“Iya, sakedap atuh bapak. Bentar lagi Arei pulang.”
Areina kembali meletakkan ponselnya di kantung bajunya. Ia mengangkat nampan di tangannya dan membawanya ke dapur.
“Udah, pulang aja. Kerjaan loe udah kelar semua dan pas 3 jam. Sana pulang, belajar,” Ujar Kak Tito.
“Serius nih ?.”
“Iya lah, ngapain gue bercanda ?. Loe tuh baru jadi anak SMA, gue yakin tugas loe numpuk di rumah. Sana pulang,” Imbuh Kak Tito.
“Oke, duluan ya kak...”
Arei melipat celemeknya dan berjalan menuju parkiran. Sepeda motor hitam matic pemberian pamannya itu masih terparkir disana. Segera saja Arei melaju kembali ke rumah. Sudah pukul 19.30. Ia harus cepat.
Dalam waktu 15 menit, Arei sampai di rumah minimalis berlantai satu itu. Rumahnya tak mewah namun nyaman. Sang ayah sudah menunggu di depan rumah.
“Lama banget, Rei,” Gumam Bapaknya.
“Ih, bapak. Biasanya Arei juga pulang jam segini,” Balas Arei.
“Udah, cepet masuk. Kerjain PR nya,” Sahut Bapak.
Setiap pukul 16.00, saat Arei pulang sekolah. Bapak langsung mampir ke cafe tempat Arei bekerja untuk mengambil laptop dan tas Arei, serta memberikan baju ganti. Jadi sesampainya di rumah, Arei tinggal mandi, dan laptopnya siap dipakai.
Ya, Arei bekerja. Ayahnya bekerja sebagai sales sebuah perusahaan makanan dengan gaji tak seberapa. Sedangkan ibu Arei bekerja di salon. Sang ibu bekerja sesuka hatinya dan selalu meminta uang lebih. Hingga akhirnya, selulus SMP, Arei disuruh sang ibu bekerja.
“Kalau kamu nggak kerja, nggak usah tidur di rumah. Ibu kirim ke panti asuhan !.” Begitu ancamannya.
Untungnya Arei tak sendirian, ia ditemani kakak dan adiknya. Arei punya dua kakak dan seorang adik laki – laki. Kakak pertamanya berusia 21 tahun, selulus SMK, Alif mencoba mencari pekerjaan. Syukurlah ia mendapat pekerjaan yang cukup menjajika di sebuah perusahaan listrik yang kemudian menguliahkannya.
Dari sinilah keluarga Arei mendapatkan pemasukan yang lumayan.
Nomor dua adalah Gita, gadis manja yang lebih tua hanya dua tahun dari Arei ini mengikuti jejak ibunya. Gita memaksa kuliah, dan tidak mau sedikitpun bekerja. Ia memaksa Bapaknya untuk mengiriminya uang bulanan yang jumlahnya tidak sedikit, dan gadis kurang ajar itu memilik kosan yang tergolong mahal.
Adik Arei berusia 14 tahun, namanya Adam. Syukurlah Adam bisa bersekolah, ia terancam tidak sekolah selulus SD. Bocah ini bekerja sebagai operator si salah satu warnet. Gajinya lumayan untuk biaya hidup dan uang sakunya.
Sedangkan paman Arei, adalah salah seorang pedagang terkaya di Bandung. Ia hanya memiliki dua putra yang baru duduk di bangku SMP. Pria inilah yang banyak membantu keluarga Arei.
Laptop, sepeda motor, dan kebanyakan kebutuhan sekolah ditanggung sang paman.
“tok..tok.., teteh.....”
“Masuk dek.” Itu pasti Adam, siapa lagi di rumah ini yang memanggilnya dengan sebutan teteh, kalau bukan Adam.
Adam masuk ke kamar Arei dan berbaring sebentar di ranjang sang kakak. “Kira – kira A’Alif datengnya kapan ya ?,” Gumam Adam.
“Kamu kangen ya ?. Aa’ kan udah bilang, pulangnya 2 tahun sekali. Kemarin udah pas lebaran. Atau Adam mau nyamperin Aa’ ?, nanti teteh beliin tiket,” Sahut Arei.
“Teu, nanti duit teteh habis.”
“Teteh kan masih punya tabungan, Jakarta – Bandung Cuma 50 ribu.” Tak ada balasan, Adam tetap diam.
“Teteh jadi bikin rekening ?,” Tanya Adam lagi. “Jadi, udah lama teteh bikin.”
Tiba – tiba Adam beranjak dan meletakkan setumpuk uang di meja Arei.
“Lho dek ?. Ini uang dari mana ?,” Tanya Arei heran.
“Ya duit hasil kerja.”
“Kok banyak banget ?. Kamu nggak ngambil duit Pak Haji Sawir kan ?,” Tanya Arei lagi,
“Justru adek dikasih Pak Haji. Kemarin cucu Pak Haji, si Toni, jath di taman waktu adek lewat. Dia jatuh dari ayunan teh. Berguling – guling gitu. Dia langsung teriak – teriak dan adek bawa ke Rumah Sakit. Dikasih uang,” Jelas Adam.
“Bener loo ya, adek nggak bohong ?,” Tanya Arei lagi.
Adam mengangguk mantap.
Arei menghitung selembaran uang 50 ribuan itu. Totalnya Rp 700.000.
“100.000 buat pegangan adek, sisanya teteh masukin rekening ya,” Ujar Arei.
“Iya.”
“Alhamdulillah.”