Mimpi
Naln berdiri di sebelah Lenard yang sedang asyik melambaikan tangan pada Thalen.
Perkataan sang paman masih terngiang di pikirannya, seperti gema yang belum menemukan makna. Ia masih belum sepenuhnya mengerti… tapi hatinya tahu, kata-kata itu penting.
Tirell telah lebih dulu melangkah, tangan kanannya menggenggam lembut tangan Lenard. Naln berbalik, kini menghadap jalan aspal yang sepi, namun kepalanya sedikit menoleh, dan matanya masih tertuju pada sang paman yang tersenyum dari kejauhan. Senyum itu… entah mengapa, terasa seperti janji diam-diam bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Naln sebenarnya masih ingin bertanya. Pertanyaan tentang siapa sebenarnya sang paman masih menggantung tanpa jawaban. Paman hanya berkata, "Nanti juga kamu tahu." Rasanya Naln ingin mengomel, tapi ia tahu, paman telah bersikap baik padanya, tidak seperti penduduk desa... atau bahkan ibunya sendiri, yang memilih menjauh.
Perasaan nyaman itu perlahan tumbuh di dalam hatinya, hangat… seperti saat ia berada di dekat Lenard. Naln merasa… ia masih ingin tetap di sini.
Tapi keinginan itu tak mungkin terjadi. Naln menoleh ke arah ibunya yang sudah berjalan cukup jauh di depan. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru berlari menyusul Ibu dan Lenard. Sesaat sebelum benar-benar pergi, ia sempat menoleh ke belakang.
Sang paman masih berdiri di tempatnya, tersenyum hangat dan melambaikan tangan. Mulutnya bergerak pelan, seolah berkata,
"Ingat perkataanku, Naln." Naln membalas lambaian itu, lalu tersenyum, senyum kecil yang menyimpan rasa terima kasih… dan mungkin, janji diam-diam.
***
Saat itu, jam menunjukkan pukul 17.45. Naln, Lenard, dan ibu mereka baru saja tiba di rumah. Tanpa membuang waktu, Ibu langsung menyuruh Lenard untuk segera membersihkan diri sebelum matahari benar-benar tenggelam. Lenard pun bergerak cepat menuju belakang rumah, menyambar handuk yang masih menggantung di jemuran, lalu buru-buru melangkah ke kamar mandi.
Ibu berjalan menuju dapur, berniat menghangatkan makanan untuk makan malam bersama Lenard. Sementara itu, Naln hanya berdiri sejenak, memperhatikan Lenard yang berlari-lari kecil ke kamar mandi.
Pandangan matanya kemudian beralih ke punggung ibunya, langkahnya tenang saat memasuki dapur, lalu membuka tudung saji yang menutupi sisa makanan dari sarapan tadi pagi. Naln memegang perutnya yang beberapa jam lalu di isi oleh rendang pemberian paman Thalen. ‘Cukup lah makan sekali sehari, lagian rendang pemberian paman cukup memberi energi untuk malam ini’.
Naln memutuskan melanjutkan langkahnya menuju kamar kecilnya yang pengap. Begitu sampai, ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas alas tidur yang tipis dan dingin. Naln sedikit menyesal karena menjatuhkan tubuhnya begitu saja, rasa nyeri pun menyelinap di punggungnya. Tapi ia tak peduli.
Dengan napas pelan, ia melemaskan tubuhnya, membiarkan kelelahan mengambil alih segalanya. Naln merasa matanya terasa semakin berat setiap detiknya.
Tanpa disadari, kelopak mata itu perlahan menutup, dan Naln pun tenggelam dalam dunia mimpi, mungkin satu-satunya tempat di mana semuanya terasa sedikit lebih ringan.
***
Mata Naln terbuka perlahan, lalu tubuhnya dengan cepat bangkit dan duduk. Telinganya menangkap suara samar, namanya dipanggil… berkali-kali.
"Naln... Naln... Naln..." Ia mengucek matanya yang masih berat untuk terbuka sepenuhnya, mencoba menepis rasa kantuk yang membekas. Namun suara itu terus memanggilnya, seperti bisikan yang menembus batas mimpi.
