Bicara tentang hati, adalah hal yang paling sulit aku mengerti. Memahami banyak hati yang ada disekitar kita. Berusaha mencoba untuk lebih baik dari hari ke hari, belajar melihat apa yang sedang terjadi. Aku memahami, bahwa sebuah perasaan tidak bisa dipaksakan bagaimanapun cara dan keadaannya. Bisa jadi apa yang menurut kita baik menjadi buruk bagi orang lain.
Aku memahami perasaan orang-orang yang “hidup” dalam hatiku. Mengamati dan mempelajari apa-apa saja yang mereka rasakan. Mencoba berlaku baik dan mengindari kekecewaan. Namun, dalam perjalanannya, telah banyak yang terjadi. Aku tak bisa bilang bahwa aku selalu benar dan selalu berlaku baik pada perasaan-perasaan itu. Seringkali aku berlaku buruk dan meninggalkan kekecewaan pada mereka.
Aku bertemu dengannya, dibawah sinar pagi yang membutakan. Sebuah hati yang diam dalam keremangan. Dia melamun, aku hanya menyunggingkan senyum, sekilas. Dia tak bergeming. Dari kejauhan, sinar matahari mencoba menerobos hatinya, berusaha memberikan kehangatan lewat kata-kataku. Hatinya sungguh dingin, mungkin perasaan telah mati membeku didalammnya. Aku berusaha mencari dan meraba, mengangkat sepotong perasaan dan menghangatkannya dibawah sinar matahari.Dia mulai leleh, bernapas satu-satu dan bercerita. Satu kata, dua kalimat, dan sepanjang hari akhirnya dia bercerita. Aku mulai senang, perlahan tapi pasti.Dia adalah si Diam.
Musim semi segera berlalu, yang kulihat hanyalah tumpukan daun kuning dan cokelat. Kadang-kadang mereka juga diterbangkan angin, mendarat di berbagai tempat. Ada yang dipekarangan, di lampu-lampu taman, bahkan diujung jendela rumahku.
Aku berharap bisa menemukannya, menemukan hati lain yang sedang kedinginan. Hati-hati yang rapuh dan ditinggalkan. Kadang mereka ada di beberapa orang yang lewat didepan rumah. Tentu saja aku selalu mengamati dari balik jendela sembari meminum secangkir kopi. Mereka sungguh unik, ya, perasaan-perasaan itu hinggap pada hati yang sendiri dan kesepian. Perlahan menumpuk kesedihan dan airmata dari kehilangan, hingga akhirnya perlahan mati.
Ohya, kali ini aku akan bercerita tentang si Cemburu. Ia berkenalan denganku, mungkin dua bulan yang lalu. Dia ramah, dan senang dengan segala ceritaku. Kadangkala ia tak suka bila aku menyebut si Diam. “Bicarakan aku saja”, ucapnya. “Oh, kukira kau senang dengan cerita si Diam”, ujarku pelan.
Cemburu selalu datang setiap malam, terlebih bila hujan turun. Aku sering terbangun dan melihatnya sedang duduk di dekat perapian. Melihatnya yang sedang membuka album foto, atau membaca buku diary yang baru selesai aku tulis. Biasanya dia selalu menyambutku dengan protes kecil. Aku ingat itu.
“Hey, kenapa tak ada fotoku disini?”, dia cemberut.
“Kenapa kau menulis tentang si Diam Lagi?”, dia menaikkan alisnya.
“Oh, kau menemuinya lagi?, kuharap jangan seterusnya”, kali ini mungkin dia marah.
Begitulah Cemburu, kadang aku terlalu senang dengan dirinya, kadang pula aku merasa sebal. Namun Cemburu tak juga mengerti, ia selalu saja bertanya dan melarang akan sesuatu. Seperti malam ini, ia melarangku untuk mendekati jendela. Ia tak suka bila aku terus mengamati hati-hati itu.
Aku lelah.
Sampai suatu hari, ia tak datang lagi. Ia tak akan duduk didekat perapian atau menggenggam diary-ku lagi. Ya, karena malam sebelumnya aku telah membunuhnya. Meninggalkan dirinya tak berdaya di bangku taman. Tentu saja aku telah mengucapkan selamat tinggal.
Hari berlalu, kali berikutnya aku bertemu si Rindu. Ia sedikit tertutup dan pemalu. Kami berkenalan diatas Bus yang sedang menuju rumah. Oh, rumahnya hanya satu blok saja dari rumahku. Akhir pekan, ia selalu mengundangku minum teh. Kadang di kedai teh seberang jalan, namun lebih sering di rumahnya sendiri. Teh buatan si Rindu sungguh harum, ada melati dan beberapa butir cengkeh.
Di bulan pertama semenjak aku kenal dengannya, hampir setiap pekan ia memintaku datang. Lagi-lagi untuk meminum teh buatannya. Bulan kedua masih sama, namun ia mulai memintaku datang setiap tiga hari sekali. Aku senang, ia begitu baik hati dan ramah. Bulan selanjutnya, ia memintaku untuk datang setiap sore. Kami biasa duduk diberanda rumah, mengobrol dan tentunya sembari meminum secangkir teh.
Perlahan, dia mulai sering meneleponku. Menanyakan kabar dan sebagainya. Aku mulai jengah dan tak sabar. Hingga kapan ia akan berlaku seperti itu?
