Sinar mentari pagi menyinarkan wajah cool Nicholas yang sedang berjalan di koridor campus. Dengan tas berwarna hijau toska dan sepatu hitam yang mengilat, ia berjalan tegap di tengah koridor yang ramai. Penampilannya--pun dilengkapi dengan kaos biru dibalut kemeja putih berlengan panjang, serta jeans biru . Rambut yang berponi dibuatnya jambul khatulistiwa bagaikan Syahrini. Jambul itu... sebagai ciri khas Nicholas di hadapan para cewek di campus. Semua mata tertuju padanya. Lirikan itu terpancar sangat jelas bahwa betapa bahagianya ia disekelilingnya banyak cewek yang memandanginya.
"Hai Nicholas," sapa Tia dengan mengibaskan rambut ikal panjangnya dihadapan Nicho. Nicho membalas sapaan itu dengan menebarkan pesona yang ada pada dirinya. Pesona itu membius Tia di pagi hari. Beberapa pasang mata yang berlalu-lalangpun ikut memperhatikannya.
"Kamu udah sarapan belum? Makan yuk," sambung Tia.
Tiba-tiba ada 2 sahabat Nicho menghampiri Nicho dan Tia. Sehingga Tia jengkel karena moment di pagi hari yang indah terganggu oleh 2 sahabat Nicho. Setiap kali Tia ingin bercanda gurau bersama serta menghabiskan sepanjang hari yang ia miliki, selalu saja kedua sahabat Nicho itu menggagalkan rencananya.
"Hei, Bro!" sapa Ferrel sembari menepuk pundak Nicho. Nicho menyambut hangat kedatangan kedua sahabat karibnya itu dengan salam pergaulan mereka. Canda tawa diantara mereka sangat mengusik telinga Tia.
"Ih, Ferrel, Erlang ngapain sih!! Ganggu aja. Oh ya kamukan belum jawab aku Nic, kamu udah sarapan belum? Ayo sarapan sama aku," Menarik tangan Nicho.
"Hei ... what's up girl?! Ngapain sih pagi-pagi udah centil aja. Sana ah!" ucap Erlangga dengan muka ketus. Erlangga sangat jengkel ketika pagi harinya dimulai dengan pemandangan yang membosankan yaitu kehadiran Tia diantara mereka.
"Ihs jahat banget si." ucapnya seraya pergi sembari menyibakkan rambut panjang ikalnya kehadapan Erlangga. Tia jengkel oleh Ferrel dan Erlangga yang menghalanginya untuk makan berdua dengan sang pujaan hati. Hingga Tia memiliki sedikit dendam dihati dan ingin segera mewujudkan kekesalannya dengan cara lain tanpa diketahui oleh siapapun.
Erlangga dan Ferrel memang tidak suka pada Tia, karena ia selalu saja merebut Nicho ketika mereka sedang bercanda ria. Mereka bertigapun lekas pergi ke kantin untuk sarapan. Ketika sampai dikantin, Nicholas menyeruak meja yang penuh dengan cewek-cewek modis di campus. Disana terlihat ada empat gadis centil yang sedang duduk-duduk santai. Ada yang sedang makan bubur ayam, makan lollipop, baca novel ada pula yang sedang sibuk dengan gadget dan berdandan. Ya mereka terkenal sekali di campus ini sebagai geng The Angel.
Tak ada satupun yang berhasil lolos gabung di genk mereka karena begitu banyak persyaratan dan ketentuan untuk gabung bersama mereka. Mereka sangat terkenal bagai ratu di campus. Seantero Rayapun tau bahwa merekalah yang sangat menarik diantara yang lain. Walau masih semester 2 mereka sangat terkenal di campus ini. Salah satu ketentuan untuk gabung bersama mereka ialah anak dancer. Mereka berempat mengikuti kegiatan yang sangat digemari semua anak di campus. Dengan Ara sebagai ketua ladies dancernya. Selain harus anggota dancer, kandidat yang ingin gabung di The Angel harus modis, cantik, dan kaya. Karena rata-rata dari mereka ialah anak orang kaya yang selalu meminta uang kepada orang tua dan dihamburkan begitu saja.
