Tower Arcana
“Paul, ayo dong ramal gue!” seorang cewek berambut ikal mengguncang-guncang tubuhku.
Sebal betul rasanya dengan cewek bawel satu ini, baru saja beberapa detik aku duduk di bangku kelas, sudah dihujani permintaan ramal, bukannya disodori sandwich tuna kesukaanku sebagai sarapan pagi ini.
“Aduh rum, gue belum ngerjain PR kimia nih, nanti aja deh yah.” Aku berbohong, tentu saja aku bukan anak pemalas yang suka gak ngerjain PR. Aku hanya tidak punya alasan saja untuk membuat Arum enyah dari hadapanku.
“Kapan dong?”
“Pulang sekolah deh.” Aku asal jawab, yang penting cewek bawel satu ini pergi dengan segera.
“Oke deh, ga sabar rasanya nunggu jam tiga nanti.” Arum berkata riang, kemudian dia mulai bangkit dan mulai beranjak pergi ke kelasnya. Kami memang berbeda kelas.
“Rum!” suaraku membuat langkahnya terhenti. Kepalanya menoleh lagi ke arahku.
“Jangan panggil gue, Paul! Nama gue Rehan!” arum malah nyengir dan pergi.
***
Aku melihat arum meninggalkan Rehan. Rupanya pasiennya bertambah satu dari kelas sebelah. Pikiranku tergelitik melihat adegan itu. Entahlah, heran saja pada semua yang percaya pada ramalan-ramalan Rehan. Katanya sih emang terbukti benar, tapi bisa saja itu hanya kebetulan, kan?! Apalagi saat mereka mulai menjulukinya ‘paul’. Rasanya ingin tertawa membayangkan Rehan dengan delapan tentakel yang menjijikan. Paul Gurita. Pernah populer dimana piala dunia berlangsung. Gurita yang digunakan untuk meramalkan negara apa yang akan memenangkan piala dunia kala itu.
Aku melihat dia menghampiriku dan tanpa ba bi bu dia langsung duduk di bangku Mira, di sebelahku.
“Udah ngerjain PR kimia?” dia bertanya padaku.
“Udah dong, tapi jangan harap gue bakal kasih lo contekan.”
“Idih, siapa yang mau nyalin PR lo. Gue udah ngerjain juga kok.” Rehan membela dirinya sendiri. Sepertinya dia tidak terima.
“Terus lo ngapain nanya-nanya PR?”
“Eh, Err….”
Karena kau Cuma ingin ngobrol dengan aku doang kan. Aku tak perlu peramal untuk mengetahui kalau kau suka padaku. Aku hanya perlu melihat matamu saja Rehan. Sebab di matamu ada cinta yang besar untukku. Bukannya aku merasa GR, tapi semua orang di sekolah pun sudah tau kalo Rehan suka padaku.
“Rehan, gue mau Tanya sesuatu boleh?”
“Kenapa enggak? Silahkan aja.” Dia menjawab sambil tersenyum padaku. Hei! aku tidak tergoda pada senyumanmu itu tauk.
“Apa elo bisa ngeramal untuk diri lo sendiri?”
Mendadak senyumannya hilang, dia terdiam, tidak lagi memandangku, matanya nanar melihat papan tulis yang masih ada rumus statistika pelajaran matematika kemarin.
“Sebenernya bisa. Hanya saja gue gak berani.” Katanya pelan, matanya masih terpaku ke depan. “Gue gak berani menerima sesuatu yang gak sesuai dengan harapan gue.”
Pengecut. Desahku dalam hati. Kau tidak berani menerima pahitnya kenyataan bahwa aku memang benar-benar tidak menyukaimu. Please Ramallah untuk dirimu sendiri Rehan, agar kau tahu perasaanku, sehingga kau bisa mundur dengan hati yang lapang, tanpa harus membuatmu kecewa dan terluka.
***
Aku melihat arlojiku. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Dari jalan komplek yang aku lalui, tak ada satu orang pun yang terlihat. Hanya aku yang berjalan melewati rumah-rumah berpetak
Langkahku pun terhenti di depan rumah bercat hijau dengan nomor 10.
