Esokkan harinya, rutinitas sekolah kembali. Gemi juga kembali sekolah. Buku kenangan yang sudah kusam dan robek di bawa oleh Gemi. langkahnya menuju ruang pak Gerno, Gemi tidak sabar kembali untuk mengetahui apa maksud Akila melakukan hal sebodoh ini.
Gemi mengetuk pintu ruang Gerno, waktu masih dalam jam pelajaran, dan Gemi beralasan pada guru dikelasnya untuk ketoilet. Suara dari dalam terdengar dan Gemi membuka knop pintu itu. Terlihat pak Gerno sedang duduk dengan buku-buku dihadapannya.
Gerno menatap aneh pada wajah Gemi yang terlihat serius. Gerno mempersilahkan Gemi duduk, dan bertanya maksud kedatangan Gemi.
“Ada apa Gemi?” tanya Gerno.
“Sejak tahun berapa sekolah ini didirikan?” tanya Gemi, tanpa basa-basi.
“Tahun 1987. Ada apa kamu bertanya seperti itu?”
“Apa bapak lulusan dari sekolah ini?”
“Iya. Apa yang berada dipikiran kamu?”
“Apa bapak mengenal, Wira Kusuma dan Handoko”
Gerno terdiam beberapa detik, kemudian menyatukan kedua tangannya didepan wajahnya. “Saya tidak mengerti pertanyaan mu. Gemilang”
“Bapak pasti tau tentang 20 tahun yang lalu, dimana ada murid SMA Mahardika menjadi korban pembunuhan”
“Dari mana kamu mengetahui hal itu”
“jawab pertanyaan saya apa bapak mengenal dua pria itu?” tanya Gemi, matanya sudah memerah, rasa ingin menangis dan kesal sudah dibenaknya.
“Saya mengenal mereka, dan saya… tidak tahu menau tentang kejadian 20 tahun silam”
“Bapak mengenal mereka, dan pasti bapak mengenal ayah saya. Saya ingin bapak menjawab pertanyaan saya terakhir ini, siapa nama korbannya?”
Gerno menghembuskan napasnya. “Vina. Mereka bersahabatan dengan, Handoko, Irgi, Wira, dan Nova. Hanya itu yang saya ketahui, karena saya hanya mendengar dari beberapa guru, ketika saya lulus sekolah”
“Apa bapak mengenal yang bernama Nova?”
Gerno menggeleng.
“Terimakasih pak, maaf sudah mengganggu aktifitas bapak” ucap Gemi. meninggalkan ruangan Gerno.
Gerno mengangguk dan melihat buku kecil yang dipegang Gemi sampai Gemi menutup pintu ruangan Gerno.
Suasana koridor sekolah masih sepi dan sunyi, karena jam pelajaran yang masih berlasung. Gemi melangkahkan kaki menuju kelas yang berada di ujung dekat kantin, kelas yang sangat Gemi ingin datangi.
Tepat dikelas XII Ipa 2, kelas begitu ricuh karena tidak ada guru. Salah satu murid keluar dan melihat Gemi dengan terkejut.
“Ada apa kamu kesini?” tanya Felisa. Didepan pintu kelasnya, melihat Gemi yang sedang mencari seseorang.
“Maaf ka, apa di kelas kakak ada yang bernama Angga?” jawab Gemi, melihat Felisa yang asik memainkan ponselnya.
“Disini gak ada yang bernama Angga. Di kelas Ipa 1 ada yang bernama Angga” jawab Felisa.
“Oh, terimah kasih ka” jawab Gemi, meninggalkan Felisa, dan melangkah maju, menuju kelas Ipa 1.
Gemi mengintip kelas itu dari jendela, sangat tenang dan tentram. Tanpa ada rasa ragu, Gemi mengetuk pintu kelas Ipa 1. Semua murid menatap Gemi yang berdiri mematung, melihat sang guru yang sedang menulis.
“Permisi pak. Saya ingin memanggil dari kelas ini yang bernama Angga” ucap Gemi.