Naln mulai merasa kesal. Awalnya, ia mengira ini ulah Alam, yang sengaja mengeluarkan suaranya untuk mengganggu mimpi indah Naln.
“Alam, ayolah…jangan mengganggu tidur ku.” Naln berharap Alam membalasnya. Namun setelah berkali-kali di panggil, taka da suara yang mirip dengan Alam. Hanya suara samar yang terus memanggil Namanya tanpa henti.
Naln baru menyadari, ada yang berbeda dari kamarnya. Udara di dalam ruangan terasa aneh—terlalu dingin, seolah embusan angin membawa sesuatu yang asing. Semuanya tampak gelap, meskipun tidak benar-benar gelap gulita. Ia menoleh ke arah jendela yang tadi lupa ia tutup sebelum tertidur. Di luar, bulan menggantung tinggi di langit malam. Cahayanya terang… terlalu terang. Bentuknya memang sama seperti biasa, namun aura yang dipancarkannya terasa berbeda, seakan mengawasi, bukan sekadar menyinari.
Naln bangkit dari tempat tidur, lalu membuka pintu kamar dengan hati-hati. Langkahnya pelan saat ia berjalan menuju kamar Lenard. Ada kegelisahan yang mengusik pikirannya, suasana yang tidak biasa membuatnya khawatir sesuatu terjadi.
Saat pintu kamar Lenard terbuka, mata Naln langsung melebar. Rasa cemas menjalar cepat ke seluruh tubuhnya. Lenard tidak ada di atas ranjang. Jantung Naln berdegup lebih kencang.
Tanpa pikir panjang, ia melangkah masuk, memeriksa setiap sudut kamar dengan harapan adiknya hanya sedang bersembunyi… atau sekadar tertidur di lantai. Berkali-kali Naln memeriksa tempat yang sama, tapi tetap saja, Lenard tidak ada.
Panik mulai menguasai pikirannya. Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju kamar ibunya. Tangannya gemetar saat mendorong pintu. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Ranjang di dalamnya masih tertata rapi, seolah belum pernah disentuh sejak siang tadi.
Jantung Naln berdegup lebih kencang. Suasana tiba-tiba terasa semakin mencengkam. Udara mendadak menjadi berat dan pengap, membuatnya kesulitan bernapas. Dan saat itulah… suara itu kembali terdengar. Tidak lagi samar, tidak lagi sekadar bisikan. Kini Naln yakin, suara itu milik seseorang. Ada wujud di balik suara itu.
Naln menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap lebih jelas dari mana suara itu berasal. Telinganya siaga, napasnya tertahan. Tanpa sadar, matanya melirik ke arah jam di dinding. Alisnya terangkat. 00.00.
“Sudah tengah malam saja…” gumam Naln dalam hati. Ia melangkah pelan menuju pintu depan. Tangannya menyentuh kenop, ragu sejenak, lalu membukanya.
Begitu pintu terbuka, langkahnya terhenti. Naln membeku. Pemandangan di hadapannya… tidak masuk akal. Rumahnya kini langsung menghadap ke hutan, hutan yang biasa ia kunjungi untuk mencari kayu bakar. Padahal, hutan itu seharusnya jauh di belakang desa. Bukan di depan rumah. Naln menelan ludah. Lalu ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin tak beraturan.
Meski tubuhnya sempat ragu, kakinya mulai melangkah, satu-satu, mendekati batas hutan yang seolah memanggilnya.
Suara itu… Ada di sana. Instingnya berkata demikian. Entah kenapa, ia yakin sumber suara itu berasal dari dalam hutan itu, gelap, sunyi, namun seakan hidup dan mengawasinya.
Setiap langkah membawa Naln lebih dalam ke ketidakpastian. Ranting-ranting kering yang terinjak mengeluarkan bunyi retak, bersahutan dengan desir angin malam yang membelai pucuk-pucuk daun. Tak ada cahaya lain selain sinar bulan yang menembus celah-celah pepohonan. Namun anehnya, langkah Naln tetap mantap. Ia merasa… harus masuk. Ia harus tahu siapa, atau apa yang memanggilnya.