Humph. Aku menghela nafas. welcome home.
Aku membuka pintu depan, dan saat aku masuk, aku merasa beberapa pasang mata langsung menyorot diriku. Aku merasa tak enak juga dipandangi sebegitunya oleh mama dan adikku, Rehan. Mereka sedang duduk di sofa ruang tengah. Sepertinya sih sedang nonton TV.
“Kok baru pulang, Mario?” aku sudah menduga pertanyaan itu pasti akan muncul dari bibir mama.
“Habis dari ketemu sama dosen pembimbing Ma, deadline skripsi kan tinggal tiga minggu lagi, dan kayaknya tiga minggu ke depan aku bakal pulang jam segini terus.”
“Oh.” Bibir mama membulat. “Kamu udah makan belum?”
“Udah.” Jawabku singkat.
Mama tersenyum, “Kalau lapar lagi, di dapur masih ada balado telur sisa tadi sore, kamu ambil sendiri aja yah.”
Aku menggeleng, “Aku mau tidur aja Ma, capek banget.” Dan aku pun meninggalkan mereka menuju kamarku.
“Hei, Mario!” Rehan menghentikan langkahku. “Ada kiriman lagi noh. Dari secret admirer lo. Udeh gue taruh di meja belajar lo.”
“Thanks adikku sayang.” Jawabku sambil melempar senyum pada Rehan, adikku yang berbeda lima tahun di bawahku itu.
Dan benar saja, di meja belajarku, sudah ada sebuket bunga mawar merah. Entah berapa jumlahnya tapi yang jelas bunga mawar itu bisa muat dalam pelukanku. Aku mengambil surat yang terselip di antara tangkai-tangkai mawar, sedetik aku sadar, ditangkai itu juga ada bercak darah.
please, temui aku di taman menteng jam empat sore besok.
Aku menghela nafas panjang, kemudian aku membuka laci meja belajarku, di sanalah setumpuk surat yang diberikan oleh entah siapa selama setahun ini, aku mengeluarkan surat-surat itu dan meletakannya di atas meja belajar. Dan kubuka salah satu dari mereka secara random.
You're stuck on me and my laughing eyes
I can't pretend though I try to hide
I like you
I like you
I think I felt my heart skip a beat
I'm standing here and I can hardly breathe
You got me, Yeah
You got me
The way you take my hand it's just so sweet
And that crooked smile of yours
It knocks me off my feet
Oh, I just can't get enough
How much do I need to fill me up?
It feels so good it must be love
Cuz everything that I've been dreaming of
I give up, I give in, I let go, let's begin
Cuz no matter what I do
Oh, oh my heart is filled with you
You Got Me - Colbie Caillat
Lirik yang indah menurutku, indah sekali, seindah surat-surat lainnya . surat yang setahun ini selalu menungguku pulang. Heran juga, kenapa pengirim surat ini tidak bosan-bosannya mengirimiku surat, padahal aku tidak pernah membalas surat-suratnya. Tapi tunggu. Biar kuralat, sepertinya pengirim surat ini memang tidak mengharapkan balasan surat dariku, alamat pengirimnya saja dia tak cantumkan, bagaimana aku bisa membalasnya.
Apakah dia buruk rupa? Sampai-sampai setahun ini tidak berani menampakan diri, lalu apakah berarti dia sudah operasi plastik sehingga kini dia mulai memberanikan diri untuk bertemu?
Taman menteng?
Aku terdiam sejenak. Sebelum akhirnya kakiku melangkah keluar kamar, dan kulihat ruang TV kini sudah tidak ada lagi mama maupun Rehan. Spontan otakku mengarahkan kaki untuk naik kelantai dua. Kamar Rehan.
Sudah kebiasaanku untuk masuk ke kamar Rehan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Begitupun sebaliknya.
“Mau ngapain?” Tanya Rehan begitu melihat setengah badanku berada di dalam kamarnya.
Biar kujelaskan terlebih dahulu kondisi kamar Rehan. Seperti kebanyakan kamar cowok, kamar Rehan tidak ada bedanya dengan gudang. Nyaris sama. Satu ranjang dengan sprei yang tak tertata rapi, buku-buku berceceran di lantai padahal dipojok ada rak buku berwarna coklat, baju-baju kotor, sepatu, berbaur menjadi satu, bahkan aku tahu betul di loteng kamarnya ada koleksi dvd bokepnya. Sementara itu di dinding kamarnya terpenuhi oleh foto-foto. Potret cewek yang sama, diambil secara candid, foto-foto itu hampir menutupi cat dinding kamarnya yang berwarna biru gelap. Rehan pernah memberitahuku siapa cewek yang ada dalam potret-potret itu. Dinar namanya.
“Gue ganggu bentar yah.” Kataku sambil memasuki kamar lebih dalam lagi dan menghampiri Rehan yang duduk di Lantai bersama kartu tarotnya yang beberapa sudah tergeletak di lantai dalam keadaan tertutup.
“Sekarang siapa lagi yang minta diramal?” tanyaku pada Rehan.
“Gak ada.” Katanya matanya tertuju pada kartu tarot di lantai. “Finally, gue beranikan diri untuk meramalkan diri gue sendiri.”
“Hasilnya gimana?” aneh, biasanya aku tidak tertarik pada ramalan-ramalan Rehan.
Rehan menggigit bibirnya. Matanya tak lepas dari kartu-kartu tarot yang tertutup. Ada tiga buah kartu yang tertutup disana.
“Gue yang buka yah.”
Rehan mengangguk tanpa suara.
Kemudian tanganku mendekati kartu tarot.
“Buka yang paling kiri dulu.” Katanya, mengintruksikanku.
Kartu tarot itu dingin rasanya. Ujung-ujung syaraf kulitku membeku, menjadikan aku dan Rehan tak bergerak beberapa detik dan jelas sekali kalau aku mendengar degup jantung Rehan yang melaju cepat.
Butuh sepersekian detik untuk membalikan kartu tarot itu dan aku tak mengerti apa yang kulihat.
Kartu tarot itu berisi gambar siluet panjang berwarna hitam gelap menjulang tinggi dan kokoh dikelilingi warna biru gelap yang sepertinya langit malam. Tapi setidaknya kartu itu bukan berisi tengkorak yang aku dengar melambangkan kematian.
“Apa itu Rehan?” tanyaku penasaran. Mataku beralih dari kartu tarot ke wajah Rehan. Dan kutemui disana, raut wajah Rehan yang membeku, matanya nanar menatap kartu yang kubuka barusan, aku tak mengerti apa arti dari kartu tarot itu, tapi yang jelas nampaknya ini bukan hal yang baik.
“Rehan.” Aku memanggilnya pelan. Memastikan dia masih sadar.
“Tower Arcana.”
“Tower apaan?”
“Kartu itu namanya Tower Arcana.”
“Apa artinya?”
“Pergolakan, pembangunan kembali, tatanan baru, perubahan ambisi pribadi.”
Aku terdiam, termenung, pikiranku pun mulai melayang memikirkan arti dari semua itu.
“Artinya Dinar gak suka sama gue. Cinta gue bertepuk sebelah tangan.” Rehan seperti bisa membaca pikiranku
“hei…” aku spontan merangkulnya. Menaruh kepalanya di pundakku. Sudah lama rasanya aku tak memeluk Rehan. “Itu Cuma ramalan.” Kataku sambil mengusap kepalanya “MenangislahRehan, kalau itu bisa membuat lo leg…”
Tiba-tiba suatu hentakan membuatku tersentak dan melepaskan Rehan dalam pelukanku. Sedetik kemudian baru kusadari bahwa Rehan mendorongku.
“Sok tau, siapa juga yang nangis!” cibirnya
Entah harus kesal karena didorong sebegitu kuatnya, ataukah harus lega melihat Rehan ternyata adalah cowok yang kuat.
