Read More >>"> Orang Ladang
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Orang Ladang
MENU
About Us  

Musim hujan mulai tiba, milyaran tetes hujan membasahi bumi. Melepaskan dahaga tumbuhan yang kering meranggas dilumat kemarau panjang. Bulan ini sedikit sekali aku diantari surat undangan sunatan, mungkin banyak yang tak mau menggelar hajatan tanpa tamu yang datang lantaran hujan. Aku heran, mungkinkah para pawang hujan sengaja kongkalikong dengan alam?

Musim hujan kali ini juga membuat Mak Nah, janda tua sebelah rumah uring-uringan lantaran dagangan es-nya tak laku. Para ibu berbondong-bondong menjewer telinga anak-anak mereka yang kepergok membeli es pada Mak Nah, karena khawatir bila si anak akan sakit nantinya. Kontan saja janda tua itu tak terima dan menghujat mati-matian jika musim hujanlah penyebab segala jenis penyakit datang, tak ada hubungannya dengan dagangan es  miliknya.

“Hujanlah yang salah!, jangan kau kira daganganku ini penyebab anakmu demam Sanik!”, bentak Mak Nah pada Uni Sanik .

Begitulah jawab Mak Nah, setiap ada ibu yang protes tentang anaknya yang sakit demam, batuk, atau hanya sekedar ingusan saja. Aku juga termasuk yang dimarahi atau di jewer. Ibu kerap pula memergokiku yang sembunyi-sembunyi menyedoti es sirop Mak Nah.

Padahal menurutku, tak ada yang salah dengan es Mak Nah. Manis dan gurih santan bercampur sirop pandan dan ditambah sedikit potongan cincau hitam. Siapa yang tak ingin mencicipinya?

Aku kenal Mak Nah, ia adalah janda tanpa anak yang baru saja ditinggal mati suaminya. Ia amat mencintai Pak Kaeh, suaminya, hingga bersumpah takkan menikah lagi. Aku heran, manapula ada yang berniat menikahi Mak Nah. Semua juga tahu jika Mak Nah sudah tua, lagipula sifatnya yang sering buat gerah tetangga itulah yang makin membuat orang enggan berurusan dengannya. Kalau tidak perkara es dan ingus, mana sudi ibu-ibu itu pergi kerumah Mak Nah.

Sejak Pak Kaeh meninggal pula, Mak Nah membuka kedai kecil dirumah panggungnya. Hanya sebuah meja dengan dua kursi rotan, kemudian beberapa toples kecil isi santan, es batu, cincau dan dua botol sirop pandan warna hijau tua.

Meskipun begitu, kedai kecil itu tetap ramai setiap saat. Pagi, siang hingga petang. Apalagi musim kemarau, sungguh ramai. Tetangga saja sampai tergoda dengan segarnya es Mak Nah, lupa kalau mereka sering menggosipi Mak Nah, lupa kalau mereka bilang tak sudi ada urusan dengan janda tua ini. Aku pun sering beli, hampir tiap hari. Tiap siang, saat udara panas-panasnya, atau sore sehabis hujan di musim hujan pula. Sungguh tak habis-habis, aku bagai kecanduan es sirop itu.

Mak Nah membenci hujan sejak Pak Kaeh meninggal. Pak Kaeh tersambar petir selagi memanen kopi di ladang. Hari itu, aku melihat Mak Nah meraung-raung berkalang tanah kuburan Pak Kaeh, bagai babi hutan yang terluka tombak pemburu. Para tetangga pun berusaha menenangkan Mak Nah, namun tangis Mak Nah makin menjadi-jadi. Hingga membuat pemakaman Pak Kaeh memakan waktu cukup lama. Sebab mak Nah hendak terjun pula ke liang lahat. Melompat tiba-tiba. “Hendak menemani Pak Kaeh”, ujarnya sesengukan.

Semenjak itu pula, Aku juga kerap mendengar Mak Nah seolah berbicara dengan Pak Kaeh setiap pagi,seperti ketika Pak Kaeh masih hidup. Bila tak diperhatikan dengan seksama, orang lain mungkin mengira kalau Pak Kaeh benar-benar masih hidup.

“Kopi lagi kah?, ah, aku lupa kau sekarang jarang minum pagi-pagi”.

