Lima hari kemudian, aku meminta Aisyah untuk menemaniku ke bandara Soekarno-Hatta, tempat yang akan menjadi sejarah bagiku. Aku hanya membawa tas kecil yang isinya ponsel, power bank, dompet, dan scrapbook. Aku janjian dengan Dion di terminal F. Setelah turun dari taksi, aku melihat Dion sudah bersama keluarganya dan teman-teman dekatnya. Dion memakai kemeja hitam dengan bawahan jeans, membawa koper besar dan tas selempang kecil. Ia berbalik badan lalu meninggalkan kopernya dan berjalan ke arahku. Ternyata ia menghampiri mas-mas taksi yang aku tumpangi.
“Mas, nanti tunggu dulu ya. Mereka cuma bentar kok, saya bayar pulang perginya gimana? Sekalian ongkos buat mas jajan jajan aja.”
Dion memberi uang ke mas-mas taksinya untuk menungguku dan Aisyah.
“Oh enje mas.” jawab mas-mas taksi itu dengan logat jawa.
Dion berjalan menghampiriku dan berdiri di depanku dengan tatapan kasih sayang yang sebentar lagi akan berpisah, tatapan mata terakhir dan entah kapan akan menatap mata itu lagi.
“Makasih ya, On.”
“Iya, sama-sama.” Dion membalasnya dengan senyuman, senyuman yang hanya akan bisa aku lihat dari bingkai foto selama 3 tahun.
Semua teman dan keluarga Dion jalan ke arahku dan Dion. Tiba-tiba, Dion mengeluarkan kalung dari tas kecilnya dan memberikanya kepadaku. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud Dion. Aku hanya terdiam seribu bahasa dan menatap Dion dengan tatapan heran.
“Maaf banget ya, tiba-tiba gua kayak gini. Makasih atas 5 bulan ini. Maaf ya, udah bikin nunggu lama. Gua sengaja aja, soalnya kalo sayang itu lebih dari 4 bulan. Gua mau buktiin, lu bosen atau enggak sama gua sebelum waktu 4 bulan itu. Ternyata enggak, gua juga gak bosen sama lu. Lu itu beda dari cewek yang lain. So, do you want to be mine?”
Dion mencurahkan isi hatinya di depanku dan semua teman juga keluarganya. Entah apa yang harus aku rasakan. Apa aku harus senang atau sedih atau bahkan malu. Dion memakaikan kalungnya di leherku dan tersenyum sangat manis. Belum pernah aku melihat senyuman Dion semanis ini. Apa aku akan terkena diabetes karena terlalu banyak manis? Namun, walau bagaimanapun, ini adalah hadiah terakhir sebelum Dion berangkat ke Amerika. Aku berjanji takkan melepas kalung ini apapun yang terjadi. Terima kasih Dion, kau adalah anugerah terindah yang pernah kutemui seumur hidupku. Aku berharap hubungan ini akan langgeng sampai kamu menjadi teman hidupku nanti.
“Oke deh, sekarang gimana kalo sebagai tanda resminya, kita makan di sini? Let’s go, tante yang bayar!” ajakan Mama Dion yaitu Tante Pollie berhasil memecahkan suasana yang haru.
Kami makan di suatu restoran di dalam bandara. Aku duduk bersebelahan dengan Aisyah dan Dion. Aku sangat senang, Dion memperkenalkanku di depan keluarganya dan teman-temannya. Keluarga Dion sangat baik kepadaku, terutama Tante Pollie. Akhirnya setelah 1 tahun lebih aku menunggu untuk memiliki Dion, sekarang tercapai juga. Ya meskipun ragaku tak bisa menyentuhnya, setidaknya jiwaku miliknya. Selesai makan, kami bersantai sambil menunggu Dion memasuki ruang tunggu penumpang.
“Aku cuma 3 tahun, kok. Sampe lulus SMA.”
Cuma ya? Cuma 3 tahun? Oalah, cuma.
“Oke, On. Aku tunggu kamu 3 tahun lagi.”
Meskipun serasa menunggu aku lulus SMA. Padahal ini baru lulus SMP.
“Aku bakal ke Indonesia lagi kalo bisa buat ketemu keluarga aku yang lain.”
“Keluarga kamu doang nih? Gak ketemu aku?”
“Kan kamu bakalan jadi keluarga aku nanti.”