Guru sejarah Indonesia mempersilahkan salah satu murid yang bernama Angga keluar. Ketika yang bernama Angga keluar, tangan Gemi mengepal dan kembali melepaskan kepalan itu.
“Ada apa?” tanya Angga.
Gemi menggeleng.
“Kenapa kamu menganggil saya!”
“Saya.. Apa, hanya kamu yang bernama Angga di Kelas 3 Ipa?”
“Iya”
Gemi terdiam dan menunduk.
“Hanya itu? Kalau begitu saya kembali kekelas” ucap Angga, membalikkan tubuhnya dan berjalan membelakangi Gemi.
Beberapa langkah kemudian, Angga kembali membalikkan tubuhnya, dan menghampiri kembali Gemi. “Saya baru ingat, ada yang bernama Angga sebelumnya, tapi.. dia kecelakan setahun lalu, di jalan Seraju, tak jauh dari sekolah ini” kata Angga.
Gemi sedikit terkejut, dan menatap mata Angga dengan tatapan kejujuran. “Te-terimakasih” ucap Gemi. meninggalkan Angga terlebih dahulu. Sedangkan Angga menautkan alisnya dengan tatapan bingung. Kemudian menggentikkan bahu, tanda tak peduli.
Waktu berjalan terus, Gemi kembali kekelas dan duduk di kursinya, guru tiba setelah bel pergantian pelajaran. Gemi duduk dibangkunya tanpa melihat kepapan tulis, tangannya mencoret-coret buku tak jelas.
“Ini benar-benar aneh, masalah apa yang sedang aku hadapi? Aku sangat bingung dan takut. Bahkan aku sangat tidak mengerti, masalah ini sangat sulit untuk aku pahami!” ucap benak Gemi.
Bel pulang berbunyi, saat ini Gemi ingin bertemu dengan Wira. Banyak pertanyaan yang harus Gemi tanyakan pada Wira. Semua buku sudah Gemi masukkan kedalam ransel, dan Gissel sudah siap dengan kunci mobilnya, tapi Ren mendadak berhenti memakaikan tas, ketika suara rington milik Ren berbunyi.
Ren melihat nama papah dilayar ponselnya, dan langsung meletakkan benda persegi panjang pipih itu ditelinga kanannya. “Hallo pah?. Serius? kapan datang? Oh, oke Ren segera pulang. Iya pah. Kejutan? Oke, Ren akan tiba kurang dari 15 menit, mungkin hehehe” ucap Ren, mengobrol dengan Doni, ditelepon.
Setelah selesai, Ren memasukkan ponselnya di saku seragamnya, dan kembali memakai tas gemploknya itu.
“Guys, sorry gue gak bisa ikut, nyokap bokap gue baru pulang, dan gue harus pulang karena ada hal yang mereka ingin tunjukan” ucap Ren, sedikit kecewa karena misi hari ini gagal.
“No problem. Lagi pula, udah berapa hari gak ketemu orang tua lu, mereka pasti kangen, dan lu lebih kangen juga. Titip salam untuk om dan tante” ucap Gemi tersenyum.
“Betul kata Gemi, titip salam juga ya untuk om dan tante, dari Gissel Cantik” timpal Gissel, dengan senyum lucunya.
Ren mengangguk senyum dengan kekehannya. “Mereka yang membuat senyum dan tawa ku kembali” ucap benak Ren. Merangkul Gemi dan Gissel keluar dari kelas.
©©©
Tiba dirumah Ren. Mobil Toyota dan mobil Audi sudah terparkir di halaman rumahnya. Ren mengkerutkan keningnya, melihat mobil Audi berwarna merah dihalaman rumahnya.
“Ren, kayanya kejutan yang akan dikasih ke lu adalah, calon suami?” ucap asal Gissel.
“Menurut gue, kejutan yang akan lu terima mobil itu deh” timpal Gemi.
“Lu bedua ngomong apa sih” celetuk Ren, Gemi dan Gissel tertawa. “Kalian mau masuk dulu?” lanjut Ren.
“Gak deh. Takut calon suami lu lihat gue, malah jatuh hatinya ke gue” ucap Gissel mengkhayal.
