Dirumah sakit Ciputra. Gissel masih dalam kondisi pingsan. Darah yang keluar dari kepalanya sudah diperban oleh perawat. Gemi dan Ren berterimakasih pada perawat tersebut, dan kembali menuggu Gissel yang masih belum siuman. Berseling beberapa menit, Gemi berpamitan pada Ren untuk melihat kondisi orang tuanya.
Ren mengambil ransel Gissel. Ketika membuka ransel coklat milik Gissel, dan isinya masih lengkap. Kemudian tangannya beralih ke tas milik Ren, mengambil laptop. Ren membuka dan mengecek rekaman video yang terjadi pada Gissel. Kening Ren mengkerut kemudian matanya melebar.
Gemi datang membawa makanan dan minuman. Mata Gemi ikut melebar ketika Ren mem-pause video pas pada wajah pria yang sebelumnya berbicara dengan Akila.
“Niko” ucap Ren.
“Apa, Niko? Siapa dia?” tanya Gemi
“Dia. Teman Gissel, yang berkerja di bar” jawab Ren.
“Dia satu sekolah dengan kita?”
Ren mengangguk “Dia kelas 11 Ips 3”
Gemi terkejut, mulutnya terbuka sedikit. Kemudian wajah penyesalan menjadi akhit ekspresi wajahnya. Ren menghembuskan napasnya dengan kasar, kemudian kursor dilaptop dialihkan pada file, dimana alat perekam suara yang telah diletakkan di tas Akila. Membuka satu file terbaru.
“Anak kecil itu, mau main-main dengan saya. Kamu, Cari tau informasi tentang anak Irgi” suara dari rekaman.
“Baik, bos” jawab pria. Kemudian suaranya menjadi tidak jelas. Hanya suara bising membuat speaker laptop Ren, sedikit sember dan kemudian suara itu menghilang.
Gemi memejamkan matanya sangat lama, kemudian Ren memeluk Gemi. “Kita bisa menyelesaikan masalah ini” ucap Ren, membekap tubuh Gemi.
“Gue takut” ucap Gemi sangat pelan.
Ren melepaskan dekapnnya. Dan menepuk pundak Gemi. “Lu harus lawan takut itu, agar penjahat diluar sana bisa kita tangkap. Lu bisa, kita bisa. Gue yakin” kata Ren, wajah penuh semangat dan terukir senyuman yang indah.
Gemi ikut tersenyum dan kemudian memeluk Ren. “Thank’s” ucap Gemi.
“Gem, lu masih waraskan, gue takut lu jeruk sama jeruk” ucap Ren.
Gemi melepaskan dekapannya sedikit mendorong Ren. Dan kemudian memukul pundak Ren sekali. “Enak aja. Gue tau, lu lagi deket sama kakaknya Gissel, gak usah gitu juga dong” ucap Gemi.
Ren terkekeh. “EH.. gue baru ketemu ka Zio tadi, deket dari mananya?” ucap Ren.
“Dari matamu… matamu ku buat jatuh cinta” kata Gemi, menyanyikan lagu Dari Mata-Jazz.
Ren mencubit pipi Gemi yang tirus, membuat teriakan dan warna merah terlihat jelas dipipi Gemi. Beberapa pengunjung dan pasien di ruangan itu, menatap Gemi dan Ren kaget, ulah teriakan Gemi. Dan salah satu perawat, memberi teguran untuk Gemi dan Ren, agar tidak mengulanginya lagi.
15 menit berlalu. Mata Gissel membuka sangat perlahan. Cahaya putih dari lampu membuat mata Gissel menggercap. Gemi yang sedang membaca buku Sains, dan Ren yang sedang sibuk dengan leptopnya.
Gissel melirik kanan dan kiri. Gemi dan Ren, sibuk dengan acaranya masing-masing. Gissel memacunkan mulutnya. “Gue siuman gak ada yang sadar. Jahat ya kalian” ucap Gissel.
Ren dan Gemi saling menatap. Dan segera mendekati ranjang Gissel.
“Allhamdulilah. Akhirnya lu sadar juga. Gissel, gue itu khawatir banget sama lu, lu kenapa bisa kaya gini” kata Gemi, duduk di sisi kanan ranjang Gissel.
“Gue aja gak tau, tiba-tiba ada yang pukul kepala gue dari belakang” ucap Gissel. “Gimana? Dapet bukti gak?” lanjutnya.
