“Mama, apa semua orang pasti akan berubah jadi kelomang?”
***
AYO pasang kostum dan tarik Mama ke atas panggung. Kaki gurita Mama sudah dijahit rapi, dan ekor duyungku berwarna ungu pastel cantik. Dalam hitungan ketiga, kita bernyanyi sambil bermain peran. Karena pentas akan dimulai.
Satu.
Jadilah anak baik dan menurut kata Mama: laut itu berbahaya. Jangan sekali-kali mendekat, apalagi nyemplung. Karena nanti, kamu bakal tenggelam seperti waktu aku masih berumur 4 tahun dulu. Aku ingat betul. Saat itu, Mama ketakutan sampai wajahnya pucat pasi melebihi potongan daging ikan. Dan gara-gara kejadian itu, Mama punya alasan lain untuk tidak mengajarkanku cara berenang.
Dua.
Percayalah dengan ceritaku: duyung Ariel meninggalkan laut bukan karena mengejar pangeran Eric. Tetapi karena ia ingin berbakti pada Mama yang sedih melihat putrinya jadi anak pembangkang. Aku—Nara yang beneran jelmaan Ariel—harus duduk manis di atas kursi dokter gigi ketika pita suaraku dicabut Mama. Dan agar Mama tidak menangis lagi, aku juga perlu menukarkan laut serta seisinya dengan satu kelomang dari dalam sakunya.
Mama sangat suka kelomang. Katanya, mereka pindah-pindah rumah dan itu artinya pintar. Makanya, semua orang dewasa pasti akan berubah jadi kelomang. Ketika besar, mereka akan membuang rumah gagal pakai dan mencari yang baru. Kemudian, Mama juga menghibur, ia mau saja berbagi satu lemari cangkang kelomang kalau aku merasa kurang. Asal aku serius membuang laut. Namun aku makin bertanya-tanya.
Bagaimana kalau dia sudah terlanjur keluar, dan tidak ada lagi rumah yang cukup muat untuk badan gendutnya itu? Atau bisa saja cangkangnya terlalu besar, dan capitnya terjepit sampai tumpul. Mama hanya menjawab: jangan jadi kelomang yang tak punya otak.
Tiga.
Hitungan selesai, pentas dimulai. Ayo mulai berpura-pura sekarang juga!
Semua orang di rumah itu membosankan. Papa cuma suka buat aturan dan minum kopi. Mama tidak pernah suka pentas seni, apalagi kalau harus masuk ke dalam tangki. Jadi, jangan bangunkan mereka. Jangan sampai Mama sadar dan merobek lagi baju kaki guritanya. Karena yang paling menyenangkan hanyalah Kak Nau.
Dia bilang siripku cocok dengan warna ungu. Dia juga nekat membelikanku ikan tawes serta bola akuarium. Padahal Kak Nau tahu, kalau sampai ketahuan Mama, semua orang akan kena marah.
“Aku gak boleh nyimpen ikan. Mama bilang, gagal itu cuma boleh sekali,” tolakku halus, tetapi kedua bahu kecilku sedikit kepayahan memeluk bola akuarium itu.
“Pasti boleh. Asal jangan ketahuan Mama aja. Kita sembunyikan ikanmu,” jawab Kak Nau memasukkan beberapa pelet ikan, kemudian tersenyum. “Masa duyung gak boleh pergi ke laut?”
Aku menarik napas. Ah iya, benar juga! Rumah duyung itu di air. Seharusnya aku bisa diam-diam punya ikan seperti Kak Nau! Tapi ….
“Tapi, kalau gitu, sama aja kita jadi anak nakal yang berbohong dong?”
Kak Nau cuma diam, lalu jongkok dan berbisik ke telingaku, “bukan. Kita ini cuma sedikit berpura-pura. Kayak main teater biasa aja. Nara pura-pura suka kelomang, kalau sempat, Kakak kasih makan ikannya Nara.”
“Nanti, kalau ketahuan Mama, langsung aduin aja ke Kakak. Biar Kakak yang urus.”
Aku mengangguk nyengir. Sejak dulu, hanya Kak Nau yang paling pengertian di rumah ini. Dan aku terus mengingat kata-kata itu sebagai janji.
Namun, bagaimana cara aku mengadu sekarang? Minggu kemarin, kamarnya jadi kosong, dan semua dunia potensinya dipaksa masuk ke dalam koper.
Sejak itu, Kak Nau berubah. Dia marah pada Mama, tapi ikut mendiamkanku. Kemudian menghilang. Kata orang, pergi ke Bali. Seperginya, ia tak tahu kalau:
Aku hanyalah bocah berumur 10 tahun, ketika dunia potensiku hancur dilempar Mama ke lantai. Lagi. Puingannya berserakan dan ikan tawes di dalamnya menggelepar. Buru-buru aku memungut ikan sekarat itu. Karena panik, dia malah tercekik dan tak sadar jariku berdarah tergores kaca.
“Lihat. Beginilah kalau kamu bersikeras memelihara ikan, Nara,” ucap Mama dengan mata menghukum, tapi kedua tangannya mengobati luka di jariku. “Kalau saja kamu penurut. Sudah berapa kali Mama bilang, perempuan dewasa hanya boleh memelihara rumah dan kelomang.”
Sontak aku menangis. Entah apa alasannya, ikanku yang mati atau tuduhan yang terdengar aneh itu. Aku tidak tahu. Namun, mama tidak akan pernah salah karena dia mama.
“Tapi aku masih kecil, Ma.”
Mata Mama melotot. Seharusnya aku lari ketakutan. Namun di sana, untuk pertama kalinya aku melihat: aku berbaju kesukaan Mama, melipat kertas dan melukis origami.
Saat itulah, aku tiba-tiba teringat kata-kata guru biologi di kelas: semua bayi perempuan lahir bersama tali pusar dan rantai batin. Kalau tali pusar dipotong menggunakan pisau bedah, maka rantai batin ….
“Harus dipatahkan.”
Meski entah pakai apa.
Nara mending ke Bali juga hayu
Comment on chapter Prolog