Langkah Naln terus berlanjut, meski bayangan pohon semakin menelan cahaya bulan. Hutan itu terasa asing, seolah bukan hutan yang biasa ia masuki seperti versi mimpi dari sesuatu yang nyata.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Di hadapannya, sebuah pohon tebal, besar, berdiri menjulang. Kulit pohonnya gelap, kasar, seolah terbakar sebagian. Namun bukan itu yang membuat Naln menahan napas.
Tepat di tengah batang pohon itu, terdapat sebuah lubang berbentuk simbol aneh, dua segitiga yang saling bertolak belakang, satu mengarah ke atas, satu ke bawah, membentuk bentuk mirip jam pasir. Naln merasa bulu kuduknya meremang. Bukan hanya karena simbol itu...
Melainkan karena letak pohon itu yang tak wajar. Ia berdiri tepat di tengah lahan kosong berbentuk lingkaran sempurna, seakan ada sesuatu yang sengaja menjauhkan semua kehidupan dari sekelilingnya.
Tak ada satu pun pohon lain tumbuh di sana. Tanahnya gelap, kering, namun tidak retak—lebih seperti tanah yang berhenti bernapas. Angin di sekitar terasa aneh, tak bergerak. Sunyi. Seolah hutan itu menahan napas, menunggu.
Naln melangkah masuk ke lingkaran itu. Begitu kakinya melewati batas rerumputan dan menginjak tanah lingkaran… dunia seperti berubah.
Udara mendadak lebih dingin. Suara hutan di belakangnya menghilang. Satu-satunya yang terdengar kini adalah… detak jantungnya sendiri.
Dan di depan sana, simbol itu, dengan permata merah melayang di tengah nya yang mulai berdenyut pelan, seirama dengan jantung Naln.
Naln merasa bulu kuduknya meremang. Permata merah di tengah simbol itu mulai menyala. Pelan… lalu semakin terang.
Sinar merahnya merambat perlahan menyusuri guratan dua segitiga itu, membuat simbol tersebut bersinar seperti bara api yang baru dinyalakan. Cahayanya menari di batang pohon, memantulkan kilau samar ke wajah Naln. Dan saat cahaya itu mencapai puncaknya, semua menjadi hening.
Lalu, tanah di bawah pohon itu… bergetar. Naln melangkah mundur satu langkah, namun tatapannya terpaku.
Dari balik batang pohon, bayangan mulai terbentuk. Sebuah sosok tinggi menjulang keluar perlahan dari balik cahaya merah. Ia mengenakan jubah hitam panjang yang melambai lembut, meski udara di sekeliling terasa mati.
Kepalanya tertunduk, menyembunyikan wajahnya di balik helaian rambutnya yang berantakan dan putih sepenuhnya, putih pekat, seputih bulan yang bersinar di atas mereka.
Rambut itu memiliki poni yg sedikit panjang, menutupi wajah yang belum ingin ditunjukkan pada dunia. Namun justru karena itulah, sosoknya terasa semakin asing… semakin menakutkan.
Ia berdiri diam, di depan pohon yang menyala merah. Naln membeku. Sosok itu tak mengeluarkan suara, hanya berdiri di sana, seolah menunggu… sesuatu. Atau seseorang.
Permata merah di pohon kembali berdenyut, namun kali ini, Naln sadar… denyutnya bukan berasal dari dirinya. Itu berasal dari sosok itu.
Naln baru sadar. Suara yang memanggil Namanya samar telah hilang. Tetapi…
Sosok itu… mengangkat kepalanya. Gerakannya perlahan, namun terasa seperti dunia ikut menahan napas. Kini, tinggi kepala mereka sejajar. Naln tak bisa berpaling.
Matanya membelalak. Mulutnya terbuka sedikit. Pupil matanya mengecil. Tubuhnya mulai bergetar, tidak karena dingin… tetapi karena rasa takut yang luar biasa.
Bagaimana tidak? Sosok itu, yang kini menatapnya langsung tersenyum.
Namun senyuman itu bukan senyuman manusia. Itu bukan senyum ramah, bukan pula senyum pahit. Itu… senyuman yang mengandung kejahatan yang tak terampuni. Dingin. Licik.Dendam. Penuh kebencian yang dibungkus ketenangan.
