Hari minggu, hari yang ditunggu oleh seluruh murid. Hari untuk bermalas-malasan dan hari dimana buku peajaran tidak berada di depan mata. Waktu masih pagi, Irgi-ayah Gemi, menyuruhnya untuk ikut dengan Irgi, ketempat kerjanya. Seperti biasa, Gemi menyukai pekerjaan ayahnya, dan jika lulus nanti, Gemi akan melanjutkan pekerjaan ayahnya, sebagai polisi rahasia. Dan itu didukung oleh mamah dan ayahnya.
Sesampai dikantor tempat ayahnya berkerja. Gemi hanya melihat anggota kepolisian sedang melakukan uji coba, ada pula yang sedang melakukan olahraga, dan sebagainya. Gemi meminta izin untuk keluar dari area kantor Irgi, karena rasa bosan sudah mengusai tubuhnya. Dan juga di ujung jalan berdekatan kantor Irgi, terdapat taman dan juga pasar jajanan. Tempat itulah yang akan membuat, mood Gemi kembali.
Dalam perjalanan menuju taman. Gemi melihat wanita paruh baya membawa belanjaan, yang sedang berdiri di pinggir trotoar, menunggu lampu merah menyala. Gemi merasakan kalau wajah wanita ini sangat tak asing.
Setelah lampu merah menyala, beberapa mobil berhenti, Gemi juga menyebrang jalan itu. Setengah perjalanan di zebra cross, satu mobil truk yang awalnya berhenti di pinggir jalan, kemudian melajukan mobilnya, kelajuan mobil truk semakin cepat. Sampai mobil yang berada di sisinya, berhenti medadak.
Semua warga menatap aneh pada mobil itu, Gemi yang sudah berada di sisi jalan. Melihat mobil truk seakan tidak memberi rem sedikit pun, jalannya tetap berada di kecepatan tinggi. Mata Gemi kembali pada wanita paruh baya, tepat di samping dia menunggu lampu merah. Karena belanjaan yang berat, membuat wanita itu berjalan melambat.
Tinggal wanita paruh baya, ditengah jalan, walau ada beberapa orang yang melintas, tapi jalan wanita itu tidak cepat seperti mereka. Gemi membulatkan matanya, berlari arah wanita itu menarik tangan kanan sampai belanjaan wanita itu terlempar tak kauran. Mobil truk itu menerobos lampu merah, bahkan nomor plat pada mobil itu, tidak ada. Dan membuat warga di sekitar jalan, menjadi berdecak kesal.
Beberapa warga membantu wanita itu dan juga Gemi yang terjatuh di pinggir jalan. Dan kondisi jalan sedikit macet, karena belanjaan wanita paruh baya bertaburan tak karun. 5 menit kemudian, Irgi datang bersama anggota polisi lainnya. Karena ada salah satu warga, melapor tentang kejadian ini.
“Kamu tidak apa-apa” tanya Irgi-ayah Gemi. yang melihat Gemi sedang duduk di dalam cafe, bertepatan dimana Gemi terjatuh.
“Tidak, yah”
“Syukurlah, terus wanita yang kamu tolong dimana?”
“Dibelakang ayah” jawab Gemi, ketika wanita paruh baya, tepat pada belakang Irgi.
Irgi terkejut “Weni?” ucap Irgi, menyebut nama wanita itu dan mempersilahkan duduk.
“Dunia ini sempit, selalu saja bertemu denganmu” kata wanita itu yang bernama Weni.
“Oiya, kenalkan ini anak saya namanya Gemi. Dia juga sekolah di SMA Mahardika” kata Irgi mengenalkan Gemi pada Weni, Gemi hanya tersenyum, dan bersalaman pada Weni.
“Wah, anak tante juga sekolah disana, namanya Ren”
Gemi membulatkan matanya, benar saja kalau wajah wanita ini pernah Gemi liat, dan itu baru saja beberapa hari yang lalu.
“Kamu kenal tidak?” tanya Weni.
“Kenal tante, Ren sekelas dengan ku” jawab Gemi dengan senyuman manisnya.
“Apa kalian berteman dengan akrab?”
Gemi mematung, Ren berbicara saja tidak pernah, apalagi mempunyai teman. Dan jawaban Gemi hanya mengangguk yakin, agar Weni percaya. Beberapa menit berlalu,hanya obrolah tentang orang dewasa yang Gemi dengar. Seharusnya, sekarang Gemi sedang menikmati jajanan pedagang asongan.
Kebosanan Gemi terlihat oleh Weni. Dan juga Irgi sudah mau kembali ke kantor. Gemi diajak Weni untuk bermain kerumahnya, awalnya Gemi menolak, tetapi, rencana untuk mendekati Ren numbuh di otaknya, dan meng-iyakan ajakan Weni.
Sesampai di rumah Weni. Tepatnya rumah dimana Gemi mengikuti Ren pulang dan juga pertengkaran keras. Gemi memasuki rumah itu, rumahnya bergaya klasik, sederhana tapi sangat mewah. Gemi duduk di sofa, menunggu Weni yang sedang memanggil Ren di kamarnya.
Gemi melihat setiap sudut bingkai foto yang terpajang di dinding rumah, dan juga pada lemari rias. Tapi ada satu bingkai foto yang di pajang secara terbalik. Gemi berdiri berniat mendekati lemari rias itu, dan ingin melihat bingkai foto tersebut. Belum ada satu langkah pun, Ren datang, dan Gemi tidak jadi melangkang, melainkan hanya menatap Ren, dengan rambut dikuncir, ditambah kacamata bertengker di atas kepalanya.
Ren memberi isyarat, kepada Gemi agar masuk kedalam kamarnya. Gemi pun mengikuti langkah Ren dari belakang, dan masuk kedalam kamar, yang barcat biru.
“Thank’s” ucap Ren duduk pada kursi belajarnya.
Gemi berdeham , kemudian duduk disisi kasur queen size Ren. Menatap Ren yang sedang belajar.
“Lu tetap mau kaya gini?” tanya Gemi, memulai pembicaraan.
Ren berhenti menulis, dan posisi duduknya berubah. Helaan napasnya terdengar oleh Gemi. Ren meletakkan kacamatanya di meja belajar.
“Untuk apa lu, urusin hidup orang” jawab Ren.
“Kenapa lu buat drama ini”
“..”
“Hentikan drama lu”
“..”
“Lu gak mau, ibu lu kena musibah lagi kan, dan Kecelakaan tadi, lu gak tau kalau itu dibuat dengan sengaja”
Ren menatap Gemi dangan serius.
“Dan stop dengan drama ini. Gue gak mau, lu menderita lebih dalam lagi, dan lu gak mau kan ibu lu menangis semakin kencang”
“Apa maksud lu” suara Ren keluar, seakan perkataan Gemi, hanya tipuan muslihat.
“Semakin, lu berdiam diri di masa lalu, itu membuat orang yang benci lu semakin Berjaya dengan hidup dimasa ini”
“Apa saja, yang lu tau di kehidupan gue”
“Gue gak tau apa-apa tentang lu. Tapi coba lu pikir, sama omongan pria yang kemarin membuat janji di kehidupan lu!” Ren mengerutkan keningnya. “hidup kalian tidak akan bahagia”
“Ayah!”
“Gue gak Fitnah, tapi menurut logika yang gue rangkup, itu yang gue dapet, tinggal bukti saja”
Ren mengepalkan tangannya rasa dendam larut dari urat tangannya.
“Lu mau ikut mencari bukti atau tetap diam seperti ini?” tanya Gemi.
Ren menatap tajam lantai putih bersih. Pikiran bimbang dan penuh kekesal bercampur aduk. Sampai akhirnya, anggukkan menjadi jawabannya. Sedangkan Gemi tersenyum simpul.
“Petualangan dimulai” ucap benak Gemi.
EBI-nya Bung. Masih berantakan.
Comment on chapter Pertama