My God... Haha Dion you’re so cute! Ah I can’t stop smilling.
“Dion, plis, haha.” tawaku dengan pipi mulai memerah.
Dion, aku akan sangat merindukan momen ini, meskipun hanya kata-kata, tetapi ini sangat menghiburku. Ternyata kamu adalah tipe-tipe cowok romantis!
“Oh, iya, An. Kenalin, ini yang duduk di depan kamu itu om aku, namanya Om Johan. Kalo yang lagi minum nih di sampingnya, itu tante aku, namanya Tante Aqila. Ini yang di serong kamu itu tuh sodara-sodara aku, Beni, Aan, Syena, dan Varah. Yang di ujung sana itu kakak aku, Mas Bobby.” Dion mengenalkan keluarganya kepadaku sambil menunjuk mereka satu per satu.
Aku berkenalan dengan satu persatu dari mereka. Dimulai dari yang paling dekat yaitu Om Johan sampai kakaknya yaitu Mas Bobby. Mereka semua menerimaku dengan baik, mungkin sedikit pengecualian terhadap Mas Bobby yang terlihat sangat cuek dengan ini, tetapi ya sudahlah, tak apa.
“Papa kamu gak ikut?”
“Haha, mana mau dia ikut. Dia gak mau ketemu mama.” bisiknya.
Oh iya, hampir aku lupa kalau Dion adalah anak broken home, tetapi ia terlihat baik-baik saja dengan itu.
“Tapi kan ini terakhir ketemu?”
“Dia mah gampang, Na bolak-balik ke mana aja. Dia di sini sama Mas Bobby, soalnya Mas Bobby gak mau keluar Indonesia.”
“Oh, gitu.”
Tiba-tiba, Tante Pollie berdiri dari kursinya dan melihat jam tangannya.
“Dion, ayo cepat, Nak. Udah mau berangkat.” ujar Tante Pollie dengan tergesa-gesa.
“Oke, Ma.”
Dion menggeser kursinya ke belakang lalu berdiri. Kami semua ikut berdiri dan mengantarkan Dion sampai depan pintu masuk ruang tunggu penumpang. Selama perjalanan menuju pintu masuk ruang tunggu penumpang, aku hanya terdiam. Andaikan kejadian ini tak terjadi, mungkin aku tidak akan sesedih ini untuk merelakan seseorang yang baru saja kumiliki untuk pergi ke sebrang benua yang sangat jauh dari tanah air.
“Semuanya, maafin gua ya atas keputusan yang cepat ini. Doain gua aja biar cepet balik ke Indonesia.”
Dion berbicara dengan nada sedih sambil membawa kopernya. Terlihat genangan air mata akan segera turun dari kelopak matanya.
Sampai lupa, aku mempunyai sesuatu yang harus aku kasih kepada Dion sebelum ia pergi.
“On! Tunggu, aku punya sesuatu buat kamu.” aku berlari menghampiri Dion sambil mengeluarkan scrapbook yang aku buat untuknya.
“Aku harap kamu suka, ya. Ini gak seberapa sih, hehe. Kamu baca aja pas lagi transit atau di pesawat.” Aku memberikan scrapbook ke Dion dan melemparkan senyuman manis untuk yang terakhir kalinya.
“Aduh, haha. Makasih ya. Pasti aku baca, kok.”
Dion memasukan scrapbook ke tas kecilnya. Lalu Dion dan mamanya masuk ke ruang tunggu penumpang. Aku hanya bisa memberikan senyuman terbaikku untuk yang terakhir kalinya dan setetes air mata saat Dion masuk ke ruang tunggu.
Setelah itu aku dan Aisyah pulang naik taksi yang sudah menunggu kami. Senyuman manis Dion saat terakhirku melihatnya masih terngiang-ngiang di kepalaku dan membuatku semakin terpuruk. Mengapa ia pergi di saat perjalanan cinta kita baru saja dimulai? Sesungguhnya aku sangat tidak rela, bagaimana caranya kita memperjuangkan cinta kita ini bila jarak pun tak merestui kita.
“Udahlah, Na. Ikhlasin. Yang penting sekarang keinginan lo buat dapetin Dion udah terwujud, kan?” Aisyah menepuk pundakku, berusaha menenangkanku.