Naln nyaris kehilangan keseimbangan ketika melihat satu hal yang membuat jantungnya seolah berhenti. Retakan hitam yang sama dengan miliknya, namun milik sosok itu… jauh lebih parah. Retakan itu menjalar hampir menutupi seluruh bagian keningnya, menjalar seperti akar mati yang nyaris menyentuh matanya. Sebagian wajah atasnya bahkan sudah tertelan oleh kegelapan retakan itu. Dan matanya…
Biru langit. Bukan biru yang menenangkan, tapi biru yang membuat bulu kuduk berdiri. Indah… namun mengerikan. Di bagian tengah matanya, di dalam pupilnya yang tak biasa, terpahat simbol yang sangat familiar. Dua segitiga, satu mengarah ke atas, satu ke bawah. Seperti simbol jam pasir… atau kompas kutukan.
Naln tak bisa berkata-kata. Ia merasa seolah diri masa depannya sedang berdiri di hadapannya, versi yang telah memilih jalan paling gelap. Dan sosok itu… masih tersenyum.
"Hi, Naln." Suara itu… tenang, Lembut, bahkan terdengar seperti suara orang yang menyapa teman lama. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang membuat darah Naln membeku. Dingin. Tajam. Seolah mengiris jiwa.
Naln tidak bisa bergerak. Kakinya terasa seperti tertanam di tanah. Matanya terkunci. Terkunci pada mata pria itu, mata biru terang yang begitu memikat sekaligus mengerikan. Mata itu… tidak hanya melihat Naln. Menembus pikirannya. Menelusuri ketakutan terdalamnya. Pria itu masih tersenyum, namun kini senyumannya menipis. Lebih… menusuk.
"Akhirnya kita bertemu," lanjutnya pelan, nyaris berbisik.
"Kau pasti bertanya-tanya… siapa aku, kan?" Naln hanya bisa menelan ludah. Dadanya naik-turun tak teratur. Tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Sosok itu melangkah satu langkah ke depan. Tidak cepat, tidak mengancam.
Namun langkahnya cukup untuk membuat Naln mundur satu langkah… tanpa sadar.
"Tenang saja," ucapnya lagi.
"Aku tidak akan menyakitimu… belum sekarang." Sosok itu kini berdiri tepat di hadapan Naln. Begitu dekat, hingga Nafasnya dingin dan lembab terasa di kulit wajah Naln. Naln ingin mundur, ingin lari. Tapi tubuhnya tetap beku. Seolah dunia pun ikut menahan napas.
Tangan pria itu terangkat. Tanpa izin, tanpa ragu, ia menyibakkan rambut Naln yang menutupi bagian atas keningnya. Jari-jarinya dingin. Menyentuh kulit Naln seperti es, membuat jantung Naln berdebar semakin kencang.
Matanya menatap retakan kecil itu. Seketika ia terkekeh, suara tawa yang pendek, rendah, dan menyakitkan untuk didengar. Ada nada ejekan. Nada puas.
"Ini… belum apa-apa." Ucapnya pelan, penuh arti.
"Belum seujung kuku dari potensi yang kau miliki." Tatapan matanya menajam, menusuk retakan Naln. Seolah ia sedang membaca sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa.
"Tapi akan tumbuh, Naln. Retakan itu… akan membuka semuanya. Pertanyaannya hanya satu… di pihak mana kau akan berdiri saat waktunya tiba?" Sosok itu tersenyum kembali, lebih lebar, lebih gila. Cahaya merah dari simbol di pohon di belakangnya mulai berdenyut. Nadi Naln ikut berdetak mengikuti irama yang sama. Simbol di pohon besar itu terus berdenyut merah, menyinari wajah sosok pria di hadapan Naln.
"Kau bisa merasa, bukan?"
"Retakan itu… ia bergerak. Mengembang. Membuka." Naln mengerang pelan. Dahinya terasa panas, seolah terbakar dari dalam. Tubuhnya kini bisa digerakkan, namun rasa berat dan pegal menyebar di sekujur sendinya.
Tiba-tiba…Retakan hitam di keningnya bertambah. Dari satu garis tipis, kini bercabang dua, merayap pelan seperti akar ke bagian atas alis kirinya. Denyutan itu menjadi nyata.
Naln tersentak, tangannya meraba keningnya. Matanya melebar saat melihat beberapa helai rambutnya kini berwarna putih. Kontras dengan warna rambutnya yang sebelumnya hitam legam.
