Copyright © 2017-2022 TinLit
January 17 2019 - February 06 2019
Hello Tinlitians! to join the review contest, please review the story below. You can review one story or more
Ramli merasa ada yang aneh dari Ara. Dan keanehan yang saat ini Ramli rasakan, sebenarnya sudah Ramli rasakan dari beberapa hari yang lalu.
Bukannya Ramli bermaksud untuk mengatakan ‘aneh’ yang dalam artian jelek, tapi ‘aneh’ yang Ramli maksud seperti... hal yang tidak biasa, dan membuat Ramli merasa sedikit bingung dan tidak nyaman.
Ramli dan Ara adalah teman sekelas. Namun, selama ini hanya sebatas itu. Hanya teman sekelas dan tidak lebih. Palingan kalau lebih hanya sebagai ‘teman sekelompok’ dan itu saja. Mereka jarang berbicara, bahkan ketika bertemu di lorong waktu sepulang sekolah, mereka terasa sungkan bertegur sapa.
Tetapi beberapa hari belakangan—entah apa yang salah—Ramli merasakan sesuatu yang berbeda dari Ara. Ramli tak bisa menjelaskannya dengan detail, tetapi sesuatu yang berbeda itu terasa aneh bagi Ramli. Benar-benar aneh dan tidak biasa.
Seperti tadi, ketika Ramli ingin pergi ke kantin saat jam istirahat, tiba-tiba Ara memanggilnya dan berkata, “Ramli, mau kemana?”
Dan karena bingung dengan pertanyaan tiba-tiba itu, Ramli hanya menjawab dengan ragu, “Mau ke kantin.” Ramli terdiam sebentar. “Kenapa?” tanya Ramli, ingin tahu.
“Oh.” Ara melihat ke sekeliling kelas, dan baru menyadari bahwa sedari tadi hanya tersisa mereka berdua di dalam kelas. “Gue ikut, boleh gak?” pinta Ara yang membuat Ramli mengerutkan keningnya.
Itulah keanehan pertama.
Mengapa aneh? Karena sudah hampir satu semester mereka—Ramli dan Ara—sekelas, dan baru kali ini Ara ingin ke kantin bersama Ramli. Selama ini, tanpa Ramli sadari, diam-diam ia mengamati Ara, dan Ramli sadar jika Ara adalah tipe-tipe orang yang sangat jarang ke kantin.
Dan sekarang tiba-tiba Ara berkata bahwa ia ingin ke kantin (bersama dengan Ramli pula!), bagaimana mungkin Ramli tidak kaget dan merasa aneh?
“Boleh ‘kan, Ram?” tanya Ara yang membuat Ramli tersadar dari lamunannya.
“Boleh.” Merasa tak tega jika menolak, akhirnya Ramli setuju.
Tetapi penyesalan Ramli rasakan seiring mereka—Ramli dan Ara—berjalan menuju ke kantin. Ramli bukanlah tipe cowok yang supel. Ramli bukanlah tipe cowok yang dengan mudahnya dapat membuat topik pembicaraan. Dan sekarang, saat dia harus terjebak dengan Ara di dalam perjalanan menuju kantin, Ramli sadar kalau mereka setidaknya harus berbicara—tak peduli jika hanya satu atau dua patah kata.
“Lo gue perhatiin main hape terus, Ra,” ucap Ramli tiba-tiba. Dalam hati, Ramli langsung meringis.
Kenapa gue harus bilang itu?! Pasti Ara mikirnya gue suka merhatiin dia deh, aduh! Gerutu Ramli, dalam hati.
Ramli melihat Ara tersenyum riang. “Hehehe, soalnya gue lagi nonton drama korea, Ram. Dan drama korea-nya seru banget! Kan gue jadinya ketagihan. Apalagi cowoknya ganteng banget, Ram! Gue-nya kan jadi super duper ketagihan,” jelas Ara dengan menggebu-gebu.
“Tapi jangan sampe drama korea ngebuat lo jadi enggak fokus belajar, Ra. Nanti lo sendiri yang jadinya keteteran loh,” ujar Ramli.
Dan dalam hati, Ramli juga langsung meringis.
Aduh, kenapa gue jadi sok bijak gini sih?!