“Dapat. Tapi bukan saatnya lu dengar, lu baru siuman. Besok gue akan beritahu lu” jawab Gemi.
“Yaa. Terserah deh. Keluarga gue ada yang tahu gak?” tanya Gissel.
Gemi dan Ren menggeleng. Dan Gissel, mengucapkan kata syukur. “Bagus deh, mereka gak tahu” kata Gissel.
©©©©
Malam, pukul 19.15 wib. Gemi berada di taman rumah sakit. Menikmati angin malam, sambil mendengarkan music dari earphone-nya. Matanya memandang langit, hanya ada bulan dan beberapa bintang yang menghiasi langit.
Gemi memejamkan matanya. “Andaikan ada Ka Angga, disini” ucap Batin Gemi.
Gemi membuka matanya, melihat sosok hitam yang menghalangi lampu taman, dan mendekati Gemi. sedikit demi sedikit, wajah dari sosok itu terlihat, Gemi tersenyum senang. “Terimakasih tuhan” batin Gemi.
“Kamu kangen sama aku?” ucap Angga, dengan senyum jahilnya. Duduk disebelah Gemi.
“Kangen? Adanya kakak datang tiba-tiba, pulang gak pamitan. Kaya jailangkung” kata Gemi, dengan nada ketusnya, kemudian tersenyum.
Angga tertawa, melihat langit malam. “Ada yang kamu ingin ceritakan?” tanya Angga. Gemi menatap Angga, dan beralih ke jari kukunya, yang sedang asik dimainkan.
“kenapa dia selalu tahu” ucap Gemi di hati. “Tidak ada” jawab Gemi. kepalanya menunduk.
“Tuhan memberi mu ujian yang begitu berat. Karena Tuhan sayang kepadamu. Mungkin sulit mencari fakta yang jelas untuk masalah yang sudah berlalu, tapi jika kamu yakin dan percaya pasti kamu bisa, dan akan berhasil. Kamu juga akan mendapatkan akhir yang bahagia” kata Angga.
Gemi menelan filsafahnya dengan susah payah. “Aku tau. Tapi kak, Dihidupku, sedang banyak kata Tapi, aku bingung, aku takut, kalau aku melakukan hal yang membuat sahabat ku terluka. contohnya saat ini, aku gak mau mereka terluka lagi”
Gemi melihat arloji jam ditangannya. Waktu menunjukan pukul 19.35 wib. Gemi baru ingat kalau dia akan bertemu dengan Handoko, pukul 8 malam.
“Kak aku harus pergi” kata Gemi.
Angga hanya mengangguk, kemudian Gemi beranjak dari taman, baru beberapa langkah Angga memanggil Gemi “Gemi” Angga mendekati Gemi kemudian membekap tubuh Gemi yang sedang bergetar ketakutan.
Gemi membalas pelukan Angga. Rasa takut itu sedikit menghilang, walau suhu tubuh badan Angga begitu dingin. “Orang yang kamu datangi tidak bersalah. Jadi kamu tidak usah takut” ucap Angga dengan lembut.
Gemi melepaskan dekapan Angga. Tundukan menjadi perisai yang membuat wajah merah Gemi tidak terlihat. “Bagaimana kakak tau”
“Karena dia sudah menyesali kesalahannya” ucap Angga. Mengusap rambut Gemi.
Gemi mendongak, melihat Angga tersenyum manis. “Selamat malam. Berhati-hatilah” kata Angga. Kemudian meninggalkan Gemi.
Gemi berjalan menuju parkiran rumah sakit. Mobil brio Gissel menjadi alat tranportasi Gemi menuju rumah Handoko. Gemi sengaja tidak memberi tahu Gissel maupun Ren, kalau Gemi akan pergi kerumah Handoko, sendirian.
Hanya menghabiskan waktu setengah jam untuk sampai kerumah Handoko. Suasana di halaman Handoko sepi, tak ada mobil yang terparkir diluar sana. Satpam sebelumnya, keluar dan menghampiri Gemi yang sudah menunggu di pintu Gerbang.
“Mencari siapa?” tanya pak Anto, satpam rumah Handoko.
“Ada Pak Handokonya?” jawab Gemi.
“Sudah membuat janji sebelumnya?”