"Apa yang terjadi padaku?!" Pria itu hanya tersenyum, senyum yang terlalu tenang, terlalu terencana.
"Kau mulai terbangun, Naln. Tubuhmu sedang mengingat siapa kau sebenarnya."
"Tapi untuk tahu lebih… kau harus pergi ke tempat asal semuanya dimulai." Ia menunjuk ke kegelapan di balik hutan.Arah yang bahkan binatang pun enggan datangi. Arah di mana pepohonan tampak lebih tinggi, lebih tua, lebih kelam.
"Hutan yang Terlupakan. Di negeri ini, mereka menyebutnya hutan ‘Deringle’. Tapi itu bukan karena tempat itu jahat…Melainkan karena tempat itu…terdapat sosok hitam, dan juga menyimpan kebenaran yang terlalu berat untuk diterima."
"Datanglah, Naln. Jika kau ingin tahu siapa aku. Siapa kau. Dan mengapa dunia ini takut pada pemilik retakan." Sambil berkata demikian, pria itu mundur selangkah demi selangkah, lalu perlahan memudar ke dalam kabut, seakan diserap oleh hutan itu sendiri. Namun suara terakhirnya masih menggantung.
"Tapi jangan terlalu lama…Karena waktu… tidak selalu memihak mereka yang ragu." Naln masih berdiri terpaku. Retakannya berdenyut lembut, rambut putihnya tertiup angin malam. Di kejauhan, hutan yang terlarang menunggu. Dan di baliknya… ada jawaban yang mungkin tidak ingin ia dengar.
\Naln berdiri kaku di tengah lingkaran lahan kosong itu, matanya masih tertuju ke arah tempat pria berjubah itu menghilang. Simbol merah di pohon kini telah meredup, namun hawa panas yang menjalari keningnya belum juga pergi.
Lalu datanglah suara itu. Bukan suara pria itu, bukan pula suara yang dikenalnya. Bisikan.
“Kau penasaran, bukan…?”
“Jangan bohongi dirimu sendiri…”
“Kau ingin tahu siapa kau sebenarnya. Dan siapa dia sebenarnya.”
“Langkahkan kakimu… Naln…” Napas Naln terputus sesaat. Kakinya bergerak. Satu langkah… dua langkah…Tanpa ia sadari, tubuhnya mulai menuruti bisikan itu.
“Tidak… tidak…” gumamnya pelan, matanya melebar. Naln mencoba berhenti, namun tubuhnya seperti tidak mendengarkan. Seolah ada tangan tak terlihat yang menggenggam pergelangan kakinya dan menariknya menuju hutan itu.
“Berhenti… AKU BILANG BERHENTI!” Kedua tangannya langsung menutup telinganya, memaksa bisikan itu hilang. Tapi suara itu justru terdengar semakin keras… seperti berasal dari dalam kepalanya.
“Mereka tak pernah peduli padamu…”
“Ibumu, desamu… semua memalingkan muka…”
“Aku satu-satunya yang memanggil namamu dengan tujuan…” Naln berteriak. Teriakan bisu, penuh ketakutan dan amarah. Ia menggigit bibirnya sendiri, mencoba menyadarkan diri.
“HENTIKAN!!!” Tiba-tiba dunia seperti retak. Bayangan pepohonan, langit merah kelam, dan tanah gelap itu bergetar dan runtuh, seolah semuanya bukan nyata.
Naln terbangun dengan terengah-engah, duduk tegak di atas alas tidurnya yang tipis. Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Napasnya tidak beraturan. Matanya menatap sekeliling kamar yang gelap, hanya diterangi cahaya samar dari celah jendela.
“Mimpi…? Itu cuma mimpi…?” Namun jantungnya berdetak lebih cepat saat ia menyentuh keningnya. Retakan itu… sedikit lebih panjang dari sebelumnya. Dan saat ia melihat ke bawah, beberapa helai rambut putih jatuh di pangkuannya. Naln menggigil.
“Apa yang terjadi padaku…?” Di luar kamar, terdengar suara jangkrik seperti biasa. Tapi bagi Naln, dunia tak akan pernah sama lagi.