Sepotong Cokelat untuk Vega
Setengah jam sudah aku memandangi tas Puma hitam dari bahan jeans yang mengonggok di meja belajarku yang reot. Sejenak aku melayangkan pandangku, mencoba menghitung, berapa banyakkah barang pemberian Vega yang sudah menghiasi meja favoritku, yang sebenarnya sudah tak layak disebut meja belajar melainkan hanyalah sebuah potongan kayu bekas yang bercat putih.
Topi, baju, kaus kaki, dompet, jam weker, alat-alat tulis, kalender, buku pelajaran, komik dan kali ini tas. Entah bagaimana akan kubalas semua pemberian yang begitu banyak dari Vega. Tak mungkin rasanya aku mampu membalas semua itu, mengingat aku hanyalah anak dari keluarga miskin. Ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang juga terpaksa berjualan kue dengan tenaga seadanya untuk menutup hutang keluarga, sedangkan ayahku bekerja serabutan di sebuah bengkel kecil milik seorang ustadz di daerahku, selepas dipecat dari pekerjaannya sebagai buruh jahit di pabrik boneka tua tak jauh dari gubukku.
Memang rasanya tak mungkin, bahkan Vega pun mengatakan bahwa aku tidak perlu membalasnya, karena dengan kesediaanku untuk menjadi sahabatnya saja sudah cukup dibandingkan dengan jutaan rupiah yang harus kukeluarkan untuk mengganti semua itu. Walau dibalik semua itu aku tetap menyadari bahwa aku masih sangat berhutang padanya.
Aku sudah berusaha menolak setiap pemberiannya, tapi setiap kali aku menolaknya, saat itu pula dia mulai menangis, menyatakan kekecewaannya terhadapku karena aku tidak menghargai jerih payahnya, “Sahabat kan harus saling menghargai dan berbagi!” begitu katanya.
“Memang benar begitu, tapi kita ini bukan saling… Tapi hanya kamu yang terus-menerus memberi!” Sanggahku kemudian.
Selalu… setelah itu dia menangis lagi, dan aku paling tidak tahan melihat anak perempuan menangis, apalagi dia adalah sahabat, teman baik, curahan hatiku. Ah.. betapa bodohnya aku, tidak mengetahui apa yang sebaiknya aku lakukan, dan apa yang harus aku katakan. Aku tidak mungkin meninggalkan dia hanya karena perdebatan itu, tidak mungkin. Aku sudah terlanjur sayang padanya, walaupun bukan kekasih tapi kami tidak terpisahkan.
*
Tanpa disadari, sudah 93 hari aku mengumpulkan uang di kotak simpananku, sebuah kotak bekas wadah wafer yang sudah usang karena kusembunyikan di kolong lemari pakaian keluarga kami. “Berarti sudah hampir tiga ratus ribu” batinku. Memang tanpa sepengetahuan ayah, ibu dan Vega, aku mengumpulkan uang sejak hari ulang tahun Vega, karena sejak saat itu aku berniat untuk membalas budinya.
Di hari ulang tahunnya, aku sempat bertanya barang apakah yang paling diinginkan Vega, dan dia pernah bilang ingin sekali cokelat Lindt yang harganya lebih dari Rp. 300.000 – an. Vega bukan tidak mampu membeli cokelat itu, tapi ayahnya tidak pernah mengijinkannya membeli cokelat itu dengan alasan yang memang tidak terdengar wajar bagi banyak orang. Sejak lahir, Vega memang mengidap kelainan pada saluran pencernaannya. Lambungnya sangat sensitif dan tidak toleran terhadap kadar laktosa dan kandungan kakao bahkan dalam kadar sedikitpun. Saat berumur 5 tahun, Vega pernah makan cokelat susu pemberian gurunya, dan hasilnya Vega harus dirawat selama dua minggu karena intoleransinya itu.
Sejak saat itu, ayahnya sangat ketat melindungi dan menjaga kesehatan anak semata wayangnya itu. Ayahnya memang memiliki adat yang keras, mungkin hanya sifat ini yang tidak menurun sama sekali pada anaknya, Vega, cewek berjilbab yang justru senang mendengar cerita dan bahkan berbagi nasihat dengan anak-anak tidak mampu seperti aku, entah kenapa? Tapi sepertinya yang ini bukan keturunan.
Aku sendiri bermaksud mengumpulkan uang, hingga cukup untuk membeli cokelat Lindt itu, dan niatku adalah untuk menukarkan uang-uang tersebut dengan beberapa lembar uang saja, dan tanpa perlu membawa berlembar-lembar uang seribuan. Bukannya malu yang tidak bisa aku tahan, tapi aku hanya khawatir kasir di swalayan yang menjual cokelat itu tidak mau menerima lembaran-lembaran uangku yang lusuh dan kotor, bahkan beberapa di antaranya sudah sobek. Andai saja cokelat itu dijual di toko kelontong di pasar seberang, mungkin segalanya akan lebih mudah. Walau sulit, segalanya sudah kurencanakan dengan matang.