“Iya, lo tenang aja gue enggak bakal sampe keteteran elah,” kelit Ara. Beberapa detik kemudian, Ara menghentikan langkahnya dan menatap Ramli terang-terangan. “Lagian itu juga mumpung gue dapet wifi gratis. Enggak apa-apa kan?”
Perkataan Ara sukses membuat Ramli mengerutkan keningnya, lagi. Maksudnya Ara apa?
Namun, bukannya bertanya, Ramli malah menggendikan bahunya dan berkata, “iya enggak apa-apa kok.”
Dan mereka kembali melanjutkan langkah mereka menuju kantin. Dengan Ara yang sibuk menonton drama korea-nya melalui ponsel, dan juga Ramli yang dalam diam berpikir mengapa dia terus merasakan sebuah keanehan.
Tak biasanya Ramli melupakan keberadaan PR. Biasanya, Ramli akan selalu ingat akan setiap PR yang diberikan oleh gurunya. Bahkan tanpa dicatat pun, Ramli pasti akan ingat.
Tetapi—entah apa yang salah dengan Ramli—hari ini Ramli melupakan keberadaan PR Fisika. Hal itu membuat Ramli merasa bingung. Bagaimana mungkin Ramli dapat melupakan PR Fisika yang notabenenya adalah pelajaran kesukaannya, hanya karena memikirkan keanehan Ara semalaman?
Memang setelah keanehan pertama ketika Ara meminta untuk ke kantin bersama, keanehan kedua pun muncul. Dan keanehan kedua itu terjadi beberapa menit setelah bel pulang sekolah berbunyi, Ramli baru saja akan melangkahkan kakinya ke luar kelas ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya.
Dan orang itu Ara.
Dan sekarang ternyata hanya tersisa mereka berdua di kelas.
“Hehehe, Ramli.” Sebuah cengiran terlihat di wajah Ara.
“Kenapa, Ra? Kok belum pulang?” tanya Ramli, merasa bingung.
Ara terlihat ragu selama beberapa saat, sampai akhirnya ia berkata, “Ramli, gue boleh pulang bareng sama lo, enggak?”
“Kenapa?” tanpa sadar Ramli lagi-lagi bertanya.
“Eh,” Ara mengedarkan matanya ke sekeliling kelas—pertanda jika ia sedang gugup, “kalau lo enggak mau juga gapapa, Ram.”
Merasa tidak enak, akhirnya Ramli mengangguk. “Tapi gue ada pertemuan dulu sama anak Rohis di Masjid sebentar, gapapa ‘kan?”
Wajah Ara terlihat bersemangat. “Iya gapapa kok!”
Dan itulah keanehkan kedua. Keanehan yang membuat Ramli berpikir keras semalaman. Kenaehan yang juga membuat Ramli lupa akan keberadaan PR Fisika.
Mengapa Ramli berpikir kalau itu aneh? Karena, mengapa tiba-tiba saja Ara mau pulang bareng dengan Ramli? Padahal Ara bisa saja pulang bareng dengan cowok lain—yang lebih dari Ramli.
Pemikiran itu terus bersarang di otak Ramli, bahkan sampai saat ini ketika Ramli sedang mengerjakan PR Fisika dengan terburu-buru. Saat Ramli ingin mengerjakan soal nomor 5, tiba-tiba saja Ramli mendengar suara pintu kelas terbuka, dan seseorang berkata:
“EH ADA YANG LIAT RAMLI?”
Dan tanpa melihat siapa yang berbicara, Ramli sudah dapat menebak dengan tepat siapa orang itu.
Itu Ara.
“EH INI BENERAN ENGGAK ADA YANG NGELIAT RAMLI?!” pekik Ara ketika tak ada satupun murid di kelas yang menjawab.
Tepat ketika Ramli berniat menjawab pertanyaan Ara, seseorang menjawab, “Itu, Ra, Ramli lagi di belakang. Dia lagi ngerjain PR Fisika.”
Dari tempatnya duduk sekarang, Ramli dapat mendengar suara langkah kaki Ara mendekat. Dan tanpa Ramli sadari, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ini aneh. Benar-benar aneh. Sejak kapan kehadiran Ara terasa seaneh ini?
Saat menyadari bahwa Ara sudah berada di dekatnya, Ramli mendongakkan kepalanya. “Kenapa nyariin gue, Ra?” tanya Ramli.