“Kau takut lambungmu sakit kan. Biar kubuat teh saja ya?”.

“Jangan susah kau pikir. Kau mati pun aku tetap bisa makan. Sekarang aku jual es. Malas kalau ambil kopi di ladang. Itu pula kerjaanmu”.

“Kau jangan senang musim hujan, jualanku tak laku. Kau bilang kopi juga tak panen bila hujan kan?”.

“Sudah kubilang jangan panen kopi dulu, masih hujan”.

“Aduk yang benar, ha?...Kau lelah kah?”.

“Jangan malas-malas, bantulah kerjaku sedikit”.

Begitulah kira-kira suara Mak Nah, sebuah dialog untuk dirinya sendiri yang dirasa seperti dialog biasa dengan suaminya. Kadang aku iba, sudah pasti berat bagi Mak Nah. Tak ada lagi orang yang biasanya diajak bercerita, para tetangga menjauhinya. Bahkan bahan untuk memaki saja tak ada. Dulu waktu Pak Kaeh masih ada, kerap kudengar suara Mak Nah menggelegar-gelegar membentaki Pak Kaeh. Ada saja bahan untuk membuat mulut Mak Nah tak bisa diam. .

Musim hujan selanjutnya, orang kampung bilang semua masih seperti biasanya. Seperti biasa ketika musim hujan. Tak ada beda dan tak ada yang berubah. Acara hajatan jarang, anak-anak mulai banyak yang sakit, es sirop Mak Nah masih sama ramainya, dan jalanan kampung yang licin.

Seperti biasa, setiap  pagi. Membantu ibu jemur kasur, mengambil air di sumur Bor dengan jeriken, pergi ke ladang dengan ayah. Siang hari pulang lalu beli es sirop Mak Nah.

Aku berjalan pelan, memanggul lelah tak terkira. Terbayang-bayang es sirop mak Nah yang dingin dan segar itu. Keringat sudahmembanjiri kaos abu-abu lengan panjang yang sudah kumal dan robek disana-sini. Kaos yang sudah empat tahun menemani hariku di ladang. Ayah bilang namanya “Baju Ladang”. Baju yang hanya kita gunakan untuk ke ladang. Ibu mengajariku memilih Baju Ladang. Kata Ibu, bajunya haruslah berlengan  panjang agar melindungi tubuh dari sinar matahari yang membakar kulit. Selain itu, tentu saja harus yang paling jelek, yang tidak pernah dipakai untuk pergi hajatan.

Mendekati rumah Mak Nah, Aku menyadari ada yangberubah. Tak terdengar lagi teriakan kesal Mak Nah dengan para ibu, atau ocehannya dengan“Pak Kaeh”, rumah tua itu hening dan sepi. Hingga membuatku khawatir bila-bila Mak Nah hilang diculik orang atau bunuh diri.

Aku berjalan ke depan rumah, mengamati bagian depan rumah. Pintu masih terkunci tapi daun jendela tidak ditutup. Pastilah Mak Nah dirumah, pikirku. Aku berbalik ke belakang rumah, mencari pintu belakang. Letaknya disamping kandang ayam. Benar saja, pintu itu tidak dikunci dan sedikit terbuka.

“Mak Nah!?”, tak ada jawaban.

“Tak jual es kah hari ini?”, senyap.

 

Bau busuk tahi ayam memasuki hidung, sungguh busuk. Apa yang diberikan Mak Nah untuk pakan ayam-ayam ini?, bangakai tikus kah?, aku tak habis pikir.

Perlahan, aku menaiki tangga kecil yang terbuat dari potongan batang kayu yang di tali dan disatukan dengan bilah yang lebih kecil secara melintang. Berderit-derit, ketika aku menginjak lantai rumah panggung itu. Lantai itu sudah cukup tua, papan-papan yang menjadi alasnya pun sudah retak. Retakan yang pecah mengikuti serat papan itu sendiri.

Dari atas rumah aku bahkan dapat melihat apa saja yang ada dibawah, ayam yang lalu lalang, sandal, dan beberapa barang kecil seperti sendok dan penggulung benang yang sepertinya tak sengaja jatuh. Pastilah Mak Nah lupa mengambilnya, atau terlalu malas untuk terbungkuk-bungkuk mencarinya dibawah kolong rumah panggung yang tak cukup tinggi ini.