Dan akhirnya, cita-citaku itu pun terwujud sebentar lagi. Aku berniat membeli cokelat itu segera setelah kutukarkan uangku di toko Mang Asep, penjual emas yang juga teman ayahku yang sudah bertahun-tahun membuka lapaknya di depan toko kain di pasar kumuh di belakang sekolahku.
*
Akhirnya, tiba juga saat-saat dimana aku akan membalas budi, sebagai seorang sahabat yang baik bagi Vega. Sesuai dengan rencana, hari ini Vega ada jadwal praktek laboratorium dan itu berarti memungkinkan aku untuk membeli cokelat Lindt di swalayan yang letaknya tak jauh dari sekolah. Aku memang berencana untuk memberikan cokelat itu sebelum dia pulang ke rumah, agar dapat kami nikmati bersama di sekolah tanpa harus diketahui oleh ayahnya.
Aku gembira sekali ketika melihat kotak cokelat itu tersedia di rak di sudut pasar swalayan yang kudatangi, dan tampaknya memang hanya disisakan satu untukku, ini pertanda baik, semesta mendukung niat baikku.
Namun kegembiraanku itu tak lama, karena setelah dengan bangganya aku mengeluarkan beberapa lembar seratus ribuan dari saku celanaku yang kumal, sang kasir mengucapkan kalimat yang sangat membuatku merasa hancur segera setelah dia mengecek uang pemberianku di bawah lampu yang berwarna biru di bawah mesin kasirnya.
“Dik, maaf uang ini palsu, tidak bisa dipakai dik!”
“Apa! bercanda aja nih mbak!” timpalku mencoba untuk menyanggah sekaligus menghibur diriku sendiri.
“Gimana sih? Bener dik, uang ini palsu, tidak bisa dipakai!” Aku berdiri di depan sang kasir, tak tahu harus berbuat apa. Hanya satu yang terlintas di pikiranku, apapun caranya cokelat ini harus kuberikan kepada Vega.
Entah iblis mana yang merasuki diriku waktu itu, aku berpikir singkat saja. Dengan langkah super cepat kuraih cokelat itu, dan secepat kilat aku berlari keluar toko diikuti dengan teriakan-teriakan dari si kasir dan beberapa pramuniaga yang ada di belakangku. Dalam kelebat lariku, sekilas aku melihat dua orang satpam tergopoh lari di belakangku, mencoba untuk menangkapku. Tanpa sadar, bulir-bulir bening mengalir keluar dari mataku yang memicing karena terik yang mengiringi langkah-langkah lebar pelarianku.
Aku tak kuasa menahan tangisku, tangis kebahagiaan, yang bercampur kekecewaan, ketakutan, kecemasan, tapi juga kepuasan. Aku tahu Vega tidak akan suka caraku ini, tapi aku sudah menyiapkan 1001 alasan untuk membenarkan pengorbananku untuk persahabatan ini. Aku tidak peduli apakah caraku ini benar atau salah, yang jelas aku harus menghindar secepatnya dari kejaran kedua satpam, tapi.. ingatanku tidak terlalu tajam untuk mengenang yang terjadi pada menit-menit berikutnya.
Saat ini memang tidak banyak yang aku ingat dari kejadian singkat yang menimpaku secara tiba-tiba itu. Aku hanya bisa mengingat rasa sakit yang teramat sangat, yang membuatku tersentak kaget karena terpental beberapa meter ke arah kiriku ketika kuberlari menyeberangi jalan untuk menjauhi orang-orang yang memburuku.
Menit-menit berikutnya aku hanya bisa merasakan sendi-sendiku yang mati rasa, badanku yang seolah remuk tak beraturan dan mungkin tulang-tulangku pun patah, entah apa yang menabrakku tadi. Seingatku ada suara klakson keras yang mendengung di telingaku sesaat sebelum aku terpental.
Tunggu… ada satu lagi yang aku ingat! Satu tangan lembut dan hangat yang aku kenal, yang sangat akrab denganku. Tangan lembut itu meraba wajahku yang kurasa penuh dengan cairan amis seperti darah, atau mungkin memang darah, aku tak begitu tahu. Yang aku tahu itu tangan Vega. Ya! aku yakin, karena beberapa detik setelah itu, dia mengambil potongan cokelat yang sudah kotor terseret aspal jalan dan masih tergenggam erat di tanganku bahkan setelah aku terpental tadi.
Kupingku sudah tak bisa mendengar apa-apa lagi. Mataku sudah tidak bisa melihat dengan jelas, dan mullutku pun sudah tidak bisa berkata-kata lagi, saking sesaknya dadaku akibat benturan tadi. Tapi hatiku masih bisa merasakan. Ya! hatiku merasakan Vega mengambil potongan cokelat yang tersembul keluar dari bungkusnya yang robek tak keruan dan meneteskan air mata sebelum ia berucap, “Terima kasih Willy,” sambil menggenggam tanganku, lantas memelukku erat. Itulah yang terakhir kurasakan sebelum aku menginjakkan kaki di dunia lain.
“Maafin aku wil, supirku nggak melihatmu menyeberang,” bisik Vega lirih di sela isak sesalnya yang mendalam.