“Iya sih, tapikan gue 1 tahun suka sama dia. 5 bulan deket sama dia. Akhirannya emang jadian, tapi kenapa pas hari jadian kita, dia malah ninggalin gue jauh banget dengan waktu yang lama di sana. Dia SMA disana! 3 tahun, Syah! Kalo dia di sini dan kita udah jadian, pasti kita bakal seneng-seneng terus. Kita bakal jalan-jalan terus, dia juga bakal jadi imam sholat gue. SMA gue pasti hijab. Tapi, tapi kenapa....”
“Shtt, udah jangan ngomong gitu. Yakin aja, pasti ini yang terbaik buat lo dan Dion. Sabar aja, semua masalah pasti ada hikmahnya. Lagi pula itu juga bagus buat masa depan Dion kan?”
Iya, itu benar. Aku harus merelakan ini semua demi masa depan Dion. Masa depan Dion adalah masa depanku juga, kan?
“Oh iya, lo udah bilang take care ke Dion? ”
Oh iya! Hampir lupa!
Aku segera mengambil ponselku dari dalam tas dan langsung mengirim pesan kepada Dion.
“Take care, On J!!”
5 menit kemudian,
Gak di jawab? Pasti dia udah berangkat. Oh God, kenapa aku bisa lupa mengucapkan hati-hati, padahal baru 25 menit yang lalu sejak ia masuk ruang tunggu. Ya sudah lah, mungkin memang takdir berkata untuk seperti ini.
Keesokan harinya, pesanku belum dijawab sama Dion. Aku sudah bertawakal tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku masih mengunci diriku di kamar dari kemarin sore. Sampai mama membuka pintu kamarku memakai kunci cadangan.
“Diana sayang, udah dong kamu jangan terus-terusan gitu. Kamu harus ikhlas, kamu masih bisa nyusul dia kok.”
“Nyusul, Ma? Tiket ke sana aja 15 juta satu orang. Belum makanan, hotel, transportasi, paspor, visa, dan lain-lain. Kira-kira 25 juta lah ma. Tapi emangnya mama mau aku sendirian yang kesana? Enggak kan, pasti ditemenin minimal satu orang. Berarti harus ada 25 juta lagi. 50 juta uang dari mana, Ma?”
Mama tersentuh mendengar perkataan anaknya dan langsung memelukku erat.
“Sabar, Nak. Lagi pula kamu masih kecil, belum pantes mikir cinta-cintaan mulu. Belum tentu dia bakal jadi imam kamu nanti kan? Sayang kan 25 juta buat nyusul dia doang padahal nantinya dia gak berperan buat masa depan kamu? Udah lah, sekarang kamu belajar aja dulu. Kan banyak beasiswa untuk siswa cerdas untuk ke Amerika. Sekarang kamu tentuin mau masuk SMA mana. SMA yang menyediakan program pertukaran pelajar.”
Beasiswa? Aku sangat mengetahui kapasitas otakku seperti apa. Namun, apa salahnya mencoba setiap kesempatan yang datang? Hmm... baiklah aku akan rajin belajar dan rajin berdoa supaya aku bisa menyusul Dion!
Malam hari sudah tiba, perlahan aku sudah mulai bisa menerima keadaan. Aku pergi keluar kamar dan duduk di ruang tamu bersama mama dan papa yang sedang menonton TV. Papa mengajak kami untuk makan di luar, lalu kami semua setuju dan langsung mengganti baju. Di mobil, aku hanya menatap layar ponselku. Mengapa sampai detik ini Dion belum membalas pesanku? Meskipun aku sendiri tau jawabannya. Di pesawat tidak boleh menyalakan sinyal, tetapi ini sudah lebih dari 12 jam. Memangnya berapa lama perjalanan dari Indonesia ke Amerika? Apa Dion tidak transit? Atau sesuatu hal terjadi kepadanya? Ya Allah, beri aku jawaban atas kekhawatiran hamba-Mu ini.
Sesampainya di restoran, kami semua duduk dan memesan makanan. Soal makanan, akulah yang paling antusias dalam memilih menu-menu yang asing di telingaku, tetapi nafsu makanku sedang menghilang untuk sementara seperti belahan jiwaku. Aku hanya memegang ponselku tanpa memperhatikan yang lain. Tiba-tiba, suara pemberitahuan dari ponselku terdengar jelas di telingaku. Ternyata ada pesan masuk dari… DION! Ibarat es batu yang disiram air mendidih, Dion berhasil mencarikan suasana sedihku! Dion! You change my world!
