Part 15
Hari semakin siang, matahari menyapa dengan sinar ultravioletnya. Gemi lupa jika dia meninggalkan tas dan ponselnya di rumah sakit. Tak ada tumpagan untuk sampai perempatan jalan raya. Dan sangat berat hati, Gemi harus berjalan kaki menuju depan.
Gemi terus berjalan, setiap benda di depannya ia tendang dengan bebas. Gemi menggerutu sendiri, bahkan sumpah serapah dia ucapi untuk dirinya sendiri. Sampai pembicaraan Akila sebelumnya terlintas dipikirannya.
“Apa benar, ayah seorang pembunuh. Apa ayah berani melakukan hal keji itu. Tapi, sejak kapan ayah kenal dengan Handoko” ucap batin Gemi.
Gemi terus berjalan, tak terasa sampai perempatan jalan raya. Gemi memberhentikan mobil taksi, dan menaiki mobil itu. Memberitahu pada supir taksi, kemana Gemi tuju. Mata Gemi melihat sebuah kertas di kursi depan, tertera ijazah sekolah, dan surat keterangan yang lain.
“Pak itu surat apaan?” tanya Gemi.
“Oh itu, bapak mau memindahkan anak bapak sekolah” jawab supir itu.
Gemi mengangguk, dan kembali diam. Kepalanya disenderkan dijendela, dan melihat keramain dijalan. Tiba, di rumah sakit. Gemi berlari, memasuki rumah sakit, pengunjung dirumah sakit, menatap Gemi dengan heran.
“Gemi, lu dari mana aja?” tanya Ren. Setiba Gemi masuk kedalam kamar Irgi.
Gemi tak menjawab pertanyaan Ren. Gissel, Niko, dan Zio pun terdiam melihat Gemi yang terburu-buru. Dan kembali keluar dari kamar, Gissel melihat Gemi yang sudah diluar rumah sakit, dan kembali menaiki taksi sebelumnya.
“Gemi kenapa?” tanya Ren.
“Mungkin, ada sesuatu yang Gemi dapat” jawab Gissel, melihat taksi yang Gemi naiki, melaju.
Disisi lain, Gemi memberitahu pak supir menuju jalan rumah Gemi. petunjuk selanjutnya, didapatkan dari pak supir, yaitu sekolah. Gemi tak pernah berpikir jika masalah 20 tahun yang lalu adalah masa Irgi masih menduduki bangku sekolah. Dan hanya petunjuk dari sana Gemi bisa mengetahui siapa teman akrab Irgi, dan siapa adik Akila.
Tiba dirumah Gemi. pak Cau sudah membukaan gerbang dan pintu rumah. Langkah kaki Gemi menuju kamar Irgi dan Resti. Membongkar setiap laci diruang itu. Dan ditemukan didalam lemari kecil, yang ditumpuki dengan berkas-berkas lainnya. Gemi membaca nama sekolahan Irgi. Matanya membulat, Irgi bersekolah ditempat Gemi bersekolah. Kemudian, Gemi membawa fotocopy ijazah milik Irgi, dan berlari menuju gudang belakang.
Tangan Gemi membuka setiap kardus besar, mencari buku kenangan yang selalu diberikan kesetiap alumni SMA Mahardika. Tak lain lagi, kalau buku itu berisi foto teman kelas Irgi sewaktu sekolah. Semua kardus di gudang sudah Gemi bongkar, dan tak ada buku itu.
“Apa ayah tidak membawa buku itu dari rumah lama?” tanya Gemi, pada dirinya.
Gemi keluar dari gudang, dan langkahnya menuju ruang kantor Irgi. Dan satu-satunya, hanya ruang inilah penyimpanan barang Irgi yang terakhir. Gemi kembali mencari buku itu mulai dari laci pertama, tidak ada. Laci kedua tidak ada, bahkan laci ketiga pun tidak ada.
Gemi membuka satu persatu, buku diatas meja, kemudian matanya melihat sebuah buku kusam, berwarna hijau, dan bercover sebuah sekolahan. Gemi membuang napasnya dengan lega, dan duduk di kursi Irgi, wajah Gemi diusap dengan kasar, dan kembali mengambil buku kenangan itu.
Membulak-balikkan buku kusam itu, membuka demi lembar perlembar. Gemi mencari setiap nama pada perkelas disetiap buku kenangan milik Irgi. Belum sampai pertengahan dari buku, Gemi menemukan nama Handoko dibuku itu, kemudian juga Irgi disamping foto Handoko.
“Ayah dan pak Handoko? Mereka teman!” ucap Gemi terkejut.
Gemi kembali melihat isi foto dan nama yang lain. Menemukan nama Wira Kusuma di paling pojok kanan buku tersebut. Gemi membulatkan matanya, mulutnya sedikit terbuka.
“Pak Wira teman ayah dan pak Handoko? Kalau mereka saling kenal, jadi apa pak Wira itu Putraa3 yang selalu mengirim email ke gue?” kata Gemi. menanyakan pada diri sendiri, menggigit bibir bawahnya, dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Gemi keluar dari kamar Irgi, membawa buku kenangan milik Irgi. Dan beranjak kembali menuju rumah sakit, dihantar oleh pak Cau.
“Pak, nanti sore bapak jaga ayah ya. Aku nginap lagi dirumah Gissel” Ucap Gemi, setiba dirumah sakit, dan keluar dari mobil.
Gemi berjalan tergesah-gesah, sampai dia menabrak seseorang. Gemi terpantul beberapa langkah karena tabrakan itu. Mengusap keningnya, karena benturan yang lumayan keras dari tubuh orang itu.
Gemi melihat orang itu dari bawah, memakai sepatu sket hitam dan celana jeans hitam. Kemudian jaket hoodie abu-abu. Ketika Gemi melihat wajahnya, Gemi terkejut, matanya membesar, dan langsung memeluk orang tersebut.
“Ka Angga, Gemi kangen banget” ucap Gemi. membekap.
“Sorry, nama gue bukan Angga” ucap orang itu. Gemi membulatkan matanya, dan melepaskan bekapan.
Gemi mengerutkan keningnya, melihat setiap sudut wajah orang itu. “Maksudnya, bukan Angga apaan? Kakak itu Angga, wajah kakak. Gak mungkin kakak itu bukan Angga. Kakak bercanda kan” kata Gemi.
“Nama saya Galih, bukan Angga” ucap pria itu, kemudian pergi meninggalkan Gemi.
“Galih?” kata Gemi, melihat pria yang bernama Galih, jalan keluar rumah sakit.
Gemi berlari, mengejar pria yang bernama Galih, ketika Gemi melihat pria itu menaiki motor yang sama percis menolong Gemi. langkahnya dipercepat, menghentikan motor sport hitam dihadapan Gemi. pria itu melepaskan helmnya.
“Gue mau tau nama lengkap lu?” tanya Gemi.
“Galih Putra Wiguna” ucap Galih, sedikit menekan.
“ Galih Putra Wiguna? Tapi Angga, wajah lu sama kak Angga, sama. Ini.. gak mungkin” ucap Gemi, pada dirinya.
Galih memakai helmnya, kemudian kembali menghidupkan motornya, dan melajukan motornya, ketika Gemi berada dalam lamunan. Setelah Galih pergi, Gemi tersadar. Napasnya dihembuskan dengan kasar, dari mulutnya, dan melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah sakit.
Setiba dikamar Irgi. Ren, Gissel dan Zio sedang asik makan, dan Niko baru masuk kedalam kamar Irgi, setelah Gemi. Pikiran Gemi, masih pada orang yang bernama Galih. Sampai Ren dan Gissel yang menyapa saja tidak dibalas oleh Gemi.
“Gemi!” panggil Gissel, mengeras.
Gemi melihat Niko yang sedang mengambil apel, kemudian Gemi mengambil apel itu dari tangan Niko, dan menarik tangan Niko keluar kamar Irgi. Langkah Gemi dipertengah koridor, menuju ruang ICU.
“Lu kenal Wira Kusuma?” tanya Gemi. melipat tangannya didepan dadanya.
Niko mengangguk.
“Apa hubungannya Wira dengan Akila”
“Gue gak tau”
“Jawab dengan jujur”
“Gua memang gak tau. Gue kenal dia kemarin, dan ini hasil setelah gue tau kalau Wira juga musuh dari Akila” jawab Niko, menunjuk lebam diwajahnya.
“Musuh?”
Niko menangguk. “Oh iya, ini ada surat buat lu”
Gemi mengambil surat ditangan Niko. “Dari?”
“Gue gak tau namanya, gue kenal sama dia karena dia bersama dengan Wira”
“Dengan Wira? Dimana?”
“Disini, ketika dia ingin menjenguk Irgi. Dia bilang, kalau mereka sahabatan”
“Jadi, surat yang dititipkan pak Cau, dari dia? Pak Wira. Jadi, benar dugaan gue” ucap Gemi, dengan telunjuk jarinya di dekat bibir bawahnya.
“Tau pak Wira dari mana?” tanya Niko.
“Gue anak dari detektif, masalah kaya gini apa sih yang gak gue tau” ucap Gemi, dengan gaya so cool-nya.
Niko dan Gemi terkekeh bersamaan. Kemudian Niko tersadar, ketika Niko melihat wajah tawa Gemi begitu bahagia “Gemi, maaf ya. Karena gue ibu lu—“
“Gue maafin lu ko, Gissel udah cerita ke gue. Gue juga minta maaf, kalau gue bikin tato di wajah lu” jawab Gemi, menyela pembicaraan Niko.