Namun, bukannya menjawab pertanyaan Ramli, Ara malah mengedarkan penglihatannya ke sekitar Ramli. Dan tiba-tiba ia bergumam, “Oh mati,” gumam Ara pelan. “Bolt lo mati tuh, Ram. Mau pake power bank gue?” tawar Ara tiba-tiba.
Mata Ramli langsung tertuju ke bolt-nya. “Boleh deh, Ra. Makasih ya,” ucap Ramli.
“Iya, sama-sama, Ram. Santai aja kali,” jawab Ara sambil menepuk pundak Ramli. Kemudian Ara berbalik menuju tempat duduknya untuk mengambil power bank nya.
Meninggalkan Ramli yang masih terdiam. Bahkan—untuk sejenak—Ramli melupakan PR Fisika yang sedari tadi ia kerjakan dengan terburu-buru. Ara aneh. Dan Ramli sendiri merasakan bahwa dirinya aneh. Like, kenapa tiba-tiba tadi Ramli merasakan sebuah keanehan di dalam tubuhnya ketika Ara menepuk pundaknya secara tiba-tiba?
Mengapa Ramli merasakan perasaan aneh itu? Rasanya seperti ada kupu-kupu berterbangan di perut Ramli. Dan itu terasa sangat aneh.
Tak terasa sekarang adalah jam istirahat kedua. Dan, sekarang, setelah menunaikan ibadah salat zuhurnya, Ramli dan salah satu teman lelakinya di kelas, Panji, memutuskan untuk makan di kantin. Mereka berdua memakan bakso-nya dalam diam, sampai tiba-tiba Ramli memutuskan untuk memecah keheningan.
“Lo ngerasa ada yang aneh sama Ara gak?” tanya Ramli tiba-tiba.
Panji, yang tiba-tiba ditodong pertanyaan tak terduga, langsung mengernyitkan alisnya. “Enggak tuh. Biasa aja. Emangnya kenapa?”
Sebelum berbicara, mata Ramli melirik ke kanan dan kekiri. Seolah-olah apa yang akan diucapkannya adalah rahasia negara. “Ara beberapa hari terakhir ini aneh, Ji.”
“Aneh gimana?”
Ramli menyeruput es teh manisnya, lalu berbicara, “Ya aneh aja gitu. Masa dia belakangan ini suka ngajakin gue ngobrol, terus nyariin gue mulu. Dan yang paling aneh tuh waktu kemaren dia bilang mau pulang bareng sama gue. Aneh banget gak sih, Ji?”
Selama beberapa detik, Panji terdiam berusaha meresapi perkataan Ramli.
“Itu enggak aneh sih menurut gue,” komentar Panji.
“Itu aneh, Ji. Maksud gue, kenapa tiba-tiba dia deketin gue gitu? Keliatannya dia ada maunya gitu.”
“Memang apa anehnya kalau Ara suka sama lo?”
Perkataan Panji sukses membuat Ramli tersedak. Dengan cepat, Ramli langsung meneguk habis es teh manisnya, lalu menatap Panji dengan mata melotot. “Apa maksud lo sih?”
“Ya ampun, lo emang bener-bener buta ya kalau masalah gini-ginian,” ledek Panji. “Dari Ara yang tiba-tiba ngedeketin lo, terus juga minta pulang bareng. Apa lo gak sadar kalau itu emang kode cewek kalau suka sama cowok?”
Ramli mengerutkan keningnya. “Emangnya iya ya?”
Tangan Panji menepuk pundak Ramli. “Nah sekarang giliran lo. Lo sendiri ngerasa ada yang aneh gak kalau Ara tiba-tiba nyamperin lo?”
“Tadi detak jantung gue berdegup lebih cepat waktu ngedenger suara langkah kaki dia,” jelas Ramli dengan suara pelan.
Dan suara tawa Panji langsung menggelegar seketika. “Astaga, masa denger suara langkah kaki Ara aja lo udah deg-degan?”
Tanpa menggubris pertanyaan Panji, Ramli kembali melanjutkan, “tadi gue juga ngerasa ada kupu-kupu di perut gue waktu Ara tiba-tiba nepuk pundak gue. Dan bener kata lo, itu semua emang aneh. Jadi menurut lo siapa yang aneh, Ji? Ara atau gue?”