Belum jauh dari tangga yang baru kunaiki, aku melihat Mak Nah sedang duduk meringkuk di dekat pintu depan, tangannya memegang pisau dan beberapa potong cincau. Aku menghampirinya, kusentakkan sedikit bahunya. Dan Mak Nah hanya diam. Kuteriakkan namanya, ia tak menjawab. Tubuhnya dingin, ia tidak bernafas!

Kalut, aku berbalik dan segera berlari menuju tangga hendak memanggil Ayah. Namun, belum sampai tangga tubuhku berhenti bergerak. Membeku. Mataku terpaku pada satu titik.

Disudut ruangan aku melihat sesosok tubuh yang kelihatan dalam posisi mengaduk santan dalam toples. Memakai baju ladang dan tubuhnya dibelitkan banyak kain. Di tangan kanannya terdapat sendok kayu yang diikatkan dengan telapak tangan oleh karet gelang.

Aroma busuk kian menyeruak dengan lalat yang beterbangan disekitarnya. Kain-kain itu awalnya berwarna putih, dan telah berubah warna menjadi coklat kehitaman, dan dari sela-selanya terdapat cairan merembes bersama sesuatu berwarna putih seukuran beras. Menggeliat-geliat. Masuk kedalam toples bening berisi santan.

Aku muntah, menyembur membasahi lantai. “Pak Kaeh!!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 5 0 1
Submit A Comment
Comments (1)
  • cornelpadu

    Hey,nice storyy...
    Love it..., thumbs up

Similar Tags
Invisible Girl
970      501     1     
Fan Fiction
Cerita ini terbagi menjadi 3 part yang saling berkaitan. Selamat Membaca :)
Teman
1230      571     2     
Romance
Cinta itu tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan datang, kapan dan dimana. Lalu mungkinkah cinta itu juga bisa datang dalam sebuah pertemanan?? Lalu apa yang akan terjadi jika teman berubah menjadi cinta?
Susahnya Jadi Badboy Tanggung
3907      1498     1     
Inspirational
Katanya anak bungsu itu selalu menemukan surga di rumahnya. Menjadi kesayangan, bisa bertingkah manja pada seluruh keluarga. Semua bisa berkata begitu karena kebanyakan anak bungsu adalah yang tersayang. Namun, tidak begitu dengan Darma Satya Renanda si bungsu dari tiga bersaudara ini harus berupaya lebih keras. Ia bahkan bertingkah semaunya untuk mendapat perhatian yang diinginkannya. Ap...
The Secret
347      227     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Woozi's Hoshi
7659      1802     7     
Fan Fiction
Ji Hoon dan Soonyoung selalu bersama sejak di bangku Sekolah Dasar, dan Ji Hoon tidak pernah menyangka bahwa suatu hari Soonyoung akan pergi meninggalkannya...
Milikku
356      234     2     
Short Story
Menceritakannya mudah, Kamu mengkhianati, aku tersakiti, kamu menyesal dan ingin kembali. Mudah, tapi tidak dengan perasaan setiap kali kau ada. Hati ini bimbang, dan sulit bagiku untuk menahannya agar tidak tumbang. ~ *'Soy' dalam bahasa Spanyol memiliki arti yang sama dengan kata 'My'.
Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah
811      457     8     
Short Story
Sobara adalah anak SMA yang sangat tampan. Suatu hari dia menerima sepucuk surat dari seseorang. Surat itu mengubah hidupnya terhadap keyakinan masa kanak-kanaknya yang dianggap baginya sungguh tidak masuk akal. Ikuti cerita pendek Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah yang akan membuatmu yakin bahwa masa kanak-kanak adalah hal yang terindah.
Rembulan
766      426     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
THE STORY OF THE RAIN, IT’S YOU
802      465     7     
Short Story
Setelah sepuluh tahun Mia pulang ke kampung halamannya untuk mengunjungi makam neneknya yang tidak dia hadiri beberapa waktu yang lalu, namun saat dia datang ke kampung halamannya beberapa kejadian aneh membuatnya bernostalgia dan menyadari bahwa dia mempunyai kelebihan untuk melihat kematian orang-orang.
Yang Terlupa
419      230     4     
Short Story
Saat terbangun dari lelap, yang aku tahu selanjutnya adalah aku telah mati.