“Bukan jatuh hati, malahan jatuh pingsan” celetuk Gemi, mengusap wajah Gissel.
Ren terkekeh, dan keluar dari mobil Gissel. Lambaian tangan menjadi perpisahan. Ren memasuki pekarangan rumahnya, masih bingung melihat mobil Audi yang terbilang mahal itu. Memasuki halaman rumah Ren yang sederhana.
Ren membuka pintu, dan melihat ruang tamu sedikit berantakan. Ren memanggil Doni dan Weni, kemudian duduk di sofa untuk membuka sepatu.
“Kamu sudah pulang, sudah makan?” tanya Weni, bersama dengan Doni tiba di ruang tamu dan langsung duduk disamping Ren.
Ren tersenyum dan menyalimi kedua orang tuanya. “Belum mah”
“kalau begitu kita makan dulu” kata Doni.
“Aku mau tahu dulu, kejutannya” ucap Ren.
Weni dan Doni tersenyum, kemudian Doni pergi meninggalkan Ren dan Weni diruang tamu.
“Apa kejutannya bikin aku bahagia?” tanya Ren, pada Weni.
“Sangat bahagia” ucap Weni.
Ren tersenyum senang, tak sabar apa yang akan diberikan dari papahnya.
“Ren sayang, kenalin ini kakak kamu Galuh” ucap Doni, dengan laki-laki disampingnya.
Ren membulatkan matanya, terkejut dan napasnya sedikit sesak. “Kak Girta?” ucap Ren pelan.
“Dia bukan Girta sayang, dia Galuh, kembaran Girta, dia adik dari Girta” kata Weni, menjelaskan pada Ren.
“Apa?” ucap Ren sedikit terhentak. Sangat tak percaya, melihat laki-laki yang berdiri disamping Doni, dengan gaya berdiri yang sama dengan Girta.
“Galuh dan Girta dipisahkan ketika mereka usia 12 tahun. Dan baru kali ini Galuh menginjak Indonesia kembali” kata Doni.
“Kenapa Ren baru mengetahui sekarang?”
“Maafkan papah. Sebenarnya papah ingin menceritakan ini, tapi papah tidak tahu bagaimana menjelaskannya”
“Iya pah, Ren mengerti.” Ucap Ren, melihat Galuh, dengan senyuman.
“Syukurlah, kalau begitu, kita makan siang bersama” ajak Weni.
Keluarga Doni menuju meja makan, semua hidangan sudah ditata rapih, dan siap untuk disantap. Ren duduk tepat dihadapnnya adalah Galuh. Ren pun mengingat nama Galuh, dan merasakan kalau dia pernah dengar nama itu sebelumnya.
Waktu menunjukan pukul 19.30 wib. Ren keluar dari kamarnya, dan melihat kamar disampingnya menjadi hidup, tak kosong seperti kemarin. Ren melangkahkan kakinya menuju teras atas, memandang langit penuh bintang, dan cahaya bulan purnama.
Angin malam begitu dingin, Ren keluar hanya memakai baju tidur tipisnya, dan memeluk boneka ikan nemo besarnya. Lamunan menjadi hal pertama Ren lakukan ketika dia menatap langit malam. Rasanya tenang dan tentram.
Kemudian lamunan Ren menghilang ketika Galuh memasangkan jaket ditubuh Ren. Dan berdiri di samping Ren. Keheningan dan kecanggungan berada pada mereka berdua. Sudah 5 menit mereka terdiam tanpa menyapa.
“Sorry, untuk kedatangan gue” ucap Galuh, memulai pembicaraan.
“Gak usah minta maaf, kakak gak salah apa-apa” ucap Ren.
“Lu pasti kaget banget”
“Kalau itu pasti. By the way. Lu adik dari kak Girta. Tapi sikap lu beda dengan kak Girta”
“Banyak yang bilang seperti itu, Girta cowok yang baik dan murah senyum, sedangkan gue sangat berbeda dari Girta.”
“Bedanya?”