“Enggak ada yang aneh dari antara kalian berdua, Ram,” jelas Panji dengan wajah bijak, “cuma cara kalian berdua menunjukkan rasa suka kalian aja yang aneh.”
Penjelasan Panji membuat Ramli terdiam.
Gue... suka sama Ara?
Bel pulang telah berbunyi sejak lima menit yang lalu, tetapi Ramli tak bergerak dari tempat duduknya sama sekali. Mata Ramli melirik seorang gadis yang juga masih diam di tempat sambil memainkan hape—yang Ramli tebak pasti gadis itu sedang menonton drama korea kesukaannya.
“Ara,” panggil Ramli sambil berjalan menuju gadis yang sedang fokus dengan hape-nya.
Ara mendongakkan kepalanya. “Kenapa, Ram?”
Setelah meyakinkan dirinya sendiri, Ramli menatap Ara tepat di manik matanya. “Gue tahu ini kecepetan, tapi gue suka sama lo,” ujar Ramli tegas. Ramli melihat ada raut kaget di wajah Ara, namun dia tetap melanjutkan, “dan gue juga sadar lo suka sama gue. Gue sadar ketika tiba-tiba lo ngedeketin gue, ngajakin pulang bareng, dan saat lo nyariin gue. Gue gak bakal nga—”
“Ramli,” Ara menyela perkataan Ramli, lalu bangkit dari kursinya.
Ramli menatap Ara dengan binar penuh harap.
“Gue ngedeketin lo karena gue make bolt lo,” jelas Ara pelan. Ara menarik nafas sebentar lalu kembali melanjutkan, “gue pikir lo tahu kalo gue deketin lo karena make bolt lo. Gue enggak mau jauh-jauh sama lo karena kalau kejauhan nanti loading nya lama. Gue juga minta pulang bareng sama lo soalnya gue mau download episode terakhir drama korea kesukaan gue. Soalnya wifi di rumah gue lagi rusak, Ram.”
Dan Ramli langsung merasakan degup jantungnya yang sedari tadi bergetar dengan cepat seketika terhenti.
“Lo...,” Ramli terdiam berusaha mencari kata-kata yang tepat, “manfaatin gue?”
Perasaan bersalah mengerumuni benak Ara. “Maaf.”
Terjadi keheningan selama beberapa menit. Ramli sendiri sedang berusaha mencerna semua ini. “Tahu password bolt gue dari mana?” tanya Ramli memecahkan keheningan.
“Lo sendiri yang nge-connect-in waktu kita kerja kelompok Bahasa Inggris minggu lalu.” Ara berkata sambil menunduk.
“Oh.” Mata Ramli menatap gadis yang saat ini sedang berdiri di depannya dengan pandangan sendu. “Pantesan kuota bolt gue banyak banget berkurangnya beberapa hari belakangan ini,” gumam Ramli pelan.
“Maaf, Ram. Tadinya gue pikir lo tahu.”
Senyum tipis tersungging di bibir Ramli. “Tadinya juga gue pikir lo suka sama gue, kenyataannya enggak.” Ramli memutarkan badannya lalu sambil berjalan ia berkata, “gue pulang dulu, Ra.”
Ramli tak tahu apakah Ara menjawab ucapan selamat tinggalnya atau tidak, yang Ramli tahu hanyalah ia merasa sebuah keanehan di dalam hatinya. Dan keanehan itu terasa sakit dan sedikit perih.
Ralat, tidak sedikit, tapi banyak.
“Kids are making sand castles, while their parents are sitting under the rainbow-colored umbrellas,” said a guy’s voice suddenly.
Why would a stranger say such ridiculous things out of nowhere? “Who are you?” I asked.
“The dad laughs very loudly; I bet his wife feels embarrassed from the way she wears her expression; she is all frowny.”
“The word ‘frowny’ is not even in the dictionary. Who are you?” I asked him once again. I started to get irritated by him not answering me, but his smell distracted me; jasmine. Never had I ever encountered a guy who smelled like flowers before.
“Woah what a Grammar Nazi!” He retorted, nudging my left shoulder lightly.
“Why are you talking to me? What do you want?”
“Can’t a guy talk to a girl without being questioned?” He asked.
“Well, guys rarely make a conversation with blind girls.” I answered shortly.
