ke salah satu kedai souvenir. Disana Calista membeli semua barang tanpa diperdulikan jumlah harga dan manfaatnya, yang kini berada di benaknya hanyalah mencapai kamar dengan selamat. Seusai memborong belanjaan di kedai souvenir, Calista segera menuju kamar hotelnya. Kini disana terlihat Izki yang sedang berdiri tegap memandangi handphone dengan wajah bosan.
?Hei sayang, lama ya nunggunya maafin aku ya.? ucap Calista seraya memeluk mesra Izki. Pelukan itu mengandung sejuta makna. Entah pelukan rindu, pelukan sayang, pelukan mencari aman, atau pelukan terpaksa. Izki hanya memandangi istrinya yang terlihat kerepotan oleh segudang belanjaan di kedua pergelangan tangannya.
?Nunggunya gak masalah. Tapi, bohongnya yang bikin masalah.? Izki menatap Calista dengan tatapan tajam. Calista hanya harap-harap cemas, karena kunci kamar susah terbuka disaat suasana yang mencekam menimpa dirinya. Akhirnya setelah perang batin beberapa detik, pintu kamar kini terbuka.
?Oke ayo masuk, biar aku yang bawain barang-barang kamu.? tawar Calista dengan muka sumringah.
?Gak usah! Urus aja itu belanjaan di tanganmu.?
?Oh ya, kamu mau apa datang ke sini? Sebentar lagi juga aku pulang sayang.?
?Salah kalau aku kesini?!? Pertanyaan itu, membuat Calista tercegat. Tak ada lagi yang dapat dilontarkan oleh bibir manisnya. Jika dilanjutkan akan terjadi perang yang berkepanjangan. Namun Calista ingat bahwa besok ialah meeting terakhirnya. Tak mungkin Calista membiarkan Izki bertemu dengan Nicho. Karena itu semua hanya akan memperkeruh suasana.
Kini hari silih berganti, seharian Calista menahan emosi yang ingin terluapkan. Kesabaran yang tiada tara terus dilakukan demi menjaga hubungan rumah tangganya. Calista meminta izin pada Izki untuk pergi meeting di hari terakhirnya, Izki mengizinkannya dengan senang hati. Namun jauh dilubuk hatinya, ia tak terima. Ingin rasanya berontak namun itu hanya akan menggagalkan rencana yang sudah ia persiapkan. Akhirnya Izki membiarkan Calista pergi dengan memperlihatkan senyuman manis di hadapan Calista.