“Iya makasih, An. Sbb ya. Aku udah sampe LAX airport nih.”
“Iya gak papa. Selamat ya, pasti di sana langit cerah banyak bintang yaa.”
“Hah? Di sini masih pagi, Na. Kita beda 14 jam duluan Indonesia.”
Oh iya... lupa.
“Oh gitu, ya udah deh. Sekali lagi hati-hati ya di sana.”
“Iya makasih yaa. Aku mau ambil bagasi terus ke apartemen hehe.”
“Sip.”
Bibirku tak henti-hentinya tersenyum menatap layar ponselku ini.
Selesai makan, kami pulang ke rumah. Saat perjalanan pulang, papa bertanya tentang SMA. Ia menyarankanku di SMAN 56 di dekat rumahku. Aku hanya menerimanya karena jujur aku sendiripun tidak tau harus SMA di mana. Lagipula semua SMA sama saja kan? Selagi tak ada yang bisa mengganggu hubunganku dengan Dion, ya di mana pun aku mau.
Sesampainya di rumah, aku masuk kamar dan berbaring di tempat tidur. Aku kembali mengecek ponselku, tetapi tidak ada pesan masuk dari Dion. Please jawab Dion, hanya pemberitahuan dari kamu yang bisa bikin aku tersenyum.
“Dion udah sampe di apartemennya belum sih.”
Aku memeluk ponselku erat, seperti aku ingin memeluk Dion yang sangat kurindukan, padahal baru dua hari aku ditinggal olehnya.
Aku mengirim pesan lagi kepada Dion untuk memastikan apakah ia sedang tidak memegang telpon genggamnya atau pesan dariku sudah tenggelam.
“On, kamu udah sampe di apartemen?”
“On.”
“Maaf ya aku bawel, hehe. Ya udah kalo masih sibuk. Aku mau tidur dulu ya good night.”
“Eh maaf salah good morning, ya.”
Ya sudah lah, untuk apa aku terus mengirim pesan kepadanya jika ia memang sedang tidak memegang ponselnya.
Keesokan harinya, aku benar-benar semangat untuk bangun pagi. Aku segera mengambil ponselku dari atas meja di samping kasur. Benar saja, ada pesan baru yang masuk sejak tadi malam. Saat aku membuka pesannya, ternyata itu adalah pesan dari temanku yang menanyakan di mana SMA-ku. Harapanku seketika pupus. Aku kembali ke beranda obrolan. Ternyata Dion sudah membalas pesanku, hanya saja tertutup dengan pesan baru yang dikirim temanku tadi.
“YAAAY! Akhirnya Dion!!!”
Lagi-lagi per ini muncul di bawah kakiku. Aku segera membalas pesan yang dibalas Dion dengan sepenuh hati dan penungguan selama dua hari.
“Hallo, maaf banget baru bales. Aku baru selesai beres-beres apartemen, terus batrenya juga mau abis, hehe. Good morning juga, ya. Di sini udah sore sekarang.”
“Iya, On. Gak papa. Sekarang lagi apa kamu?”
“Lagi duduk aja. Gila, pemandangannya indah banget! Besok pagi aku mau diajak mama keliling LA.”
“Ih, keren banget sih, haha.”
“Sini kamu makanya, haha.”
“Aduh, haha.”
Suatu saat aku akan nyusul ke sana, kok. Kami akan menjadi pasangan yang paling bahagia ketika aku ke sana! Tunggu aku ke sana ya, hehehe.
3 jam kemudian, kami masih asik chatting. Apalagi aku sudah menyiapkan banyak pertanyaan tentang keadaan di Amerika. Namun, perbedaan waktu berkata lain untuk menghentikan obrolan kami.
“An, maaf banget ya. Aku udah di suruh tidur sama mama aku. Besok kan jalan.”
Di sini masih siang, On.
“Kan sekarang masih jam 12 siang On....”
“Itu kan di kamu, di aku jam 10 malam.”
“Hehe iya, On. Aku bercanda. Good night, ya.”
“Oke, bye.”
Aku merasa kecewa dengan perbedaan waktu yang berhasil memotong obrolan kita. Sebelum aku menutup obrolanku dengan Dion, aku memfavoritkan kontak Dion, agar jika ia mengirim pesan lagi tidak akan tenggelam, selalu ada di paling atas meskipun tidak ada pesan masuk darinya.