Loading...
Logo TinLit
Read Story - Before I Go To War
MENU
About Us  

Suara merdu embun pagi yang tengah mendekap erat Kota Qana terhalau bagiku oleh teriakan hati milikku. Tiada kutemui tempat-tempat ketenangan melainkan tempat penantian denganmu. Selama ini aku masih mampu bersabar atas berontak hati dikala kurindu padamu. Masih dapat kutemui engkau yang tengah menggiling adonan tepung, mentega, dan juga susu. Tapi besok tiada hari lagi untuk kembali, kecuali setelah kemerdekaan tanah kita yang memakan waktu tak sejauh bintang dan tak pula sedekat bumi. Sekarang izinkanlah aku memandangmu hingga terpuaskan sedikit nafsuku yang tak pernah dapat berdamai dengan kata cukup. Betapa manisnya engkau. Kesialan bagiku dikala takdir ini menghambatku untuk segera bersamamu dalam setiap langkah.

Ditaman ini, yang akan menjadi perekam pertemuan terakhir kita aku menantimu. Ditemani oleh kecaman diri dan juga eluhan kepada Yang Maha Kuasa. Sepertinya teman-temanku yang sudah beristirahat dari perjuangan ini mentertawakanku. Mentertawai pejuang cengeng yang memohon pada Tuhannya untuk diizinkan memeluk cinta. Celakalah kalian, oh teman-teman jika kalian melakukan apa yang telah kuterka. 

Itulah dia. Akhirnya yang kunanti telah datang. Gaunnya yang telah usang tidak sekalipun memudarkan kecantikannya. Berdeguplah jantungku melebihi degupan ketika aku nyaris saja hendak terjatuh kejurang dialam mimpi. Senyuman bahagianya telah dipancarkan dengan paksaan, aku tahu itu. Hilang sudah senyuman ikhlasnya dihari ini dan hari yang akan datang sampai aku kembali dari berperang. Tidak! Bahkan ia masih terpaksa untuk tersenyum dikala aku kembali hanya sekedar jasad dari perantauan. 

"Siapakah engkau yang semakin hari semakin menggerogoti hatiku?" tanyaku sembari merayu dengan hati yang sudah dipeluk erat oleh keikhlasan dalam memuji. 

"Wahai tuan yang ada dihadapan. Janganlah kau tarik gadis yang lemah akalnya ini menuju kepada kehinaan!" pintanya dari lisan yang suci dan dengan binar mata yang aku sudah tahu bahwa ia kini menahan tangisnya. 

"Engkaulah yang telah menyeretku kepada kehinaan  dan tak lupa juga pada kesengsaraan." oh andai dia tahu bahwa kesengsaraanku jauh lebih dalam dari ucapan itu.

"Apakah maksud yang dikandung oleh lisan dari tuan?" 

"Tidak ada maksud didalamnya duhai yang terzalimi oleh takdir. Duduklah! Engkau telah mengerti bahwa waktuku tak patuh padaku. Jadi, direruntuhan bilangan yang menyertai perputaran matahari kita gunakan untuk mengutarakan seluruh beban yang merusak akal kita diwaktu-waktu yang telah lalu."

"Satu hal yang harus kuutarakan padamu ialah aku selalu berharap. Sekalipun engkau sudah terbaring dipemakaman. Aku masih beharap dan tak akan ada tuan lagi yang dapat mencuri harap itu." ucapnya diiringi air mata yang sudah menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan batinku.

Betapa lembut sahutan darimu. Dengan lisan yang memang sedari dulu telah siap dikorbankan dan air mata yang jatuh dengan murah yang ikhlas dalam memandang. Sangat ingin diri ini menghapusnya, barang setetes sahaja. Tetapi apalah daya? Jangankan menyentuh seujung kuku dari potongan tubuhnya. Berada didekatnya pun seperti yang terjadi dalam hitungan detik ini adalah suatu pelanggaran. Pelanggaran kepada hukum Tuhan. 

"Dan hal yang ingin kulepaskan sehingga kau berkesempatan untuk mengambilnya ialah kiranya aku telah beristirahat dengan nyenyak dipemakaman, kiranya tulangku telah habis dimakan tanah, dan kiranya rambutmu telah memutih dalam pelukan pejuang lain. Ketahuilah! Aku tidak akan bosan menunggumu disisi Tuhanku. Tidak meski yang kutunggu telah dibalut cinta yang baru."