“Banyak yang bilang gue itu orangnya cuek, dan gak pedulian”
Ren tertawa “itu sih benar. Soalnya wajah kakak itu ngeselin” ucap Ren.
“Dasar..” kata Galuh. Sambil mengacak-acak rambut Ren.
Ren berhenti tertawa, mengingat bagaimana sikap Galuh terhadap Ren, sangat mirip dengan Girta menyikapi Ren.
“Kenapa?” tanya Galuh.
“Aku keingat kak Girta, dia selalu memainkan rambut seperti kak Galuh”
“Girta selalu cerita tentang perempuan kecil dan lucu sama aku. Dia adik kecil yang benar-benar cerewet, dan susah untuk diatur. Dia juga suka banget makan ice cream di taman bermain”
“Kakak mengetahui itu dari kak Girta? Tapi kenapa kak Girta tidak pernah cerita tentang kak Galuh pada ku?”
Galuh terkekeh, dan duduk di bangku teras “Sebelum Girta mengalami kecelakaan, Girta ingin mengenali kamu dengan ku. Aku datang ke Indonesia tanpa memberitahu kesiapa pun, kecuali Girta. Tapi saat itu, ada sesuatu yang benar-benar aku dan Girta tak mengerti—“
“Ternyata kalian disini. Ayo turun dan makan malam” ucap Weni. Memotong pembicaraan Galuh.
“Ih mamah.. Sebentar lagi” ucap Ren.
“Cepat turun Ren” seru Weni.
“Iya, Mah..” ucap Ren melesu.
Ren berjalan dahulu, kemudian Galuh menatap Weni tak mengerti.
“Jangan pernah kau ceritakan hal itu pada Ren” ucap Weni.
“Kenapa? Ren harus mengetahui hal itu”
“Kamu akan menyesal jika Ren tahu, kalau Girta meninggal itu disebabkan olehmu”
“Aku tidak akan menyesal, dan aku ingin jujur. Aku sangat tertekan, jika Ren belum mengetaui yang sebenarnya!” ucap Galuh, meninggalkan Weni sendiri di teras.
Makan malam selesai, Ren berjalan tergontai karena kekenyangan, dan segera memasuki kamar tidurnya. Galuh mengikuti Ren, dan tepat di depan pintu kamar Ren yang sudah tertutup. Galuh mengetuk pintu kamar Ren kemudian membuka pintu kamar Ren.
Ren terbaring di tempat tidurnya cahaya layar ponsel Ren terang karena video tutorial bahasa Jerman. Galuh memanggil Ren, tapi tak ada jawaban dari Ren. Galuh duduk di sisi kasur Ren. Napasnya dibuang dengan kasar.
“Ren, Girta meninggal…. Itu.. karena aku!” ucap Galuh. “Seharusnya aku yang berada di posisi Girta, karena hari pertama aku berada di Indonesia. Aku mendapatkan sebuah Video, dimana wanita tua berencana untuk membunuh ayah mu, dan juga yang bernama Irgi. Awalnya aku tidak tahu siapa mereka, tapi ketika Girta melihat Video itu, aku mengerti. Semua itu sudah dari rencana Akila, perceraian kedua orang tua mu, itu hal pertama dalam rencana Akila” Lanjut Galuh.
Ketika Galuh merubah posisinya, suara aneh terdengar ditelinganya, suara dengkuran tidur berasal dari Ren. Galuh membungkam dan memejamkan matanya tanda penyesalan karena dia sudah berbicara lebar, tetapi Ren sudah meninggalkan Galuh dalam tidurnya.
“Ren, aku akan bantu kamu dan Gemi menyelesaikan semuanya. Kamu harus mengetahui akhir dari permainan ini, walau berakhir membenci ku” ucap Galuh, menaikkan selimut untuk Ren.
Galuh keluar dari kamar Ren, kemudian ponsel Galuh bergetar. Dia rogoh saku celana pendeknya, dan melihat nama Tante Nova di layar ponselnya. “Ada apa?” tanya Galuh.
“…”
“Oke aku akan segera pergi!” ucap Galuh.
EBI-nya Bung. Masih berantakan.
Comment on chapter Pertama