"Kamu dipecat!"
Teriakan seorang pria paruh baya dengan rambut putih yang mendominasi kepala menggelegar memenuhi ruangan. Telunjuknya terangkat menunjuk pada gadis cantik dengan mata hampir copot dari kelopaknya.
"Ah, Bapak marah-marah terus. Udah tua, tambah tua lho, Pak!"
"Keluar kamu sekarang! Jangan pernah datang lagi di sini!"
"Orang saya kan udah dipecat, buat apa datang ke sini lagi. Kayak yang nggak ada kerjaan aja."
Pria paruh baya itu menggebrak meja dan semakin memelototkan matanya. Wajahnya sampai memerah meluapkan emosi yang meledak-ledak. Dengan santainya gadis cantik itu melenggang pergi dari ruangan atasan tempat dia bekerja sembari mengibaskan rambut hitam sepunggungnya.
Tak lama gadis itu kembali masuk ke ruangan atasannya. “Mau apa lagi?”
“Saya kan dipecat, Pak.”
“Ya, kamu saya pecat. Cepat pergi dari sini!” Pria bayuh baya itu suka sekali berteriak.
“Saya minta pesangon. Bapak yang pecat saya, jadi boleh dong, saya minta ganti keringat yang udah saya keluarkan?”
Pak Tua itu komat-kamit tidak jelas. Entah apa yang dikatakannya, suaranya tidak terdengar hanya mulutnya saja yang bergerak-gerak. Dengan kesal, dia merogoh saku jasnya mengambil dompet untuk mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
“Ini! Ambil semua dan jangan kembali lagi kemari!” teriak Pak Tua itu lagi. Urat lehernya sampai terlihat saking kerasnya dia berteriak.
Tak mau berbasa-basi, gadis itu segera mengambil uang di meja. Dengan senyum penuh kemenangan, gadis itu kembali melenggang keluar sambil memasukan uang hasil keringatnya.
Dan, gadis cantik itu adalah aku. Fraya Chinamonya Janisa, seorang gadis berusia 24 tahun yang masih perawan ‘ting-ting’. Pria paruh baya tadi adalah atasanku. Tua bangka temperamen yang bisanya cuma marah-marah dan seenaknya memecat karyawan. Padahal kesalahanku tidak besar, hanya menghilangkan dokumen penting untuk rapat pagi ini.
Kan bisa print ulang, kenapa harus memecat segala?
Ah, ya sudahlah. Toh, aku bisa melamar pekerjaan di perusahaan lain. Di kota metropolitan ini perusahaan bejubel, dari yang besar sampai kelas kacang ada di sini. Jadi, tidak usah takut untuk menjadi pengangguran. Pengalaman kerja pun ada banyak.
Dalam setahun saja sudah ada empat perusahaan yang menerimaku bekerja. Tapi, semua itu tidak berlangsung lama. Kurang dari sebulan aku sudah dipecat dengan alasan yang tidak masuk akal.
Perusahaan pertama memecatku karena aku tidak sengaja menumpahkan kopi panas pada seorang pengusaha yang menjalin kerja sama dengan atasan. Gara-gara kejadian itu, pengusaha itu membatalkan kontrak kerja sama. Padahal, bukan salah kopi yang tidak sengaja kutumpahkan, tapi atasanku saja yang kurang beruntung.
Perusahaan kedua, aku dipecat karena mengomentari penampilan Ibu Bos yang menurutku agak berlebihan. Bayangkan saja, mana ada wanita jaman sekarang yang masih memakai sanggul tinggi ditambah kembang goyang sebagai hiasan. Belum lagi kebaya juga kain jarik yang selalu dipakainya. Katanya, Ibu Bos itu begitu mencintai budaya Jawa, tapi tidak harus seperti itu juga.
Ketiga, aku dipecat karena alasan yang lebih konyol lagi. Hanya karena aku menolak ajakan rekan kerja Bos yang seorang pria tua gendut setengah botak. Jika saja yang mengajakku itu seorang pria tampan aku tidak akan menolak. Lah, ini? Sudah tua, rambut tinggal separuh, mesum lagi. Aku masih ingat betul bagaimana wajahnya saat menatapku, beberapa kali dia menjilat bibirnya sendiri selayaknya orang ngiler. Mana mau aku makan malam dengan orang seperti itu. salah-salah aku pun ikut ‘dimakannya’.
Dan, yang terakhir pria paruh baya itu.
Huh! Perjalanan karier yang tidak mudah. Selain harus memiliki otak pintar dan penampilan menarik, juga harus punya mental baja. Jangan tergiur materi dengan menggadaikan harga diri.
Ini dua pov?
Comment on chapter Prolog