“Hei girls!" sapa Nicho dengan senyum sumringah lekas duduk diatas meja. Semua mata kini tertuju hanya kepadanya. Dirinya sangat senang jika menjadi bahan tontonan sebab saat itu terjadi, rasa percaya dirinya yang tinggi akan terlihat jelas.
"Eh, hai Nicho sayang." ucap Ara dilanjutkan dengan kecupan hangat di pipi cowo cool itu.
"Ekhem, pagi-pagi udah dapat ciuman nih Nicho, masa Nicho doang! Gua enggak nih?" tanya Erlangga sinis kepada yang lainnya. Beberapa pasang mata cantik itu hanya saling melempar pandang satu sama lain.
"Pengen banget ya?" jawab Ara dengan manja sungguh sangat menggoda, bahkan Ferrelpun ikut tergoda oleh rayuan maut yang baru saja keluar dari bibir bidadari campus.
"Pengenlah!" Erlangga terlihat sangat yakin dan antusias. Jarang-jarang dirinya diberi pertanyaan demikian. Entah apa yang ada dibenaknya kala itu, yang ia inginkan hanya diperlakukan selayaknya Nicho. Ia merasa hidup tak adil bagi dirinya, jika harus dibandingkan oleh Nicho.
"Muach... udahkan?" ledek Ara pada Erlangga. Lantas tawa pecah diantara mereka. Para gadis centil itu merasa bahwa ini ialah lelucon namun jauh dilubuk hatinya, Erlangga tersakiti oleh lelucon yang tak etis itu. Namun Erlangga tau bahwa dunia kejam. Ini hanya sebagian kecil kekejaman dunia yang ia rasakan. Banyak orang diluar sana yang tertawa diatas penderitaan orang lain. Banyak pula yang tertawa karena menyakiti perasaan orang lain semata.
"Dih sadis! Kirain beneran." ucap Erlangga dengan jengkelnya, menutup kekesalan di ujung bibir dengan senyuman tipis yang terukir.
Di saat mereka asik dengan percakapan di pagi itu, Erlangga tak sengaja menatap jam sporty hitam yang melingkar di tangan kirinya. Erlangga refleks berseru bahwa ia harus segera masuk ke kelas karena ada mata kuliah pagi. Segera Erlangga menarik kedua sahabatnya dengan cepat, namun sayang Ara segera mencegah langkah mereka. Ara menghasut mereka untuk berkamuflase sebagai anak kutu buku di perpustakaan. Tanpa fikir panjang, ide gila itupun terlaksanakan.
Sesampainya di perpustakaan, mereka menjelma sebagai mahasiswa-mahasiswi disiplin dengan duduk rapi sejajar sembari membuka lembaran demi lembaran buku yang mereka pilih dari ribuan buku di perpustakaan. Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk kamuflase agar tidak dicurigai oleh penjaga perpustakaan. Karena mereka mendapat mata kuliah pagi yang pada umumnya semua mahasiswa masuk ke ruang kelas.
"Hei kalian, kok tidak masuk ke kelas?" ucap sang penjaga perpustakaan menatap menyelidik dari balik kaca mata yang diturunkannya hingga ke permukaan hidung. Mata itu, sangat menyeramkan dan tajam bagaikan mata elang yang ingin menyambar mangsanya. Lirikan mata yang menukik itupun bagaikan samurai dari negeri sakura. Mengkilat dan sangat menakutkan.
"MmM... ini pak, kita sedang mengerjakan tugas tapi sedang cari refrensi di suruh dosen perkelompok ke perpusnya," ucap Erlangga mencoba membela diri dan mengucapkan alasan yang kini tertera di kepalanya. Entah alasan yang datang dari mana, yang pasti itu dapat menyelamatkan kelangsungan hidup mereka.