Tuhan tahu mungkin aku salah. Namun Tuhan juga tahu bahwa semua terjadi karena ada sebabnya. Sore itu aku mengiriminya se-paket teh mawar, dan memintanya untuk menungguku di beranda rumahnya.
Menjelang malam, aku meninggalkannya yang masih duduk di beranda. Meninggalkannya yang takkan pernah membuatku meminum teh-nya lagi. Dia sudah mati. Aku membunuhnya, tentu tidak sekejam seperti si Cemburu. Aku hanya menyuruhnya minum teh mawar yang aku kirimkan. Bukan sepenuhnya salahku. Seharusnya dia tahu, bahwa tak ada teh mawar jika kau mau meminum durinya.
Hari ini dingin, aku tak meminum kopi lagi. Karena aku lebih suka teh melati si Rindu. Ia mengajariku meracik teh sebelum aku membunuhnya. Hmmm, kenapa ia tak protes?
Salju mulai turun satu-satu, memutihkan jalanan dan atap rumah tetangga termasuk rumahku juga. Dari hari ke hari, semakin sedikit saja orang yang lewat. Mereka lebih senang menghangatkan hati dirumah. Aku bosan. Tak ada yang bisa kuamati.
Sejauh ini, aku tak bertemu siapapun. Tidak dengan Cemburu atau Rindu, tentu saja mereka sudah mati. Bagaiman dengan si Diam?, sudah kubilang dia pergi, membawa hujan dan angin di musim semi yang lalu. Ah, betapa dulu dia begitu dingin. Tapi, kini ia bertambah beku bertemu denganku, melupakanku begitusaja. Aku kesal, terlalu sakit untuk menerima. Ya, seperti yang lain. Aku juga membunuhnya. Menimbun Diam dalam tumpukan salju. Berharap salju dapat mendinginkan hatinya yang dingin, hingga takkan bangun lagi untuk menyapaku. Seperti namanya, aku membuatnya Diam di pekarangan rumahku.
Sulit kuterima, betapa mudahnya aku membunuh perasaan-perasaan itu. Namun aku juga tak bisa bertahan lagi dengan sifat mereka. Jadi, lebih baik bila aku membunuhnya.
Hari ini, tepat dengan hari dimana aku bertemu dengan si Diam. Setahun yang lalu, di bawah pohon mapple, pada musim semi. Aku bertemu dengan hati yang lain.
Ia hanya tersenyum bila kutanyakan namanya. Tak membenarkan atau menyalahkan tebakanku.
“Apa kau si Cemburu?”
“Si Diam?”
“Atau si Rindu?”
Aku bingung. Akhirnya aku memanggilnya “Si Perasaan Misterius” saja. Lagi, dia hanya tersenyum.
Hari demi hari, dia selalu menemaniku berkeliling taman. Mendengarkan setiap ceritaku, dan akupun juga mendengarkan setiap ceritanya. Entah mengapa, seperti namanya, aku penasaran dan sulit menebak siapa dirinya. Dia begitu berbeda dan memiliki pesona aneh yang membuatku berkelakuan seperti si Rindu. Selalu ingin menemuinya, menelpon dan menanyakan hal-hal yang tidak perlu, hanya untuk mendengar suaranya.
Tak kusadari juga, perlahan aku meniru si Cemburu. Selalu merasa sebal saat ia tak mengangkat telepon. Protes bila ia menemui hati lain. Bertanya banyak hal tentang dirinya, dan memastikan tak ada hati lain yang sedang bersamanya.
“Jangan pergi sore ini, kau harus bersamaku”, ujarku.
“Aku harus menghadiri rapat, kau tahu itu”, suaranya di ujung telepon.
“Ya, tapi menjauhlah dari hati itu. Aku tak suka dengannya”, aku menutup telepon.
Adakalanya aku rindu, mencemburui angin yang sedang bersamanya. Cemburu pada hujan yang selalu menemaninya. Aku cemburu padanya yang bahagia tanpaku.
Cemburu, sebuah kata baru yang kupelajari. Sebuah perasaan yang tak bisa dinalar, terjadi begitu saja pada siapa saja. Aku jadi ingat si Cemburu. Ah, Sial.
Belakangan ini aku juga sering diam. Tak merespon apa yang dikatan oleh si “Perasaan Misterius”. Tak berselera menyapanya lagi di sambungan telepon. Akhir bulan, ia mengajakku ke kantornya. Aku menggamit lengannya, dan melangkah masuk kedalam.
Diujung ruangan aku melihat sebuah hati, hati itulah yang selalu berada dekat dengan si Perasaan Misterius.
“Dia tunanganku, minggu depan kami akan menikah”, ucapnya ringan.
“Ya, namaku si Kasih”, ujarnya mengulurkan tangan.
“Oh”, jawabku datar.
“Kau sering bertanya namaku, kini kau tahu. Akulah si Cinta”, si Perasaan misterius tersenyum.
Aku benci senyumnya. Senyum yang awalnya aku sukai.
Hari senin Cinta dan Kasih menikah. Undangan telah dikirim kerumahku. Tak ada yang bisa kubaca. Karena surat itu akan tetap berada di kotak surat. Aku takkan bangun dan melihat pernikahan mereka. Karena malam sebelumnya, Diam, Cemburu dan Rindu membunuhku.
Memaksaku untuk tetap tinggal dirumah. Dan menutup jendela.
CERITANYA BAGUS BANGET, KUNJUNGI CERITAKU YUK https://tinlit.com/read-story/1436/2575, BANTU LIKE DAN CMMENT NYA YAA.. :)