Betapa mendesaknya lautan air mataku meluap dan hatiku telah tertusuk dalam kalimat pengandaian pabila ia telah memiliki cinta selainku. Tetapi atas nama kesucian sang cinta! Biarlah pejuang ini merasakan luka luar dan dalam pula dengan imbalan gadisnya tidak sekalipun menerima goresan.

"Kemustahilan dalam benakku pabila kau bergeser barang sejengkal saja dalam hatiku. Jangan pernah berpikir sedikit saja atas kelalaianku dalam mencintaimu."

Lihatlah! Saksikanlah! Ia telah menancapkan panah bermata yang jumlahnya tak mampu untuk disebut kedalam hatiku. Air mata itu jauh lebih berharga untuk jatuh ketimbang setetes air mata dari sang peri duyung. Hatiku kini sesak dan semakin sesak lagi ketika panggilan kepada perpisahan telah terdengar.

"Mustafa! Bis kita sudah datang. Ayo cepatlah!" panggilan ini seperti panggilan dari malaikat peniup sangkakala bagiku dan bagi cintaku. Menusuk hingga kedasar rasa ketakutan dan juga palung kesedihan.

Duhai gadisku. Duhai Diyala. Kejam nian yang menciptakan perang ini. Kejam nian diriku yang terlalu tunduk pada negara dan agama sehingga terkorbanlah engkau. Terkorbanlah aku. Tetapi siapa yang peduli dengan pengorbanan untukku? Engkaulah saja pusaran rasa kepedulian dan pusaran simbol akibat kejahatan dari perang. 

"Diyala. Sungguh kejam waktu kita. Tidak memberi sedikit saja kelebihannya. Diyala, jagalah dirimu sahaja! Telah kubebaskan engkau dari cintaku yang berdosa. Carilah takdir yang dapat menuntunmu pada kebahagaiaan! Dan itu sudah cukup menjadi tebusanku dalam kesedihan." 

"Tidak Mustafa. Kebahagiaanku tidak pernah lepas darimu dan takdir yang dapat merubahnya ialah ketika aku mencintaimu semakin dalam disaat detik-detik berubah menjadi menit, menit-menit berubah menjadi bilangan jam, jam berubah menjadi hari, lalu hari berubah menjadi minggu, dan pada akhirnya hingga kematian yang kurindukan menghampiriku dengan damai."

"Diyala, janganlah engkau menyiksa dirimu sendiri!"

"Bagaimana aku tidak menyiksanya sedang kutahu bahwa kau juga tersiksa. Biarlah ini menjadi bukti kesiapan yang penuh dalam mencintaimu yang akan kusuguhkan kehariban Tuhan."

"Diyala... Aku pasti akan pulang untukmu"

"Aku yakin dengan itu. Selamat tinggal Mustafa. Selamat tinggal pejuang insan. Fi amanillah ya rijalallah (semoga Allah menjagamu, waha pemuda yang berjuang dijalan Allah)."

Lalu langkahnya mundur dan pelan-pelan menjauhiku bersama dengan tetesan air dari dua sisi matanya hingga akhirnya ia membelakangiku dan berlari pergi dariku. Biar kuterka! Ia berlari menuju mihrabnya. Membujuk Pengatur Takdir untuk berderma kepada kami. Sesungguhnya Ia telah berderma pada kita. Sungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi" (Q.S Ali Imran; 08)

"Selamat tinggal Diyala wa fi amanillah ya mazlumah (semoga Allah melindungimu juga, wahai wanita yang terzalimi)" teriakku dalam harapan ia berkesempatan untuk mendengar.

Sekarang tiba-tiba langkahku terasa amat berat meninggalkan tempat ini. Ia pergi begitu saja tanpa memberiku ajimat untuk menjadi penawar rinduku menjelang dan akupun juga tak berkesempatan memberinya.

Ah kutemukan bunga mawar miliknya yang tidak kusadari sedari tadi. Bunga itu terbaring tak berdaya diatas permukaan tanah dekatku beranjak. Inilah ajimat darinya, dari Diyalaku sayang. Meringanlah sedikit beban dilangkahku. Ajimat dariku biarlah kutitip pada nyonya Fatema yang sedang berpelukan dengan putranya diterminal dekat taman ini. Meringanlah sedikit beban dilangkahku. Meringanlah sedikit beban dihatiku. 