“Well it’s their loss; everyone has a story, and with them only talking to certain people, means less story for them to hear, less they know about life.”
“So you’re talking to me so you could hear my story?”
“Well that’s a part of it, but mostly because I just want to share what I see. The sun is setting, and the sky is pinkish. Pink is the color of people’s cheeks when they feel too many emotions. Birds are flying, waves are crashing …”
The description felt too much, and I didn’t like it. “Did you think telling me this would make me feel better? What if I wish I were deaf as well when people around me start describing the things that they just saw, all the beautiful things that took their breath away? You can’t just barge in, and act like you know everything!” How dare he? I got up, trying to brush off the sands on my pants.
“The palm trees are tall, and they sway as the wind blows. It’s peaceful. Can’t you feel it?” He didn’t even sound guilty, as if I didn’t just explode. I left the beach without saying anything back.
I honestly couldn’t believe that on my way back I kept thinking over what he described. What was wrong with me?
The next day I was on my way to the market when suddenly, someone gave me a cup of something hot.
“You’re welcome. I don’t know whether you like green tea or not, but I asked Google yesterday and it said that most girls liked green tea lattes. Like its name, green tea latte is green colored, like the leaves of palm trees at the beach yesterday. Green is also the color of your eyes… as green as nature would like it”.
And I did like green tea lattes.
Somehow this time, I didn’t wish I were deaf. I liked his descriptions; it somehow made me feel less blind. My mind suddenly was full with interest. “Tell me more,” I couldn’t believe what I said. Why did I just say that?
“The road that we walk on is grey, that’s how the sky looks like when it’s about to rain. Grey is brighter than the night sky, yet so dark next to white. White is the color of snow, the color of purity and the start of something new,”
And that day was the start of something new. Everyday he’d be right beside me, describing the beauty and the crudeness of this world.
“If miracle was a color, it’d be gold.” He said suddenly, holding my hand.
“Why would it be gold?”
“Because it’s worth that much. Wait never mind, it’s even more than gold; it’s beyond what colors could decipher,”
“Then that means you are beyond colors to me. I may not know how colors look like, but you sure do bring colors into my dark world,”
Then he hugged me and whispered, “I’ve got a good news…the hospital called me yesterday…they found eyes transplant for you”.
I was shocked; I had always wanted to be able to see, but the more time I spent with him, the less I wanted anything, because I already got the best thing in my life.
“Don’t say no, I can read it from your expression that you aren’t excited about it. Please do it; I want you to experience life, fully…accept this miracle.”
So I did.
Sometime after the surgery, the doctor finally opened the bandage on my eyes and I was slowly able to see, but I wasn’t thrilled at all. I didn’t smell any jasmine; that meant he wasn’t here. Why wouldn’t he be here?
After the doctor told me to have a rest and leave, suddenly my phone rang; I picked it up. “Hello?”
“I don’t want you to see me, because I’m neither beautiful nor I’m appealing. You’ll slowly realize that I don’t fulfill the society’s beauty standard and I don’t want to humiliate you. You’re as beautiful as a field of flower during twilight, and I’m better left in the dark.” It was him.
“Don’t assume things for me. Come here and let me make my own judgment!” I shouted to the phone angrily.
Then suddenly the door opened, and the room smelled like jasmine. A man with a big scar across his face, walked in. I went quiet.
“See? You got nothing to say,” he said.
“I may not know how beautiful looks like, but I’m certain of my feelings. The scenery you described, the colors you made me see from your description. I’ve felt beautiful things through you, but never once I experienced how I feel right now being able to see you brown eyes, you pink pouty lips, exactly how you described them to me. You are way more beautiful than all the striking things you defined for me. I do not care about the beauty standards, because I have my own standard, and you are on the highest scale,”
Then he smiled. I just knew that I would never see something more beautiful than that.
Review By siboratukangtulis
'Don't judge book from its cover.' As well in this short story that told us not to always use our eyes to judge people through their looks or riches. Sometimes, you need to 'blind' yourself and use your feeling to assess people around you.
|
Review By siboratukangtulis
Jalan ceritanya gak ketebak, bikin tegang waktu bacanya. Meskipun ini bukan novel yang butuh waktu berjam-jam dalam sekali baca, namun cerpen singkat ini sukses membuat kita serasa membaca cerita dengan alur yang panjang namun tidak membosankan.