“ngapain sih lo kesini?” tanyanya. Nadanya berubah sebal. Nampaknya dia kesal karena telah men-judge nya sebagai cowok yang cengeng. Atau.. kesal karena tahu cintanya bertepuk sebelah tangan??
Pikiranku kembali pada tujuan awalku ke kamar Rehan.
“Gue mau tanya. Kalo mau ke taman menteng dari kampus gue di grogol, gue harus naik apa yah?”
“Akhirnya dia minta ketemuan yah?” mendadak nada suaranya gak jutek lagi.
“Begitulah.”
“Kayaknya lo bakal ditembak deh dan lo harus terima dia, karena kalo gak dia bakal ngebunuh lo.”
“Ramalan lo kadang-kadang agak psiko juga yah.”
“Ini bukan ramalan tau! Ini analisis dari apa yang gue lihat.”
“???”
“tadi gue liat ada bercak darahdi buket mawar itu, dan gue rasa itu tanda ancaman buat lo deh.”
Aku menepuk kepala Rehan. “kebanyakan nonton sinetron lo.” Cibirku. “Darah itu artinya dia tertusuk duri saat dia mencoba untuk menyiangi tangkainya dari duri. Yah mungkin aja dia beli mawar yang masih ada durinya. Itu lebih murah kan ketimbang bunga mawar yang sudah bersih.”
“Dan gue rasa dia orang miskin karena perlu setahun untuk memngumpulkan uang untuk membeli bunga mawar dan mengajak gue bertemu.” Tandasku.
“Hahahah,” Rehan malah tertawa. “Makanya jangan tolak dia. Kasian kan.”
“Jadi gimana? Lo tau gak gue mesti naik apa?”
“Naik taksi aja sih. Repot amat sih pikiran lo.”
“Gue lagi bokek bego, urusan skripsi membuat kantong gue menipis.”
“Jangan harep gue bakal mau pinjemin lo duit yah. Utang lo yang seratus ribu aja belom lo balikin.”
“Yeeee… siapa yang mau pinjem duit?!” sewotku membela diri, “Yaudah deh, gue udah ngantuk banget nih, gak guna gue tanya sama lo.”
Kemudian aku bangkit dan beranjak. Namun, langkahku terhenti saat membuka pintu kamar.
“Rehan! Kartu tarotnya masih ada dua yang belum dibuka!” seruku semangat sekali, baru teringat pada dua kartu tarot lainnya. Semoga keduanya itu memberikan harapan untuk cinta Rehan pada Dinar.
“gak perlu.” Jawab Rehan Dramatis. “Dua kartu ini hanya berfungsi sebagai perangkat untuk menanggulangi kartu tarot pertama.”
“oh oke.” Kataku agak bengong mencoba mencerna kalimat Rehan sebelum akhirnya aku menutup pintu, dan sepersekian detik aku melihat ada butiran bening di sudut mata Rehan.
Menangis lah Rehan. itu akan membuatmu lega…
***
Di taman menteng, dimana setiap sudut terpajang beberapa pasang kekasih bak patung yang menghiasi taman tersebut. Sore itu taman menteng disesaki nuansa cinta, yah paling tidak suasana ini yang aku harapkan. Nuansa yang mana memupuk keberanianku untuk bertemu cowok yang selama ini aku suka. Selama satu tahun ini aku puja.
Satu tahun aku kumpulkan keberanian untuk dapat menatapnya dari jarak setengah meter. Aku bukanlah cewek pemberani, aku bukan cewek agresif yang sudah dianggap lumrah sekarang ini untuk menyatakan cinta terlebih dulu. Aku seorang cewek pemalu. Yah, hanya itu yang masuk akal untuk menjawab kenapa baru sekarang aku ingin bertemu dengan Mario.
Aku celingak-celinguk di salah satu sudut taman. Mencari siluet tegap milik Mario, dia memang belum mengetahui wajahku, jangankan wajahku, namaku saja dia belum tahu. Aku tidak memberitahunya aku menggunakan baju apa hari ini, atau apakah aku menggunakan topi atau tidak untuk mempermudah dia menemukanku. Jadi, tugaskulah untuk menemukannya.
Sudah lewat enam puluh menit dari jam yang sudah aku tentukan untuk bertemu dengannya. Tapi aku belum menemukan batang hidungnya. Jantungku mulai berdegup tak beraturan, kakiku pun rasanya senut-senutan karena sudah berkeliling taman untuk menemukannya.
Oke, dia tidak tertarik untuk bertemu denganku. Aku melenguh sambil menghempaskan diri ke bangku taman yang penuh dengan coretan-coretan. Sesaat aku memperhatikan coretan-coretan itu.
Danisa cinta Adit. Yuke sayang Echo. Tulisan senada dengan berbagai mcam font menghiasi bangku taman ini, menutupi cat aslinya yang sudah mulai pudar.
Entah kenapa pikiranku mulai melayang. Bangku penuh ‘prasasti’ ini mengingatkanku setahun lalu, dimana aku sedang duduk di bangku bus kota yang dipenuhi coretan-coretan.
Saat itu, aku ingat betul kalau aku sedang menuju rumahku di bilangan cempaka putih bersama mamaku.
“Ma. Duduklah disini. Biar aku yang berdiri.” Kataku pada mama waktu itu. Keadaan bus kota tersebut memang tidak terlalu penuh, dan hanya tersisa satu bangku untuk kami.
“Ga apa-apa.” Tolak mama sambil tersenyum. “Kata dokter kan kamu ga boleh capek, nanti tifus kamu makin parah lho. Malah mama merasa bersalah karena mama ga punya uang lagi untuk ambil taksi.”
Yah, waktu itu kami memang dari rumah sakit untuk memeriksa kondisi badanku yang terserang gejala Tifus, dan harga obatku itu sama dengan jatah makan kami seminggu.
Mama tersenyum. “Sudahlah nak. Mama masih kuat kok berdiri, toh jarak rumah kita gak sampai tiga kilo.”
Akhirnya aku pun duduk dengan setengah hati, merasa gak enak pada mama yang bergelayut pada tiang pegangan.
Tak berapa lama. Cowok itu datang. Cowok dengan tas selempang dengan binder bertuliskan MARIO di sampul kulit berwarna coklat tua.
Dia berdiri tiga bangku dari tempat kami berada. Dia diam terpaku menatap mama selama beberapa detik. Mama merasa gak enak ditatap seperti itu, mencoba tersenyum pada cowok yang tidak dikenalinya itu.
Aku menunggu respon cowok itu, sesaat aku mengira dia akan membalas senyuman mama, tapi ini benar-benar diluar dugaanku.
“hei mas! Gak liat ada ibu-ibu yang lagi berdiri??” cowok itu menunjuk seorang pemuda berumur sekitar 25 tahun sepertinya, yang lagi asyik ber-SMS ria.
Ditegur begitu, pemuda itu keliatan shock. entah kenapa kurasakan udara dalam bis terasa beku, beberapa pasang mata menatap cowok itu, sebagian lagi berpura-pura tidur.
Dengan muka merah padam, pemuda itu akhirnya bangkit dan mempersilahkan mama untuk duduk. Mama kembali tersenyum pada cowok itu dan cowok itu akhirnya membalas senyuman mama. Itulah momen dimana aku melihat senyum paling indah dari seorang cowok.
Kenangan itu belum berakhir.setelah aku dan mamaku turun dari bis,aku melihat bus itu pergi menjauh. Betapa kagetnya mama, mengetahui aku tiba-tiba menghentikan ojek yang kebetulan melintas di hadapan kami. Dan aku pun melompat ke jok belakang dan memerintahkan abang ojek untuk mengikuti bis tersebut. Kutinggalkan mama yang berdiri terbengong-bengong.
Yup! Aku mengikuti cowok itu sampai di depan rumah bercat hijau dengan alamat jalan cendrawasih VIII no. 10 yang sampai saat ini menjadi langganan pak pos dalam mengantarkan surat-suratku pada cowok yang mungkin bernama Mario itu.
“Hei.”
Kenangan itu mungkin tidak berbekas di otak Mario, tapi tidak di otakku. Walaupun sudah setahun kenangan itu berlalu, wajahnya, suaranya, senyumnya masih terekam jelas dalam otakku.
“Hei..”
Suaranya mengalun indah ditelingaku, siluetnya jangkung dan tegap yang selalu mendekapku dalam mimpi.
“Hei!”
Dan suara itu membuyarkan semua…
“Hei gue Mario.”
Dan ini bukan kenangan, wajahnya benar-benar dekat dengan wajahku…
***
You're more beautiful than anything in this world
More precious than the rarest diamond or pearl
And even though we didn't work out together
You're still my sunset-set-set-set
And I know that you and I are two worlds apart
But you'll always be the one to have my heart
I'm gonna love you for now and forever
Cause you're my sunset-set-set-set-set
Itu merupakan sepenggal lagu Sunset-nya Marques Houston yang mana sudah kuputar untuk ke 88 kalinya. Merasa damai aku mendengar lagu itu, meskipun hati ini menjerit ngilu.
Langit malam itu menebarkan bintang-bintang. Aku memandanginya bersama iPod di tanganku. Beginilah nasibku. Memandang bintang-bintang diatas atap rumah. Sendirian.
Pergolakan, pembangunan kembali, tatanan baru, perubahan ambisi pribadi. Tower Arcana kemarin menyuruhku untuk mencari cewek lain, membangun cinta yang baru dan melupakan Dinar. Tapi aku tak yakin aku mampu melupakan Dinar.
“Rehan.”
Sayup-sayup, kudengar suara Mario memanggilku.
“Gue disni!” aku setengah berteriak.
Tak berapa lama kemudian, dia sudah menemaniku di atas atap, dia duduk disampingku dan menatap luasnya langit malam.
“Udah ketemu?”
Mario mengangguk.
“Prosesnya gimana?”
“Gue yang nemuin dia.”
“Kok bisa? Lo kan gak tau muka tuh cewek kayak gimana?”
“Bisalah, selama satu jam gue ngumpet dulu. Nah, gue cari deh cewek yang celingak-celinguk sendirian dan kebingungan nyari seseorang. Dan pastilah dia secret admirer gue. Heheh..”
“Terus dia nembak lo?” kejarku.
Mario mengangguk lagi.
“Lo terima?”
Kali ini Mario menggeleng.
Aku tertawa sinis. “Kejam lo! Gue rasa cewek itu gak bakal bisa tidur semaleman.”
“seenggaknya dia udah lega.”
“…”
“dia lega karena udah menyatakan isi hatinya ke gue. Seenggaknya dia udah berani untuk menyatakan isi hatinya ke gue. “
Hening cukup lama.
“Gak kayak lo.”
“Gak kayak gue apa maksud lo?”
“Gak kayak pecundang macem lo. Yang udah cengeng dan ngerasa patah hati padahal nyatain perasaan lo ke Dinar aja nggak.”
“Lo lupa kalo gue udah ngeramal kemarin…”
“hei, itu Cuma ramalan Rehan! Bahkan para peramal di seluruh dunia pun sepakat kalau masa depan bisa diubah selama orang itu mau berusaha untuk merubah masa depannya sendiri. Kau bukan Tuhan Rehan, yang tahu semua yang akan terjadi di masa depan, bahkan paul gurita pun pernah salah meramal.”
Hening.
“Jangan siksa diri lo sendiri Rehan.”Mario memegang kepalaku, kemudian mengusapnya perlahan.
Beberapa detik setelah itu dia beranjak dari tempatnya, dia merangkak menyusuri atap, hendak turun rupanya.
“Mario.” Aku memanggilnya. Dia menoleh ke arahku.
“Kenapa lo nolak cewek itu? Sebenernya lo homo kan?!”
Dia tersenyum padaku. Kemudian menjawab.
“Gue nolak dia, karena gue gak mau adik gue terluka.” Kemudian dia menghilang.
Aku diam. Mencoba mencerna kalimatnya.
End