“Saya teman dari Ren, tadi siang saya kesini, dan bapak tidak mengizinkan kita untuk masuk”
“Maaf, kamu tidak dapat menemui pak Handoko” ucap Pak Anto meninggalkan gerbang.
“Saya anak dari pak Irgi” ucap Gemi, sedikit meninggikan suaranya.
Pak Anto kembali. Wajah ketakutan sangat terlihat “Apa itu benar?”.
Gemi mengangguk. Kemudian pak Anto langsung membukakan pintu gerbang untuk Gemi.
“Berhati-hatilah” ucap pelan pak Anto. Gemi hanya mendelik malihat pak Anto sudah berjalan terlebih dahulu.
Pak Anto menghantarkan Gemi menuju ruangan dengan pintu berwarna hitam. Pak Anto mengetuk pintu, dan membuka pintu. Gemi melihat isi ruangan itu, sangat rapih. Bahkan hampir semua poto dia ruangan itu terdapat, foto gadis kecil.
Gemi menatap Handoko yang sedang terbaring tidur diatas ranjang, dan juga alat medis yang terhubung di tubuhnya. Wajah pucat sangat jelas diwajah lelaki paruh baya itu. Senyuman yang begitu bahagia, melihat Gemi datang.
“Akhirnya kamu datang” ucap Handoko.
Gemi mendekati Handoko. Berdiri 2 langkah dari ranjang tidur Handoko.
“Saya tahu, kamu takut dengan saya. Tapi saya sudah menyesali hal itu. Saya benar-benar ingin bebas dari karma ini” kata Handoko.
Gemi terdiam.
“Saya menyesal meninggalkan istri dan anak saya. Saya merasa bersalah, sama mereka. Saya merasa kalau saya gagal menjadi suami dan orang tua yang tidak bertanggung jawab. Saya sangat gagal” lanjut Handoko.
Gemi masih terdiam.
“Dan wanita yang menghancurkan keluarga saya, adalah wanita yang ingin menghancurkan hidup saya. Bukan hanya hidup saya, melainkan ayah kamu juga”
Gemi semakin menajamkan matanya. Menatap mata Handoko yang sudah membendung, ketika Gemi ingin mendekati Handoko. Wajah Handoko terkejut, menatap belakang Gemi. Gemi hanya mengerutkan keningnya, kemudian..
“Ternyata kamu berani datang sendiri ketempat ini” suara wanita berasal dari belakang Gemi.
Gemi menoleh. Langkahnya memundur sampai menabrak ranjang Handoko. Akila menekan tombol pada remot ditangannya, membuat tubuh Handoko menjadi lemas kemudian pingsan. Gemi terkejut, pikirannya begitu acak. 3 lelaki berpostur tubuh besar menjaga pintu ruangan.
“Kamu sudah masuk kedalam permainan kamu sendiri, dan sedikit menyimpang membuat permainan kamu masuk kedalam permainan ku. Dan itu sudah terlalu dalam” ucap Akila. Mendekati Gemi.
Gemi menatap wajah Handoko yang sedang tertidur pulas. Kemudian, tangan Gemi memegang erat kain kasur. Hatinya terselimuti ketakutan, tapi ekspresi wajah Gemi tetap datar, dan tidak memperlihatkan rasa ketakutan.
“Jangan berlaga kalau kamu tidak takut” ucap Akila, memegang wajah Gemi dengan tangan kanannya. “Malam ini kamu akan mati” Ucap Akila. Menggores lengan kiri Gemi menggunakan pisau lipat kecil. yang baru saja dia keluarkan ketika mendekati Gemi.
Gemi membulatkan matanya, menahan rasa sakit. Tangan kiri Akila ingin menusuk pisau itu tepat dibagian dada Gemi. Tapi tidak terjadi, ketika Gemi menahan tangannya dan langsung mengunci tangan Akila kebelakang. 3 lelaki berpostur besar mendekati Gemi yang sedang memegang Akila.
“Kalian mendekat. Dia akan mati” ucap Gemi berteriak, dengan napas yang tidak beraturan.
3 lelaki itu mundur. Dan Gemi berjalan keluar membawa Akila dari ruangan itu, sambil menyodorkan pisau yang sebelumnya dipegang Akila. Tiba di ruang tengah, Gemi mendorong Akila sampai terjatuh, dan langsung berlari menuju mobilnya.
3 lelaki itu ingin mengejar Gemi tapi terhenti ketika Akila memanggil. “Stop. Jangan kejar gadis itu” ucap Akila, menahan rasa sakit di kedua tanganya. “Biarkan dia hidup sedikit lama” lanjutnya.
---------------------------------------
Dalam perjalan menuju rumah sakit. Gemi berhenti diapotik, membeli obat untuk menyembuhkan lukanya. Kapas, alcohol, betadin, plester, dan kain kasa, menjadi bahan untuk menyembuhkan luka Gemi.
Duduk didalam kursi mobil, melihat luka yang sudah terbalut oleh kain kasa. Gemi mengacak-acakan rambutnya. Kemudian memukul stir mobil sangat kuat, semua kekesalan Gemi meluap begitu besar. Dan akhirnya air mata menjadi akhir kesakitan malam itu.
Waktu menunjukan pukul 22.45 wib. Gemi baru tiba dirumah sakit. Langkanya langsung menuju kamar VIP orang tua Gemi. Menunggu lift, beberapa detik kemudian, lift terbuka. Semua yang berada di lift itu keluar, kemudian ada satu orang memakai jaket hitam dengan topi hitam, menabrak pundak Gemi, keluar dari lift yang akan Gemi masuk.
Gemi tak sengaja melihat gantungan yang terkail di jaket orang itu, mengingat pria yang berbicara dengan Akila tadi sore. Gemi keluar dari lift, dan berlari mengejar pria itu. Jalan pria itu sangat cepat. Gemi sudah letih mengejarnya, tapi rasa penasaran Gemi semakin memuncak.
Pria itu berjalan menuju perkumpulan atraksi. Gemi tak bisa mencari pria itu, karena banyaknya orang. Matanya terus memperhatikan satu-persatu orang yang berada ditempat itu.
“Berhenti, kalau tidak mau mati” suara pria, tepat disisi telinga Gemi. Gemi membalikkan tubuhnya, tak ada seorang pun yang mendekati Gemi. pikirannya teringat kalau pria tadi baru saja keluar dari rumah sakit.
Gemi kembali berlari menuju rumah sakit. Tiba dikoridor menuju ruangan Vip orang tua Gemi. Gissel dan Ren, duduk dengan tangisan. Gemi berjalan mendekati mereka dengan tertatih. Air mata sudah keluar, kondosi Gemi semakin melemah, pikirannya pun kosong. Ren melihat Gemi, dan langsung membekap Gemi.
“Gem, ibu lu” ucap Ren menggantung.
Gemi melepaskan dekapan Ren, dan berjalan masuk kedalam kamar, melihat dokter yang sedang menutupi kain putih pada Resti. Kaki Gemi seketika tak ada tumpuan, badannya sudah benar-benar melemas. Tangisan dan jeritan menjadi amarah yang tak bisa dipisah.
Dokter itu keluar dari ruangan, dan perawat membawa Resti untuk memandikannya. Gemi berdiri tepat, ranjang Resti disampingnya. Gemi membuka kain itu, terlihat wajah pucat Resti. Gemi kembali menangis. memeluk dan mencium Resti untuk terakhir kalinya.
“Bun, maafkan aku, aku tidak bisa menjaga bunda” ucap Gemi, dengan segukkan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari pemakaman Resti. Gemi, Gissel dan Ren, masih berada ditempat itu. Sedangkan orang menghantar, penistirahatan terkhir Resti, sudah meinggalkan pemakaman. Gemi mengusap papan nisan, Resti. Air mata kembali berjatuhan, hatinya begitu sakit, orang yang Gemi sayang meninggalkan tanpa ada kata pamitan.
Gissel mengusap pundak Gemi, menenangkan adalah salah satu yang bisa Gissel dan Ren lakukan. Gemi benar-benar tak bisa menghentikan tangisan, rasa hati yang masih ingin diberikan kasih sayang oleh seorang ibu, terhenti saat ini.
“Gem, bunda lu gak akan bisa tenang kalau lu belum ikhlas” kata Gissel.
“Gemi, kita hidup untuk kematian, kita disini hanya sementara waktu, dan ….” Belum selesai Ren berbicara.
“Gue paham. Gue Cuma gak ikhlas karena bunda gue gak bersalah apa-apa, dan mereka melakukan ini. Gue bersumpah, gue akan menangkap mereka, itu janji gue” ucap Gemi.
EBI-nya Bung. Masih berantakan.
Comment on chapter Pertama