Ada sisi komedi, tegang, dan romantis. Wajib banget untuk dibaca. Gak cuma sekali, tapi berulang kali!
.
Pokoknya, buat kalian yang suka sama tipe cerita dengan alur yang complicated, namun tidak terlalu panjang. Cerita ini, cocok banget buat kamu baca!
|
Review By Valentina
Dari awal cerita, saya sudah bisa menebak bahwa ini adalah cerpen yang cenderung melibatkan remaja. Penulis memiliki caranya sendiri untuk menghidupkan tokoh-tokohnya dalam cerita tersebut. Pada awal paragraf saya memang menikmati ceritanya, pemilihan katanya simpel dan menarik. Sangat cocok bagi pembaca yang menyukai genre teenlit. Namun, menurut saya plotnya semakin ke bawah terasa sekali garingnya. Kesegaran cerita yang saya rasakan di awal paragraf perlahan pudar. Adegan si tokoh ini terlalu sering mengalami kebingungan yang diulang-ulang. Akibatnya, di tiap plot tidak terkesan memberi kejutan bagi pembaca. Hambar, begitu yang saya rasakan. Selain itu, saya tidak menemukan pesan yang super bermanfaat bagi kalangan remaja yang cenderung bersifat labil di era ini. Lebih dari semua itu, penulis pandai memilah kata yang tepat atau tidaknya dalam cerita. Walaupun masih ada sedikit kesalahan penulisan.
|
Review By amalita1996
Saya akan mereview sebuah cerita pendek yang berjudul Odd Things.
Cerita pendek ini berkisah tentang persahabatan antara Ramli dan Ara di sekolah. Yaitu, menggambarkan keanehan Ramli terhadap Ara. Aneh itu bukan berarti jelek, tetapi aneh yang dimaksud oleh Ramli seperti hal yang tidak biasa dan membuat Ramli sedikit bingung dan tidak nyaman.
Cerpen yang bergenre remaja dapat membuat para pembaca itu sangat tertarik dibandingkan novel teenlit. Khususnya, anak-anak remaja zaman sekarang. Gaya penulisannya, terdapat paragraf. Bahasanya, selalu menggunakan bahasa yang tidak baku. Seperti, lo dan gue.
Terima kasih sudah mereview cerpen pada hari ini.
|
Review By imagenie_
Pertama pilih cerita ini karena covernya yang lucu dan simpel. Setelah mulai membaca di awal-awal, ada beberapa pengulangan kalimat yang alangkah baiknya untuk tidak digunakan. Aku suka cara penulis menulis kata demi kata, terasa ringan. Di awal, aku mengira Ara menyukai Ramli, tapi, setelah Ara mencari Ramli dan membahas masalah bolt, aku langsung bisa menebak endingnya. Secara keseluruhan ini cerita yang bagus, tapi, untuk aku pribadi belum terlalu masuk di karakternya. Mungkin karena kategori cerpen juga.
|
Review By Petjah_
Secara keseluruhan, saya suka dengan gaya berceritanya. Menggugah rasa penasaran pembaca. Konflik yang diangkat juga sangat sederhana namun menggelitik pembaca, tidak mudah ditebak, sekaligus masuk akal. Diera yang mengutamakan 'kebaperan' agaknya cerita ini mengajak pembaca untuk lebih dewasa menyikapi perlakuan seseorang terhadap dirinya. Bagi saya cerita pendek ini layaknya angin segar, menghiasi konflik remaja yang umumnya 'itu-itu saja'.
|
Hai Guys, diawal tahun ini TinLit bikin event lagi.. Yuk ikutan, ‘TinLit Short Story Review Contest’.. Review lho review.. dan jangan berpikir mereview buku yang super tebel.. melainkan, C.E.R.P.E.N, asyik donk..
Hadiahnya?.. oooo pasti ada, masing-masing pemenang akan mendapatkan 2 novel spesial dari kami dan @naminabooks, plus jika kalian post review kalian juga di IG (tag @tinlit.official) dapat tambahan 1 buku, lumayan kan bisa nambah koleksi novel kalian!
Buruan ikutan, periode ‘TinLit Review Contest ’ 17 Jan. 2019 – 6 Feb. 2019, catat ya... Jangan ketinggalan.. ‘be there or be square!