"Oh ya sudah. Jangan berisik!" ucapnya tegas lalu memperbaiki posisi kaca mata dan duduknya seperti sedia kala.
"Baik pak." jawab mereka serentak.
Sekitar 30 menitan mereka habiskan waktu di dalam perpustakaan dengan ditemani berbagai buku. Hal itu sangat membosankan bagi mereka. Jadi, dengan sigap, mereka keluar perpustakaan menuju kantin. Mereka makan, bercanda ria di kantin campus. Seakan kantin milik mereka. Tak ada seorangpun yang dapat menganggu kebersamaan mereka. Itu serasa surga dunia. Tak ada aturan, apalagi aparat yang hobinya mengatur orang.
Kini waktu bergulir cepat, sudah waktunya mata kuliah kedua. Mereka segera masuk ke kelas masing-masing. Mereka memang sering berkeliaran saat jam mata kuliah pertama. Karena mereka masih malas menerima pelajaran di pagi buta. Apa lagi jika harus berjumpa dengan beberapa dosen yang sangat ahli membangkitkan semangat untuk melanjutkan mimpi-mimpi terpendam yang kian berharap menjadi sebuah kenyataan.
“Bye guys, sampai jumpa nanti siang ya," ucap Nicho seraya melambaikan tangan sembari sesekali mengedipkan sebelah matanya.
"Bye juga beib." jawab Ara dengan tersenyum manis serta melambaikan lollipop diatasnya.
***
Ketika matahari seakan sejengkal diatas kepala, kini pertanda pulangnya mahasiswa dan mahasiswi. Ketika Nicho berjalan di koridor campus, tiba-tiba saja dirinya teringat akan buku yang harus ia ambil di loker campus. Lantas dirinya segera berputar arah, menerobos beberapa orang disana. Mencari celah untuk melangkahkan kakinya dan ia terbesit oleh setiap langkahnya. Ketika ia sampai di depan loker bernomor 187 di ambil buku bersampul biru. Setelah mengambil buku, lekas ia tutup rapat-rapat pintu lokernya. Betapa terkejutnya ia, ketika di dapati wajah seorang cewek cantik nan modis di sebelah lokernya. Ya! Tentu, nomor loker cewek itu ialah 188. Dengan spontanitas di sapa cewek di hadapannya.
“Hei girls.. what's your name?"
Tak ada jawaban dari cewek itu. Ia hanya menatap sinis dengan mengerlingkan mata lalu meninggalkan Nicho yang sedari tadi menatapnya. Nicho kesal dirinya tak mendapatkan respons dari cewek yang menjadi pusat perhatiannya. Dirinya serasa rendah. Tak pernah ada satupun cewek yang berusaha menghindar darinya, karena ketampanannya dapat menyihir ribuan mata disana. Tapi tentu tidak dengan Calista! Cewek pendiem yang tak suka diganggu oleh siapapun, kecuali sesuai kehendak hatinya. Oleh karena itulah Nicho merasa tertantang untuk mendekati bahkan memiliki Calista seutuhnya.
"Eh hei, Nic kamu belum pulang?" tanya Ara sembari menepuk pundak Nicho. Sentuhan itu membuat Nicho terkejut, lekas Nicho segera membalikan badannya. Ia takut Ara curiga sehingga ia segera menanggapi pertanyaan Ara dan mengajaknya pulang bersama agar tak ada kesalahpahaman di antara mereka. Ara memanfaatkan keadaan sehingga dirinya meminta untuk ditemani belanja di Gandaria City.
"Oke deh kemanapun akan aku temani kok beib." Nicho merangkul Ara menuju mobil sport miliknya yang ia parkirkan tak jauh dari pintu utama campus. Ara menggandeng mesra tangan Nicho. Bergelayut manja dibahu Nicho selama diperjalanan menuju mobil. Beberapa pasang matapun menatap iri mereka. Ada pula yang memandanginya dengan tatapan risih.
