Shea melangkah keluar di antara kerumunan siswa – siswa lain yang juga baru keluar kelas. Gadis itu selalu berjalan sendirian di tengah kerumunan, dan telinganya selalu tersumpal oleh headset.
Tiba – tiba tangannya ditarik. Sudah diduga, itu Reza.
“Apaan ?,” Tanya Shea.
“Gue minta maaf, harusnya tadi kita ketemu waktu istirahat. Tapi tadi loe lihat kan kalo…”
“Iya terus ?,” Shea memotong.
Reza menghela napas berat, “Loe marah ya ?.
Shea tak bergeming, kepalanya sedikit bergoyang. Tanda ia menikmati musik. Reza mencabut headset Shea.
“Dengerin gue Shea !.” “Gue udah dengerin, Reza. Menurut loe gue marah gak ?. Yang peka dong jadi orang !. Itu bisa dinalar. Kalo gue ngomong gini dan ekspresi gue kayak gini ?. Menurut loe gue marah gak ?,” Semprot Shea.
“Gue minta maaf.”
“Kenapa loe meluk Arei ?, sedeket apa loe sama cewek norak itu ?,” Tanya Shea.
“Kita temen sejak SMP. Dan dia nggak norak,” Jawab Reza.
“Oke, temen sejak SMP. Gue harap loe bisa berkomitmen dengan apa yang loe bilang 4 tahun lalu. Gue pulang dulu,”Ujar Shea.
Tak ada yang bisa Reza lakukan selain membiarkan gadis itu pergi. Dia memang salah dan Shea pantas marah.
Reza kembali ke parkiran, Nino sudah menunggunya disana. Sahabat sejak TK yang ternyata masih terus bersamanya sampai SMA. Rumah mereka hanya terpaut dua rumah jauhnya.
“Kenapa tuh bocah ?, ngambek ?,” Tanya Nino.
Reza hanya mengangguk. “Gue salah.”
“Sebenernya sekarang perasaan loe dimana sih ?. Loe lebih milih Shea, atau loe lagi suka sama Arei ?.”
“Arei,” Jawab Reza pendek saja.
“Apa istimewanya sih tuh anak ?,” Tanya Nino kesal.
“Loe nggak bakal tahu kalo dia istimewa, sampe lu tahu sendiri,” Balas Reza.