“Terimakasih. Gue akan bantu lu. Gue janji Mi” ucap Niko, menaikan tangan kanan, untuk berjanji.
Gemi tersenyum, kemudian meng-adukan tangan kanan Gemi dengan tangan kanan Niko, seperti tos. “Oke”
Niko membulatkan matanya, rasa sakit ditangan Niko belum pulih, dan ditambah Gemi memberi warna merah di telapak tangan Niko, dengan tos kencangnya. Niko menahan rasa sakit, ditelapak tangannya, sedangkan Gemi, sudah meninggalkan Niko dari tadi.
Gemi dan Niko masuk secara bersamaan. Gissel, Ren dan Zio, masih menikmati cemilan, menatap Gemi dan Niko.
“Lu semua kenapa ngeliati gue kaya gitu” tanya Gemi.
“Kuping lu masih berfungsi gak sih, setiap kita manggil lu, dan sapa lu, lu diam aja!!” jawab Gissel, dengan nada kesalnya.
Gemi tertawa. Dan melemparkan buku kenangan milik Irgi pada Ren. Ren melihat buku itu, melihat nama sekolahan saja sudah membuat Gissel dan Ren terkejut. Kemudian Ren membuka buku yang diberikan pada Gemi, dan mendapatkan nama Irgi dan Handoko.
“Mereka berteman?” ucap Gissel dan Ren bareng.
Gemi mengangguk.
Kemudian Ren melihat kembali buku itu, terlihat foto Wira, manager perusahan Handoko. “Ternyata pak Wira sekelas juga dengan ayah” ucap Ren.
“Lu kenal sama pak Wira?” tanya Gemi.
“Iya, dia kan manager diperusahan ayah gue” jawab Ren, kembali melihat isi buku kenangan.
Gemi dan Niko saling menatap. “Serius” ucap Gemi dan Niko bareng.
Ren, Gissel dan Zio terkejut, mendengar suara Niko dan Gemi. kemudian Ren mengangguk.
“Oh my got Ren… lu harus tau, pak Wira adalah orang yang selalu mengirim kita email” kata Gemi.
“Oh.. email yang namanya Putraa3 kan?” timpal Gissel.
“Iyaa, jadi dia tau kalau kita lagi berusaha untuk menangkap Akila!” kata Gemi.
“Lu semua ngomongin apa sih!” celetuk Zio, yang sedang memakan snack.
“Lu gak usah ikut campur!” timpal Gissel.
“Apa sih lu!” kata Zio, tangannya melayang kewajah Gissel. “Gue gak mau aja kalau my gebetan gue kenapa-napa” lanjutnya melihat Ren sambil memainkan alisnya. Sedangkan Ren, menggidik geli, melihat wajah Zio.
“Gemi surat tadi” ucap Niko.
Gemi mengambil surat itu dari saku jaketnya, dan membuka amplop putih tersebut, terdapat secarik kertas putih. “KALIAN! HARUS WASPADA!” isi dari surat itu.
“Gem, lu dapat surat itu dari siapa?” tanya Ren.
“Niko” jawab Gemi.
“Niko lu dapat surat itu dari siapa?” tanya Ren.
“Galih” jawab Niko.
“Galih” ucap Gemi, Ren dan Gissel bareng.
“Siapa dia?” tanya Gissel.
“Gue baru kenal dia dua hari yang lalu. Waktu gue ditolongin sama lu, Sel”
“Lu baru ketemu dia tadi?” tanya Gemi, pada Niko, Niko mengangguk. “Pakai hoodie abu-abu bukan?” lanjutnya, Niko kembali mengangguk.
Gemi terkejut, dan langsung duduk disofa. Wajahnya diusap dengan kasar. Ren dan Gissel, menghampiri Gemi.
“Lu ketemu dia? Dimana?” tanya Ren.
“Dirumah sakit, wajah dia itu mirip banget sama ka Angga kakak kelas kita” ucap Gemi.
“Ka Angga? Angga, kapten basket?” tanya Gissel.
“Bukan, dia kelas 3 ipa”
Ren dan Gissel saling pandang. “Angga, ketua kelas di kelas ipa 1?” ucap Gissel kembali.
“Bukan..”
“Terus siapa, sekolahan kita, Angga kelas 3 hanya dia, dan gak ada lagi Angga yang lain” ucap Ren. Melihat Niko, sedangkan Niko menggeleng tidak tahu.
“Lu seriusan, tapi ka Angga bilang dia, sekolah dia Sma Mahardika, dan kelas 3 ipa” penjelasan Gemi,melihat Ren dan Gissel.
“Kelas 3 ipa apa Gem?” tanya Ren.
Gemi menggeleng tak tahu. Pikirannya sangat kacau, dan bingung apa yang harus Gemi lalukan.
EBI-nya Bung. Masih berantakan.
Comment on chapter Pertama