Sesampainya di mobil, Nicho segera membukakan pintu untuk Ara. Kemudian ia duduk bersandar di belakang kemudi dan langsung menancapkan gas ke arah Gandaria City. Ketika sedang lampu merah, Nicho diam bergeming sehingga ia tak sadar bahwa lampu sudah berubah menjadi hijau.
“Nic, sudah lampu hijau tuh," ucap Ara sontak memecahkan khayalan Nicho tentang Calista. Kini, saat dirinya duduk berdampingan dengan kekasihnya. Tak tersadarkan wajah Calista terbesit di kepalanya. Wajah angkuh nan anggun itu tak dapat terlupa dengan sekejap mata.
"Ahh ia apa? Oh iya okey." Dengan tak sadar Nicho membawa mobil secepat kilat.
"Pelan-pelan dong beib. Kamu kenapa si? Sedang mikirin siapa?" Ara merasa ada yang aneh dengan kekasihnya. Namun Nicho tak mungkin membiarkan dirinya terlena oleh suasana. Lidah itu lihai sekali dalam berbohong di hadapan kekasihnya. Dirinya mengelak perkataan Ara. Ara sangat tak mempercayai muka bohong itu, sebab setiap wanita memiliki hati dan perasaan yang kuat. Mungkin raga dapat mempercayainya, tapi tidak dengan hati yang terluka.
Tiba-tiba handphone Nicho berbunyi, memecahkan suasana yang sangat mencekam. Suasana yang membuat terdakwa jadi serba salah. Ternyata panggilan itu dari sahabatnya. Ferrel mengingatkan sohibnya itu agar cepat ke Studio untuk latihan dance. Tapi, ia sudah berjanji pada Ara untuk menemaninya ke Gandaria City. Sehingga dengan berat hati ia memutar balik dan meminta maaf kepada Ara. Sontak Ara sangat kesal dan jengkel atas kelakuan Nicho. Nicho bukannya tidak ingin menemaninya melainkan, seminggu lagi audisi battle dance akan dilaksanakan. Sehingga ia tidak dapat absen sekalipun.
Tak lama kemudian sampailah mereka di Studio dance Nicho. Sudah terlihat Erlangga, Ferrel dan 5 teman lainnya. Tanpa mereka ketahui, kala itu Nicho membawa Ara ke tempat latihan mereka.
"Hei Bro! Lu bawa cewek? Siapa tuh? Kenalin dong," ucap Bagus menatap Ara dengan tatapan penuh nafsu, menyelidik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut yang terurai lembut tertiup semilir angin menawarkan pesona pada dirinya. Setiap kuku yang mengkilat dengan warna pink mempercantik penampilan dirinya.
"Kenalan aja sendiri! Mau dia? Ambil aja. Udah bosen gua," bisik Nicho kepada Bagus dengan nada santai. Terkesan merendahkan cewek secantik Ara. Nicho memang typical cowok yang suka berpaling ke lain hati. Jika dirinya merasa bosan dengan salah satu pasangannya, sesegera mungkin dirinya berpaling ke cewek lain.
"Wah gila lo ya.. Gua tau bro cewek lu banyak tapi jangan sia-siain cewek secantik dia dong!" Bagus memprotes Nicho atas perkataan yang baru saja ia jabarkan. Nicho risih dengan keberadaan Ara yang terus menghantuinya, mengikuti setiap langkahnya. Seakan Ara tak ingin jauh dari dirinya, ingin selalu bersama dirinya. Menghirup oksigen yang sama, menghembuskan karbondioksida bersamaan pula.
"Udah gua bilangkan. Kalau mau ambil aja!" ucap Nicho mempertegas kalimatnya. Bagus menyeringai, dirinya sangat ingin menerima tawaran itu. Lekas Bagus menatap lekat-lekat wajah Ara. Ara sangat tak menyukai dirinya dipindahkan sesuka hati selayaknya sebuah barang. Sebab, seperti apapun bentuk, sifat, dan perilaku seorang wanita, dirinya tak layak di permainkan. Karena wanita ialah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Takkan ada warna di muka bumi ini jika tak ada seorang wanita.
"Ihs apaan sih kamu Nic!! Apa maksud kamu bilang bosan?" Ara melipat kedua tangan di depan dadanya. Muka yang biasanya terlihat bahagia, kini tertekuk kusam. Sebelah alis menjadi isyarat tanda bahwa dirinya merasa sangat kesal. Tatapan yang menukik tajampun serta merta mewarnai wajahnya. Seketika suasana menjadi hening, mencekam dan menakutkan. Ketiga pasang mata saling mengedarkan pandangan dan bertautan dalam hati. Sungguh tak ada yang dapat berkutik lagi. Bahkan jangkrikpun tidak berani berderik.
"Sudahlah kita tuh disini mau latihan bukan bahas cewek!" sergah Ferrel dan Erlangga berbarengan. Kini kedua sahabatnya mencoba menjadi penengah diantara kekacauan yang ada.
Sekitar 3 jam Ara menunggu mereka latihan. Tapi sesekali ia bercanda dengan Bagus sebagai bentuk pembuktiannya terhadap Nicho bahwa ia bisa bahagia tanpa Nicho. Akhirnya merekapun selesai latihan, tanpa basa-basi Nicho pergi meninggalkan Studio dengan tidak menghiraukan Ara. Ara merasa terabaikan hingga dirinya memanggil Nicho dengan suara yang cukup lantang.
Nicho dengan berat hati memberhentikan langkah kakinya. Dengan wajah yang sangat terpaksa sembari menghela nafas, dirinya menatap Ara dari kejauhan. "What's up?"
"Kok kamu ninggalin aku!" Ara memasang wajah sok manja. Ditekuk bibir bawahnya yang merah merona dan menampilkan ekspresi memelas, membuat semua orang tak tega melihatnya.
"Udah ada Baguskan? Sob gua titip Ara ya, tuh lu anterin dia kerumahnya atau kemanapun yang dia mau. Ke Hotel juga boleh," ucap Nicho cuek.
"Hah! Apa kamu bilang Nic? Oh okey! Ayu Bagus, kita ke Hotel aja kita having fun," ucap Ara seraya menarik lengan Bagus. Bergelayut mesra di lengan Bagus. Bagus terlihat sangat senang karena dirinya dapat menaklukan Ara secepat kilat menyambar. Kini Bagus semakin berbesar hati, di rangkulnya pundak Ara sembari membusungkan dada.
"Haha, buat Bagus puas ya Ra.. seperti yang kamu lakukan ke aku," sambung Nicho lekas bersungit keluar studio dan menuju mobil sport merah miliknya. Tak lagi memperdulikan sepasang kekasih yang baru saja berjumpa. Kini yang terus terngiang di kepalanya hanya bagaimana caranya untuk dapat menaklukan cewek yang baru saja ia temui. Cewek cantik yang tak sedikitpun menyempatkan diri untuk sekedar melirik dirinya.
***
Keesokan harinya, ketika Nicho, Ferrel dan Erlangga sedang bercanda gurau di bawah pohon rindang campus, Nicho kembali melihat cewek itu. Akan tetapi cewek itu pergi menuju tempat yang paling membosankan bagi Nicho yaitu PERPUSTAKAAN. Nicho terus memperhatikan setiap langkah dan gerak-geriknya, kini yang berada di kepala Nicho ialah bagaimana caranya agar ia dapat mengetahui nama cewek itu. Nicho ingin sesegera mungkin berjumpa kembali serta berkenalan dengannya.
"Eh Nic ngelamun aja, ngeliatin siapa sih? Serius amat!" Ferrel menghancurkan imajinasi Nicho yang sedang melambung tinggi di angkasa. Menari-nari bersama ribuan kupu-kupu cantik yang mewarnai setiap angannya. Bersenandung ria dengan birunya langit dan putihnya awan.
Nicho terkejut, dirinya segera menjawab dengan spontanitas tanpa memikirkan masa depan nasibnya. Padahal kedua sahabatnya ialah orang yang tak henti menghancurkan segala yang diingkan dirinya. "Ah iya.. Ga, itu tadi ada cewek yang kemarin,"
"Apa? Yang kemarin? Yang kemarin yang dimana sih?" sambung Erlangga menatap Nicho dan Ferrel secara bergantian, mencari jawaban diantara raut wajah yang sangat membingungkan. Alis dan mata saling bertautan, melempar pandang. Nicho tak memperdulikan suasana itu lekas dirinya segera mengambil tas ransel dan berlari meraih cewek idamannya. Kedua bola matanya tak lepas pada satu pandangan, ia tak ingin kehilangan jejak terlebih kesempatan. Kesempatan emas yang ia nanti selama sepertiga malam. Dirinya tak henti memikirkan raut wajah menggemaskan cewek itu .
"Nic... tunggu! Lo mau kemana?" Ferrel kini menatap Nicho yang kian menjauh dari pandangan. Secepat kilat Nicho melesat, hingga orang disekitarnya tak ada yang menyangka akan hal itu.
"Perpustakaan Bro. Lo mau ikut?" Nicho membalikkan badannya lalu kembali menatap mangsanya. Kini Nicho mencoba mengendap-endap dari beberapa meter di belakangnya. Nicho sama sekali tak menganggap kedua sahabatnya kala itu.
"HAH?! Perpustakaan? Ih gila kesambet setan apa tuh anak mau ke perpustakaan biasanya paling anti ke perpus,"
"Tau tuh. Tapi dia bilang cewek yang kemarin? Yang mana sih?" Ferrel penasaran. Rasa penasaran yang menggebu menuntutnya untuk segera memantau Nicho. Terlebih Ferrel tak mengetahui apapun, sudah pasti itu ialah rahasia terbesar. Nicho sama sekali tak pernah menyusahkan dirinya untuk mendapatkan hati seorang perempuan, cukup dengan tebar pesona melalui lirikan mata, sekejap saat itu pula cewek akan jatuh hati padanya. Tapi kali ini, Nicho yang harus menguntit cewek itu. Itu ialah tanda tanya besar bagi Ferrel dan Erlangga.
"Ga tau gua. Lagi pula mana mungkin tuh anak punya selera cewek kutu buku biasanya juga cewek dancer."
"Emm.. gimana kalau kita ikutin aja tuh anak, gimana?" Sambung Ferrel dengan menyeringai.
"Oh iya.. ide bagus tuh! Ayo ayo!! Cepat beresin tuh laptop lu."
Lekas mereka segera berjalan ke arah perpustakaan. Ketika mereka sampai di bingkai pintu, mereka segera mengedarkan pandangan, mencoba mencari Nicho diantara ribuan buku disana. Ketika Ferrel melempar pandangan ke salah satu sudut, terlihat Nicho di balik rak. Nicho terlihat sedang sibuk mencari-cari, namun sepertinya bukan buku yang ia cari, melainkan dirinya seperti sedang mengintai seseorang. Lekas Ferrel menyentuh pundak Erlangga untuk segera menghampiri dan mengejutkan Nicho bersamaan. Nicho sangat jengkel, seketika yang menjadi objek penglihatannya sirna karena kedatangan kedua sahabatnya yang sangat menyebalkan. Ini satu dari sekian banyak sikap mereka yang membuat Nicho jengah.
"Oh oh oh ? Ternyata lu yang sedari tadi merhatiin gua." ucap seseorang dari belakang, sontak mereka segera memutar badan mencari sumber suara yang tiba-tiba saja menyeruak di telinga mereka. Nicho sangat terkejut, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Sementara cewek itu memasang tampang sok jagoan sembari melipat tangan di depan dada. Sebelah alisnyapun mengernyit ke atas, mempercantik wajah manisnya yang di buat sok judes.
"Hah?! Apa? Geer amat lu! Gua tuh di sini lagi nyari buku tau," Nicho membela diri. Suaranya terdengar gemetar, jikalau saja ia teliti pasti terdengar jelas suara gemetar itu.
"Dih.. Apaan Nic? Lu ngapain nyari buku Science kan mata kuliah lu Sastra Inggris," sergah Erlangga dengan wajah polos. Ingin rasanya Nicho segera menenggelamkan sahabat yang satu ini. Sahabat yang tak bisa mengerti keadaan sesungguhnya.
"Ya terus.. Salah gitu kalau gua baca buku Science?" ucap Nicho dengan raut wajah sinis. Kalimat itu sangat tegas, menutupi rasa gerogi yang amat dahsyat yang kini menimpa dirinya.
"Udahlah ga usah mengelak! Gua tuh tau dari pertama masuk perpus ada yang ngikutin dan merhatiin gua, yaitu lo!"
“Dih apaan sih lo! Geer banget! Udah yuk ah balik, males banget gua kalau dituduh gitu, lagi pula gua udah dapet buku yang gua butuhin kok," seraya mengambil salah satu buku dari rak buku di perpustakaan. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Nicho melenggang pergi meninggalkan cewek itu sendiri. Nicho mempercepat langkah kakinya, tak sabar dirinya untuk segera menghabisi kedua sohibnya yang menghancurkan rencananya.
Akhirnya ketiga cowok itupun lenyap dari penglihatan cewek itu. Ia tahu dan yakin bahwa Nicholah yang mengikutinya. Tiba-tiba cewek itu cekikikan karena melihat Nicho mengambil buku tentang kehamilan. Ya, seharusnya buku kehamilan berada di koleksi kesehatan tapi entah kenapa buku itu berada di deretan buku Science lainnya.
"Pak, saya mau pinjam buku ini," Nicho memberikan buku yang kini di genggamannya. Nicho masih tak tersadar buku apa yang ingin ia pinjam.
"Yakin? Buku kehamilan ini?" Tanya sang penjaga perpustakaan. Nicho yang semula masih mencari sosok cewek dari balik beberapa rak buku kini menoleh cepat. Seakan ada hal yang asing ditelinganya yang kini menyeruak masuk. Mata Nicho membelalak tak percaya, mulutnya pun tergelagap, kakinya seakan kaku. Kini waktu terasa terhenti betapa beratnya Nicho menimpa malu yang melanda.
"Hah? Apa? Buku kehamilan pak?" Ferrel segera mendekati sang penjaga perpustakaan. Ferrel memandangi Nicho dengan tatapan menggoda. Lalu pecahlah tawa yang kini sudah berada di ujung bibir Ferrel dan Erlangga. Kedua sohib yang tak peduli situasi dan kondisi. Sang penjaga perpustakaanpun tak kuasa hati untuk menahan tawa. Hingga dengan tawa yang tiada henti dirinya mengurusi administrasi perihal peminjaman buku oleh Nicho.
"Ihs apaan si lu! Tante gua tuh lagi butuh buku itu, gua udah cari susah banget. Yaudah gua pinjem di perpus," Nicho membela diri. Namun tak ada seorangpun yang mempercayainya. Nicho kini semakin jengkel lalu mengambil buku itu dan bersungit keluar perpustakaan dengan menyimpan malu yang mendalam.
"Eh tunggu Nic! Ah elah lo, alesan aja. Gua tau tadi lu asal ambilkan?" Ferrel menggoda Nicho. Nicho hanya membalasnya dengan tatapan sadis. Tatapan itu menukik tajam. Seolah harimau yang siap menerkam mangsanya. Dengan cepat pula Nicho memasukan buku itu ke dalam tasnya sebelum orang lain mengetahuinya.