"Salam alaykom" ucapan salamku tatkala kuhampiri penyampai ajimatku untuk Diyala. 

"Alayka salam" sahut ibu dan putranya yang juga akan beradu nyawa bersamaku.

"Bolehkah aku menitipkan sesuatu padamu, nyonya Fatema?"

"Tentu Mustafa. Titipkanlah apa yang ingin kau titipkan!" 

"Tolong serahkan kalung ini untuk Diyala."

"Baik Mustafa. Aku berjanji akan memberikan ini padanya."

"Terimakasih banyak. Semoga Allah merahmatimu nyonya Fatema dan juga putramu, Jafar. Alayka salam."

"Ayo Jafar! Bis kita sudah menanti penumpang termulianya." ajakku pada pejuang muda milik nyonya Fatema. 

"Baiklah Mustafa tapi tunggulah sebentar. Biarkan aku menyampaikan pesan perpisahan pada bundaku tersayang!"

"Tentu Jafar. Tiada yang melarang."

Diyala sudah menusuk hatiku dan kini giliran anak dan ibu dihadapanku ini lagi yang menusuk benakku untuk kesekian kali. Ibuku telah damai bersama ayah yang juga telah kembali dari perjuangan dalam jasad tanpa ruh tiga tahun lalu. Akibatnya aku tak memiliki seorangpun yang siap memeluk dan mencium keningku. Malang nian nasib putramu ya ummi. Duhai ibu, sesungguhnya pelukanmu dapat kurasakan dalam setiap tarikan nafas. Salam untukmu, wahai yang namanya disebut tiga kali pengulangan. Salam untuk ayah, sang pejuang ditanah Lubnan (Lebanon).

Kini giliranku menaiki bis pengantar kepada kesyahidan. Serasaku dapat merasakan hentakan kaki ayah yang tertinggal. Serasaku dapat melihat Diyala diujung sana sedang melambaikan tangan untuk pejuang malang. Tetapi sayang, hanya sekedar rasa. Tiada suara derap langkah kaki ayah. Tiada pula Diyala saya. 

Sekarang pejuang ini hanya duduk manis dengan harapan panjang yang sedang berkecamuk dalam jiwa seorang. Seakan pasrah sudah menjadi kewajiban. Datangnya yang ditunggu tak kunjung menjelang. Masihkah engkau bersimpuh dimihrab Tuhan? Tega nian engkau meninggalkanku yang sedang menanti menuju perang. Lupakah engkau bahwa kau memiliki pejuang? Terserahlah! Sesungguhnya kesukaannya adalah penawar bagi jiwa nan malang.

Dalam jarak yang sedikit demi sedikit mulai berkurang, masih tidak hadirkah ia? Betapa khusyunya makhluk Tuhan ini. Semakin membuat darahku menderu untuk menjadikannya teman dalam memperoleh iman. Jikalau kau tak hadir sekarang, maka biarlah mata-mata para bunda diluar sana yang akan membagi kedukaan ini padamu. Kuterima kedukaan yang bersumber dari ketiadaanmu menyayat organ didalam dadaku.

Sungguh sayangku, waktuku pada peperangan semakin bertambah. Begitupula jaraknya. Sedangkan jarak kita mulai terbentang yang menjadi lawan waktu perjuangan. Dapat kukhayalkan keberadaanmu diluar sana. Dapat kugambarkan dalam imajinasiku ragamu disampingku sekarang. Menyandarkan kepala kebahuku yang besok akan terluka.

Sabar wahai Mustafa! Hatiku berkata. Waktu tidak sekejam kelihatannya. Aku yakin aku akan kembali dalam cinta. Bersama dia merajut bahagia. Entah itu dunia ataupun di surga. Waktu tidak sekejam kelihatannya, duhai Diyala. Bersabarlah! 

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang sabar" (Q.S Ali Imran; 146)

Sesungguhnya aku akan pulang...

Selamat tinggal gadis yang tengah asyik bersujud dimihrab yang usang...

Selamat tinggal Lebanon yang menanggung perang...

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 6
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags