Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mysterious Call
MENU
About Us  

Seharusnya aku nggak melakukan hal bodoh seperti mencoba membantu Vivian Sabira.

Cewek yang telah dikenal sepenjuru sekolah, bukan- kupikir lebih luas lagi seantero kota ini. Cewek gaul dengan pipi kemerahan tanpa blush on atau mata bersinar tanpa eyeliner, salah satu yang paling populer di antara idola-idola sekolah, dan juga adalah sahabatku.

Hidupku memburuk saat aku memberinya ide bodoh.

Oke. Itu salahku.

Tapi aku nggak akan membiarkannya lagi.

Dia berhasil lolos dariku saat makan siang tadi. Kami bukan berada di kelas yang sama karena mengambil konsentrasi berbeda. Jadi, sekuat tenaga aku mengejarnya saat jam sekolah usai.

Dan ketika aku berbelok menuju lapangan depan sekolah, disitulah aku melihat sahabat baikku. Ada empat anak cowok berjalan mengitarinya dan Vivian tampak jengkel dengan ulah mereka.

Sekumpulan cowok kurang waras yang menyebut diri mereka fanboy Vivian, aku bahkan nggak tahu jumlah mereka sebenarnya. Karena itulah Vivian memerlukanku.

“Vivian!” panggilku.

Keempat cowok berwajah badut itu langsung gusar melihat kedatanganku. Kali ini akan kuperlakukan mereka lebih lembut.

“Rasanya baru kemarin aku merendam kalian dengan oli, tapi kalian sudah berani mengganggunya lagi?” tanyaku.

Yah. aku melakukannya dua minggu lalu. Menggunakan oli bekas dari bengkel ayah, aku bersyukur ayah nggak mencari oli-oli itu lagi. Pelajaran berharga untuk orang-orang penguntit Vivian.

“Nggak, kita… eeh aku cuma ingin kasih salam aja kok-” kata seorang cowok yang berdiri sendirian setelah sadar ditinggal kabur ketiga temannya. Dengan tampang cengengesan dia mengatakan, “Hai, Vivian.” lalu pergi terbirit-birit seolah bertemu iblis.

Meski aku marah, tapi ternyata rencanaku untuk menghiraukannya selalu gagal. Kami sudah terbiasa bersama sejak TK dan aku nggak ingin meninggalkannya sendirian demi nggak mengulang kesalahan di masa lalu.

Walau begitu, harusnya dia merasa bersalah padaku. “Kurasa keahlianmu adalah membuat orang-orang jadi gila.”

“Ayolah. Mereka semua sinting. Untung kau selalu menyelamatkanku.” Vivian menelusurkan tangannya mencubit pipiku dengan gemas. Oh, lagi-lagi dia menganggapku seperti kelinci-kelinci anggora di rumahnya.

Aku nggak tahu akan segelap apa keadaanku tanpanya. Keberadaan Vivian menyembuhkan sedikit pilu dalam hatiku. Setelah kepergian teman dekat kami yang nyaris membuatku gila. Vivian membantuku menemukan tekad hidup.

Tapi aku mulai memukul kepalanya, “Jangan seenaknya memberi nomorku kepada orang-orang nggak jelas yang mengira ini adalah nomormu.”

Dulu, dia pernah satu kali nggak sengaja memberikan nomorku kepada orang asing yang mengganggunya. Dia memperingatkanku kalau mungkin orang itu akan menghubungi nomorku, tetapi aku menyuruh Vivian agar jangan khawatir. Aku bisa membereskan pengganggu-penggangu ini untuknya. Tapi sekarang dia memanfaatkanku.

Wajah Vivian jadi bersemangat, “Berapa kali?”

“Dua hari penuh. Orang-orang ini menghubungiku mungkin ratusan kali bahkan sampai di kelas pagi ini. Tapi saat kuangkat, nggak ada satu pun jawaban.”

“Kalau begitu, blokir saja.” gumam Vivian.

“Kau nggak paham, ya, nomor yang masuk banyak banget.” bentakku.

Vivian meminta ponselku dan menggeser layarnya. Saat berhenti, wajahnya berubah jadi ragu. Dia menggelengkan kepala. “Tadinya kupikir mungkin Kristof.”

“Kristof, siapa?” aku menuntut penjelasan.

“Dia dari kota sebelah, kami bertemu di starbucks tiga hari yang lalu.”

Aku nggak percaya, nomor pribadiku mungkin sudah berterbangan seperti nomor telepon layanan umum.

Vivian mengangkat bahu. “Aku nggak tahu ini nomor-nomor siapa.”

Sekarang dia terdengar seolah ini bukan tanggung jawabnya.

“Vivian!” kataku, “Berhentilah bermain-main seperti ini. Kau bahkan nggak tahu identitas mereka. Sadarlah, orang-orang jahat itu sungguhan ada.”

Aku nggak tahu apakah aku terlalu bermurah hati kepadanya, karena seolah-olah aku nggak pernah keberatan terjerumus di setiap persoalannya. Kupikir, aku terlalu takut kehilang seseorang.

Vivian akhirnya mengakui dengan rasa bersalah. “Aku minta maaf, Lexi.”

Ketika dengan sadar Vivian menyebut nama panggilan itu. Kemarahan tiba-tiba menyulut dalam diriku. “Harus berapa kali aku mengingatkanmu. Panggil aku Alexa!”

Entah mengapa ini jadi persoalan, tetapi dadaku selalu terasa ditikam dari belakang setiap kali mendengar panggilan Lexi, lagi- .

“Sudah kuduga, kau masih saja berlebihan begini karena kejadian itu.” Vivian memberitahuku. “Hey, orang itu sudah tiada, tapi Lexi kau masih punya kehidupan yang harus kau jalani.”

Aku mungkin nggak lagi memiliki rencana hidup, tapi aku berusaha nggak takut menghadapi apa pun. Aku pernah melihat kengerian terbesar yang belum pernah dia alami, ucapan Vivian salah.

“Kau bahkan menyebutnya seperti orang asing, dia itu juga sahabatmu.” kataku.

“Maaf, aku akan hati-hati.” dia terdengar lebih seperti mencibir ketimbang meminta maaf. “Jadi, kenapa kau benci panggilan yang diberikan sahabatmu?”

Vivian membuatku benar-benar nggak berdaya. “Mungkin kau nggak akan pernah menjawab pertanyaanku secara langsung. Tapi matamu memberitahuku, bukan kemarahan yang menguasaimu tetapi ketakutan.”

Tubuhku mulai menegang. Dia bisa tahu yang kurasakan tanpa harus aku mengatakannya. “Vivian,” geramku, “Pokoknya lakukan saja apa yang kukatakan. Jangan sebut nama-nama itu lagi!”

Dia menggeleng, nggak menghiraukan peringatanku. “Itu bukan kesalahanmu, bukan kau yang membuatnya mati.”

Sekuat apa pun aku mencoba merangkak keluar dari kenangan itu, bayangannya tetap selalu jelas. Harusnya aku turut bertanggung jawab. Teman dekat kami menggelepar melawan panasnya api, sekalipun dia telah berguling di tanah tapi kobaran itu nggak mengecil sedikit pun. Aku bahkan melihat tubuhnya mengering terbakar menjadi arang.

Malam musim panas itu dia mengajakku kesana. Di dekat gang sempit yang udaranya beraroma busuk bahan kimia. Sahabat baikku dan Vivian, dia itu bodoh tapi rasa penasarannya jauh lebih tinggi.

Dia bilang ada sekumpulan orang mencurigakan yang telah dia buntuti selama beberapa hari. Sampai dia dapat informasi kalau mereka akan melakukan pertemuan malam itu. Dia nggak memberitahu Vivian karena dia pikir anak itu pasti akan mengacaukan rencananya. Jadi, tanpa membuat ayah dan ibu terbangun dia membawaku mencari tahu siapa orang-orang ini.

Menurutku mereka memanfaatkan wilayah suburban karena warga di sini jarang mengenal satu sama lain”, ucapnya waktu itu.

Kami berhasil mengikuti mereka hingga sangat dekat. Sampai aku bisa mendengar mereka membicarakan penyelundupan melewati batas negara dan soal pembayaran. Kami menemukan kasus besar, dan kasus besar selalu berbahaya.

Sudah kubilang, sahabatku ini hanya sok seperti Sherlock Homes. Dia yang mengatur rencana tapi dia sendiri yang menggagalkannya.

Dia nggak sengaja menjatuhkan tong kosong saat kami bersembunyi, membuat kami ketahuan. Penjahat-penjahat itu membawa pistol dan dia bilang nggak ada kesempatan untuk kami berdua. Hanya ada satu kesempatan untuk satu orang.

Aku merayap ke sisi gelap di antara tong-tong. Tapi dia menyuruhku pergi dan jangan pernah kembali ke sana sebelum akhirnya dia muncul untuk menyerahkan diri.

Aku berhasil keluar, walau begitu pikiranku kacau. Kenapa aku meninggalkan cowok idiot itu sendirian. Aku berbalik, mencoba berlari sekencang yang kubisa. Aku menatap dari sebrang jalan yang jauh, terlihat cahaya berpendar di antara bangunan-bangunan gelap.

Seandainya waktu itu aku nggak meninggalkannya.

Seseorang meronta dalam kobaran api muncul tepat dari gang kami tadi. Dia menjatuhkan diri mencoba memadamkan api, namun hanya sepersekian detik sampai dia berhenti. Nggak pernah terbayangkan aku melihat tubuh manusia dibakar hidup-hidup, apalagi dia teman dekatku sendiri.

“Kita semua merindukannya.” kata Vivian lembut, “Nggak ada yang menyalahkanmu, bahkan orangtuanya tahu dia tetap akan pergi ke sana walau itu tanpamu.”

Vivian menautkan lengannya memelukku.

Sampai tiba-tiba seseorang bergabung memeluk kami dari belakang.

“Ikutan dong,” ujarnya manja, “ngomong-ngomong ngapain kalian pelukan di tengah-tengah lapangan begini?”

Vivian langsung mendorong orang itu menjauh dan melepaskan pelukannya. “Julian, aku tahu kau menyukaiku, tapi jangan pernah mengambil kesempatan pakai cara rendah seperti ini.”

Dia adalah Julian, murid pindahan yang datang ke sekolah kami setahun lalu. Aku nggak tahu kenapa dia memilih sekolah peringkat dua ini karena secara teknis dia terlalu pintar dan cukup menawan untuk bisa diterima di geng anak sekolah unggulan. Jadi, kenapa tidak sekalian masuk ke SMA nomor satu yang tempatnya hanya berbatasan jalan raya dari depan sekolah ini?

“Dia ngomong apa, sih?” ucap Julian kepadaku.

Aku menggelengkan kepala. “Kalau gitu jangan memberinya isyarat kalau memang nggak suka.”

Julian menoyor kepalaku sampai badanku nyaris terpelanting. “Apa yang kau pikirkan? Kurasa Vivian berhasil mempengaruhi otakmu.”

Vivian merengut ke arah Julian. “Dasar manusia nggak punya hati!”

“Memang nggak punya. WEK!” balas Julian meledek dan langsung berlalu melewati kami.

“Awas kau, Julian!” Vivian menjerit.

Dari penglihatanku ada yang aneh dengan tatapan Vivian. Dia memandang Julian dengan penuh rasa benci tanpa berusaha mengalihkan perhatiannya, padahal biasanya dia ‘masa bodoh’ dengan siapa pun.

“Tunggu, Vivian kau nggak serius suka sama Julian, kan?” tanyaku.

“Nggaaak!” dia menyembur tepat ke wajahku.

“Oke. Oke.” kataku kesal, “Itu kan cuma pertanyaan bukan pelecehan.” gumamku.

“Bilang apa? Barusan itu seperti melecehkanku.” Vivian memperingati.

Aku diam, melindungi nyawaku dari amukannya. Vivian nggak pernah memainkan emosi sebanyak itu bahkan saat Tobias masih ada. Yah, Tobias, teman dekat kami yang meninggal itu.

Tobias satu sekolah dengan kami sejak SD dan rumahnya hanya berjarak satu blok dari rumahku juga Vivian. Kurasa itu yang membuat kami bertiga jadi akrab. Atau karena Vivian mudah bergaul dengan siapa pun jadi aku ikut mengenal Tobias. Aku hanya anak pendiam yang kebetulan dipungut Vivian.

Vivian pernah mengaku kalau Tobias adalah cinta pertamanya, tapi aku nggak lagi percaya setelah sekarang setiap orang yang dia temui di akuinya sebagai cinta pertamanya juga.

Kemudian Julian berseru dari jendela mobil sedannya. “Hei, kalian! Ayo ikut, akan kutraktrik milkshake.”

Aku baru mau melambaikan tangan untuk menolak, tapi Vivian lebih dulu menarik tanganku menuju mobil Julian. “Kupikir kau marah padanya.” kataku.

“Aku memang marah. Tapi dia mau mentraktir milkshake jadi kuanggap ini bentuk permintaan maafnya.” jawabnya.

Aku tercengang melihat perubahan suasana hati Vivian. Bahkan dia tampak nggak peduli dengan kejadian tadi. Sampai-sampai aku nggak sadar kalau dia sudah melemparku ke kursi penumpang belakang, sedangkan dia duduk di depan, di sebelah Julian.

Sementara kami berkendara menuju kedai milkshake legendaris di kota, ponselku mulai berdering lagi dengan belasan nomor panggilan yang nggak aku kenal. Julian sempat beberapa kali melirik ke arahku melalui spion tengah. Dari ekspresinya kutebak dia terganggu.

Vivian berjengit dari tempat duduknya. “Nomor-nomor itu masih menghubungimu?”

“Ini semua salahmu.” kataku. “Orang-orang yang kau kerjai mungkin balas dendam ke nomorku.”

“Bukankah ini agak aneh? Aku juga menghubungi nomormu tiga kali kemarin, tapi semua orang yang mengangkat selalu terdengar salah sambung.” gerutu Vivian.

Lagi-lagi aku mendapati Julian melirik dari spion tengah dengan wajah dingin. Dia berhasil membuatku merasa tertampar karena terlalu berisik. Kuputuskan untuk mematikan ponselku setelah mengirim pesan pada ayah jika aku akan pulang terlambat.

Setelah sampai, kami duduk di sofa kecil panjang yang saling berhadapan dekat jendela. Julian pergi memesan milkshake ditambah satu cheese burger untuk Vivian supaya dia berhenti ngambek.

Aku menoleh ke arah Vivian, ini tempat favorit Tobias sejak kelas lima.

Sudah dua tahun aku nggak pernah datang ke sini setelah kepergiannya. Tempat ini nggak jauh berubah. Mereka masih menyediakan kaset musik model lawas yang di letakan di ujung ruang agar pengunjung bisa memutar lagunya sendiri. Dekoratif catnya masih memakai ala downtown.

“Alexa, jangan marah yaa, Julian pasti nggak tahu kalau kau menghindari tempat ini karena emm…” Vivian berbisik, “pokoknya dia cuma berniat baik.”

Aku mengangguk mengisyaratkan jangan khawatir. Vivian tersenyum menepuk bahuku.

Walau begitu, aku nggak bisa mengelak dari serangan nostalgia. Masa kecil Tobias nggak pernah lepas dari membicarakan teka-teki. Di tempat ini, dia sering mengajariku menggunakan bahasa-bahasa sandi yang dia ciptakan sendiri. Tobias pernah bilang kalau kami memiliki visi yang sama tentang apa yang ada dalam kepala dan hati kami. Tapi, tetap saja kode-kode itu sulit dihafal karena aneh.

Dia bahkan memaksaku untuk mencatat setiap penjelasannya dalam sebuah buku saku yang kini hilang entah di mana. Seharusnya aku menjaga peninggalan Tobias itu baik-baik. Hanya beberapa yang cukup kuingat, pita hitam artinya pengkhianatan dan sesuatu tentang si pembawa pesan.

Julian akhirnya datang membawa tiga gelas milkshake cokelat ukuran jumbo dan sebuah cheese burger ekstra acar. Julian dan Vivian duduk bersebelahan mulai mengobrol. Aku nggak tahu harus bagaimana ikut ke dalam obrolan. Jadi aku membuat diriku sibuk dengan milkshake sambil memandangi jalanan melalui kaca jendela.

Ada yang menarik perhatianku sejak tadi. Seorang anak laki-laki membawa buket bunga yang berdiri di sebelah tiang lampu, dia tampaknya sedang menatap ke arahku. Umurnya mungkin sekitar delapan tahun. Aku nggak mengenalnya tapi tatapannya seolah memberi sinyal bahwa kami punya urusan.

Lalu aku mendengar Vivian tertawa sambil berkata. “Kau ternyata mirip Tobias.”

Julian menyedot milkshake dari sedotannya dengan ekspresi bangga. Apa yang membuatnya begitu tersanjung setelah dibandingkan dengan Tobias? Jelas mereka berbeda.

Aku nggak tahu apa yang membuatnya terobsesi pada Tobias. Julian sering bertanya-tanya seputar Tobias. Bahkan yang sangat sensitif hingga membuatku marah besar. Dia bertanya tentang kematian Tobias, apakah aku ada bersamanya sejak awal atau kah aku memang hanya kebetulan melihat kejadian itu.

Tanpa kusadari Julian memergokiku melempar senyum sinis. “Menurutmu apa yang bisa dilakukan Tobias padamu tapi nggak bisa aku lakukan, Alexandra?” dia menyebut nama depanku dengan lengkap.

Aku memberinya tatapan hati-hati. “Kami bisa saling membaca pikiran. Bisakah kita melakukannya juga?”

Julian mendengus. “Huh- itu saja.”

Aku mendapati ekspresi kesal, tapi Vivian segera muncul menengahi kami. “Kusarankan kita membicarakan soal yang lain, oke?”

Tapi aku keburu terlonjak, lututku membentur meja secara menyakitkan. Seorang anak kecil tiba-tiba muncul menarik-narik bajuku, membuatku mengira dia sejenis setan. Dia anak laki-laki dari jalan tadi.

Aku celingukan berusaha mencari di mana orang tuanya, tapi nggak ada orang yang memenuhi kualifikasi bisa disebut sebagai orang tua di sini. “Kau kesini sendirian?” tanyaku.

Si anak kecil hanya mengangguk dan dia meringis ke arahku. “Kakak, bunga ini untukmu.”

Aku langsung mengambil buket bunga-bunga liar yang terlihat klasik di tangannya. Mereka merangkainya menjadi satu menggunakan pita hitam. Dia bilang ini untukku, dari siapa?

Pada mulanya aku nggak mengerti dan hanya menatap udara kosong. Kurasa ada yang familiar dengan situasi ini. Tapi aku segera mengguncang kepalaku, pasti hanya perasaan terkenang.

Saat aku berbalik untuk bertanya sekaligus mengucapkan terimakasih, anak kecil tadi sudah setengah jalan meninggalkanku. Dia hanya melambai sambil berteriak, “Dari si pembawa pesan.” 

Aku berdecak, “Apakah semua anak kecil di zaman ini memang kurang sopan santunnya?”

Vivian tanpa memberi waktu langsung berkomentar. “So sweet bangettt. Bunga dari siapa?”

Aku hanya mengedikan bahu, nggak ada catatan apa pun di sini. Sejujurnya aku sedang merasakan keanehan yang nggak aku tahu secara pasti. Hanya saja membahas tentang yang kurasakan nggak akan membuat mereka senang. Jadi kuabaikan saja.

Vivian mengamatiku lalu tertawa menggoda. “Mungkinkah Alexandra Nora, gadis misterius berhati dingin punya pengagum rahasia? Tapi seharusnya orang itu tahu kau nggak tertarik sama bunga-bunga. Itu kan buat cewek.”

Julian menutup mulutnya seolah-olah tercekat. “Jadi Alexa aslinya cowok?”

Aku menjitak Julian dengan keras dan seketika menghentikan gelak tawanya. Benakku mencoba menelaah lebih jauh. Menilai dari apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir, apa ada kaitannya dengan ratusan panggilan nomor misterius itu?

Cuma butuh sepuluh menit sampai milkshake kami habis. Kurasa aku telah mendapat kenikmatan sesaat dari coklat susu krimi melegenda kedai ini. Sekarang aku hanya ingin pulang. Aku menoleh ke arah Vivian dan Julian, tapi nggak satu pun dari mereka ingin beranjak.

Vivian tiba-tiba merona menatap ke arah belakangku.

“Hallo, Kristof.” kata Vivian.

Julian menyingkirkan gelas dan piring kotor kami ke sudut meja. Dia mempersilahkan Kristof untuk duduk di sebelahku. Lalu aku kecewa karena kami nggak akan pulang dalam waktu dekat.

“Kenapa kau ada di sini?” Vivian melanjutkan, “Maaf, waktu itu yang kuberikan padamu bukan nomorku.”

Inikah Kristof yang diceritakan Vivian? Dia memakai kaos putih yang dirangkap kemeja bermotif petir dan celana kolor serta sandal jepit buntut. Cowok dengan rambut semrawut yang punya jenggot tipis. Mungkin usianya beberapa tahun lebih tua dari kami.

Terbesit dalam benakku, pasti dia cowok bebas yang suka nongkrong nggak jelas.

Kristof tertawa. “Oh, aku kebetulan lewat sini. Dan pantas saja nomor itu nggak pernah tersambung.”

Lalu Kristof secara nggak sadar melirik ke arahku.

“Oh iya, kenalin ini Julian dan ini Alexa.” kata Vivian sambil menunjuk.

Aku menjabat tangannya. “Jadi, kau Kristof yang ketemu Vivian di starbucks tiga hari lalu?”

Vivian dengan cepat menyodok kakiku.

“ADUH! Kenapa sih?” tukasku sambil mengelus kaki.

Kristof menyadari apa yang terjadi dan dia kembali tertawa. “Ya, aku sering ke sini untuk kontrol ke rumah sakit.”

Aku jadi merasa nggak enak, tapi aku masih penasaran. “Kau sakit apa?”

“Paru-paru dan ginjalku sedikit bermasalah.” jelasnya jujur.

Aku mengerutkan kening untuk bersimpati. Seharusnya aku tahu cowok sepertinya bisa jadi perokok akut. Jadi kuputuskan untuk nggak bertanya apa-apa lagi.

“Kau mau pesan apa, Kristof? Hari ini aku yang traktir.” kata Julian lebih terdengar ingin pamer.

Mereka menuju kasir untuk memilih menu.

Vivian meninggalkanku tenggelam memainkan ponselnya. Ponsel memang bisa membawa orang jadi terasingkan. Namun hanya dalam hitungan detik Vivian dan aku justru saling bertemu pandang.

“Kenapa tiba-tiba menatapku begitu?” tanyaku.

“Kau baru saja membalas pesanku semalam.” jawaban Vivian membuatku begidik.

Vivian memperlihatkan ponselnya padaku agar aku bisa membacanya sendiri.

Selasa pukul 21.30, Vivian mengirimi aku pesan “Aku meneleponmu tiga kali berturut-turut tapi selalu orang lain yang menjawab. Nomormu kenapa sih kau mau ngerjain aku ya?”

Rabu pukul 13.38 aku baru menjawab pesannya dengan tulisan aneh. “Vivian.ini akuu. AKu ng_gak ap.a-ap4, ak_u aadaa di.rumah.”

Aku melirik gugup ke arah ponselku yang dari tadi mati kuletakkan di atas ransel. Aku nggak menerima pesan dari siapa pun sejak beberapa hari terakhir, artinya bukan aku juga yang membalas pesan Vivian.

Aku mencurigai hal yang nggak masuk akal yang nggak akan Vivian sukai.

“Apakah Tobias ingin memberitahuku sesuatu?” celetukku.

Benar saja Vivian langsung jengkel. “Alexa, kumohon dia sudah pergi.”

“Dengarkan aku sekali ini saja.” aku memohon.

Dengan berat hati Vivian mempersilahkanku. “Oke, katakan.”

“Ini sesuatu yang sering dilakukannya, sesuatu yang sangat Tobias. Dulu aku pernah bercerita padamu tentang sandi yang diciptakannya dan dia memaksaku untuk menghafalnya. Aku melihat itu di sini.” jelasku.

Vivian menggeleng muram.

Aku mengambil nafas dalam-dalam. “Anak kecil aneh tadi yang sekarang bahkan entah di mana, dia memberiku buket bunga liar yang disatukan pakai pita warna hitam. Aku ingat pita hitam berarti pengkhianatan dan bunga liar kalau nggak salah artinya pertemanan. Bukankah kalau seseorang memberikan hadiah bunga liar kurang pantas karena yah- itu gratisan. Tobias juga pernah bilang kode-kode itu berasal darinya jika ada tanda dari si pembawa pesan dan anak kecil tadi bilang dari si pembawa pesan gitu kan?”

Vivian mengernyit bingung. Sejak dulu dia jarang terlibat dalam teka-teki yang dibuat Tobias. Jadi aku nggak akan memaksanya untuk menelusuri misteri ini, meskipun akan membuatnya banyak bertanya.

“Maksudmu Tobias mengatakan, Vivian dan Julian adalah pengkhianat pertemanan? Karena kita kan cuma bertiga.” Vivian mencoba menerka.

Aku baru menyadarinya, tapi Vivian nggak mungkin mengkhianatiku, jadi aku mengkoreksi. “Bukan, tapi seseorang menjadi pengkhianat pertemanan.”

Vivian mendesah. “Menurutmu dulu Tobias sudah kenal Julian? Maksudmu dia telah mempersiapkan ini sejak dulu atau hantunya yang melakukan ini?”

“Aku nggak tahu.” suaraku tercekat dalam putus asa. “Kurasa sebaiknya aku pulang.”

Vivian meraih tanganku dan menggegamnya. “Yah, tempat ini nggak sehat buatmu. Pulang dan beristirahatlah. Akan kusimpan bunga ini untukmu agar kau nggak kepikiran aneh-aneh.”

Aku berputar memastikan bahwa Kristof dan Julian belum kembali. Haruskah aku juga memberitahu Vivian, akankah dia lebih percaya padaku atau orang lain.

“Vivian, hati-hatilah dengan Kristof. Jangan mau di antar pulang olehnya, bilang saja kau harus berbelanja ke mall yang nggak jauh dari sini. Kalau kau merasa dibuntuti seseorang, langsung masuk ke dalam mall dan habiskan waktu di tempat yang paling ramai, di sana banyak cctv.” kataku berbisik. “Kumohon, jangan membantahku. Bisakah kau mempercayaiku seperti aku percaya padamu?”

Mata Vivian merenung beberapa saat, tapi dia mengangguk. “Kau bisa mengandalkanku.”

Aku nggak ingin berlama-lama ada di sini. Aku berdiri tepat saat kedatangan Kristof dan Julian.

“Mau kemana?” tanya Julian.

“Kenapa buru-buru, aku baru saja selesai pesan.” Kristof melanjutkan.

“Kurasa aku agak nggak enak badan. Maaf, aku harus pulang duluan.” jawabku lesu.

“Kalau begitu Kristof dan Vivian, kalian nggak masalah berdua saja?” cetus Julian.

Tunggu, dia nggak menawarkan diri mengantarku kan?

Julian berjalan mendahuluiku nggak sabaran. “Ayo cepat Alexa, wajahmu memang pucat dari tadi. Jangan keburu mati di sini yaa.”

Aku ingin memelintir mulut kasar cowok satu ini. Dia mengataiku jangan mati di sini. Andai aku nggak sedang dilematis, mungkin aku sudah mendaratkan salah satu kursi kedai ke wajahnya.

Akhirnya aku menumpang Julian. Setelah memasang sabuk pengaman kami segera melaju meninggalkan kedai milkshake. Julian menancap gas sangat kencang hingga melewatkan perempatan menuju rumahku.

“Kau mau ke mana, rumahku nggak lewat sini.” protesku.

“Aku ingin memastikan sesuatu.” Julian terdengar seperti berkata pada diri sendiri ketimbang kepadaku.

“Tentang apa?” tuntutku.

“Bukan di sini tempatnya.” sekarang dia terdengar gugup.

Julian akhirnya berbelok dari jalan utama. Kami melintasi jalanan menanjak yang dikelilingi rimbun pepohonan. Pemandangan berubah jadi wilayah hutan kecil. Kuperhatikan nggak ada tanda-tanda pemukiman warga di sekitar sini. Sunyi dan tenang.

Aku nggak tahu dia membawaku kemana.

Lama kami terdiam tanpa percakapan. Julian terus mengemudi dengan ekspresi dingin. Kemudian aku menemukan sesuatu di atas karpet kemudi, rontok dari mahkota bunga jenis sama dengan bunga yang diberikan anak kecil tadi.

Mungkinkah Tobias masih hidup dan dia tadi ada di sini? Hanya Tobias yang menggunakan kode-kode itu.

Julian berhenti mendadak dan memarkir mobilnya di suatu tanah lapang di depan pintu gerbang besi yang menjulang. Jantungku berdebar dua ratus kali saat tahu dimana kami. Tempat yang nggak pernah mau aku ingat. Cukup sekali saja bagiku datang ke sini.

Tempat pemakaman Tobias.

“Dari mana kau tahu tempat ini?” kulontarkan pertanyaan itu ketimbang bertanya kenapa dia membawaku ke sini.

“Aku memang tahu segalanya, hampir.” Julian tersenyum menyembunyikan rasa gelisahnya. “Ayo, berbagi rahasia. Kuberitahu hal besar yang nggak kau ketahui tapi kau harus beritahu aku apa yang nggak aku tahu.”

Aku menyipitkan mata ke arahnya. “Maksudmu Tobias masih hidup?”

Dia nggak menjawab dengan terburu-buru, seolah ingin memainkan suasana hatiku. Lalu dia berkata. “Harapanmu terlalu tinggi. Nggak bisakah kau menerima takdir?”

Aku langsung keluar dari mobil. Hatiku terasa sakit, tapi aku ingin memastikan. Bagaimana pun hanya Tobias yang tahu cara menggunakan bahasa kode itu. Aku melewati gerbang pemakaman lalu berkeliling sambil berteriak memangil Tobias.

Tapi aku nggak mendapat jawaban. Aku hancur. Tobias nggak ada di sini bahkan nggak ada siapa pun kecuali aku. Aku berhenti tepat di depan nisannya. Dia benar-benar sudah sibuk dengan perkara lain di dunia sana.

Julian menghampiriku. “Aku yang membuat kode-kode itu.”

Nafasku berkejaran akibat marah. “Bagaimana kau tahu soal itu?”

Julian mengeluarkan buku catatan kecil dari kantong celananya dan menyerahkannya padaku. “Aku mengambilnya.”

Kuberikan tatapan waspada. “Aku menyimpannya di laci meja di kamarku. Bagaimana caramu mencurinya?”

Julian hanya mengedikan bahu dan tanpa permintaan maaf dia berkata. “Sudah kupelajari isinya.”

Aku mencoba tetap tenang dan mengambil ponselku. “Akan kutelepon ayah agar menjemputku.”

“Kau nggak mau melakukan itu kalau tahu orang-orang jahat sedang berusaha mensabotase nomormu. Ratusan panggilan misterius itu, aku membantumu mengacaukan jaringan mereka agar nggak terhubung masuk ke ponselmu. Aku merekam setiap aktivitas mereka untukmu, tapi sekarang aku nggak membawa alatnya. Kalau ponselmu hidup mereka bisa bebas meretasmu.” katanya.

Julian mendekat ke arahku. “Sudah kukatakan satu rahasiaku. Sekarang giliranmu. Biar kupermudah, dua tahun lalu kau dan Tobias pergi ke gang gelap itu bersama atau secara nggak sengaja kau cuma lewat di sana?”

“Ya, aku di sana bersamanya, sejak awal. Aku tahu rahasia penjahat-penjahat itu.” jawabku yang bahkan nggak berani kuakui di depan polisi.

Julian memejamkan mata, seolah merasa kalang kabut.

“Giliranku.” kataku buru-buru. “Siapa kau sebenarnya, Julian? Kenapa kau begitu tertarik pada Tobias?”

Dia tersenyum miring. “Aku dibesarkan oleh kelompok ini. Lebih dari setahun lalu mereka memberiku misi untuk membereskan kasusmu. Tapi sepertinya mereka sudah nggak sabaran dan bertindak sendiri untuk menghilangkan keberadaanmu. Pertama mereka meretas nomor teleponmu, mengkacaukan identitasmu, kemudian melenyapkan nyawamu. Rencana awalku, aku membawamu ke sini untuk membunuhmu secara bersih. Mayatmu akan kuletakan di atas makam Tobias dan semua akan terlihat seperti kau bunuh diri karena patah hati.”

Julian sudah hilang akal sehat. Aku terperangah mendengar penjelasannya. Rupanya dia biang keladi seluruh panggilan misterius itu. Bisa kudengar secara jelas, aku harus dilenyapkan.

Julian menangkap ekspresiku dan mendekat sampai hanya berjarak beberapa senti dariku. Kami saling bertatapan. Mata kelabunya menatap dalam, berkilat bagai kilau logam. Dia memikirkan sesuatu yang nggak kutahu. “Tobias selalu jadi orang spesial, tetapi aku justru tertarik pada rekannya.” ujarnya.

Jantungku berhenti berdetak sesaat ketika Julian hendak meraih wajahku. Dia membelai pipiku. Aku nggak bisa kabur.

Mungkin Alexandra akan mati tepat dihadapan kuburan teman dekatnya. Seperti aku yang nggak bisa berbuat apa-apa saat menyaksikan kematian Tobias dahulu.

Lalu sekelibat bayangan mengayungkan pentung bisbol sekuat-kuatnya ke pundak Julian. Tubuhku sempat membeku karena kaget. Ketika orang itu menarikku, aku baru sadar dan berlari meninggalkan Julian yang jatuh terkapar.

Tetap waspada! hatiku memperingati.

Dalam sekejap aku tersadar orang ini adalah Kristof. Aku melepas cengkramannya yang erat dari tanganku. Dia lebih seperti menyeret untuk memaksaku ikut daripada menyelamatkanku.

“Kenapa berhenti? Julian bisa membunuh kita berdua.” pekik Kristof.

Dia kedengaran menyakinkan. Sayangnya seluruh momentum ini membuatku dalam keadaan panik. Aku memastikan. “Kau bersama Vivian?”

Kristof terlihat kesal. “Dia menunggu di mobil. Dia bilang kau dalam bahaya, jadi kami membuntuti kalian.”

Asumsiku berseliweran kesana-kemari. Selama beberapa saat kupikir Vivian nggak menepati janjinya untuk menjauhi Kristof. Tapi aku lambat mempelajari situasi. Bukankah Kristof punya sakit paru-paru dan ginjal, mungkin bukan rokok penyebabnya. Mungkinkah organ-organ dalamnya rusak karena sering terpapar bahan kimia.

Kristof tukang tipu sama seperti Julian.

Tanpa pikir panjang aku langsung melakukan tinju ke rahang bawahnya dan mencoba merebut pemukul dari tangannya. Dia memekik kesakitan, tapi sialnya aku gagal mencuri pentung itu.

Kristof membidikku. “Mati kau!”

Dia membabi buta menghantamkan pentungnya ke segala arah. Aku harus berputar-putar mengandalkan insting untuk menghindar. Masalahnya keberuntunganku nggak sebanyak itu, pukulannya beberapa kali mengenai tipis bagian tubuhku. Sampai akhirnya Kristof berhasil merenggutku dan menghantamkan pentungnya ke kepalaku.

Aku mendarat di tanah tepat di sisi kakinya.

“Matilah menyusul temanmu!” Kristof murka.

Kemudian seseorang menerjang dari samping. Dia menghajar Kristof tanpa ampun dengan tangan kosong. Namun Kristof membalasnya menggunakan pemukul bisbol yang mampu mematahkan setiap tulang orang itu. Aku melihat darah bercucuran dari wajah mereka.

Dua orang yang ingin membunuhku malah saling baku hantam.

“Alexa, lari!” teriak Julian.

Julian memiting Kristof dan menahan pukulannya demi memberiku waktu.

“Aku nggak akan membiarkan kalian lolos!” Kristof menggeram, “Aku juga akan membunuhmu, dasar pengkhianat!”

Kepalaku berdenyut hebat, nafasku tersengal-sengal. Hantaman tadi bisa saja membuatku gagar otak. Tapi kali ini aku nggak akan lari. Selain itu, aku jadi sangat muak melihat Kristof yang sok jagoan ingin membunuh semua orang.

Aku menerjang ke arah Kristof. Dia memukulku tapi dengan cepat aku mencolok kerongkongannya. Hanya saja, pikiranku mulai nggak berjalan searah dengan tindakanku. Aku seharusnya kembali menyerangnya tapi tubuhku terhuyung ke belakang.

Julian menyelesaikan bagianku. Kristof ambruk saat pukulan mendarat di kedua sisi lehernya.

Hal berikutnya yang kusadari aku terkapar di jalan kerikil di sebrang makam Tobias. Setiap sarafku kesakitan. Kalau aku benar-benar mati, apa yang akan kuceritakan padanya nanti. Bahwa aku pengecut?

“Alexa! Hidungmu berdarah banyak banget.” aku baru sadar Julian telah memegangiku. Wajahnya juga bersimbah darah, kutebak lebih banyak daripada miliku.

“Kenapa Vivian lama sekali?!” teriak Julian frustasi. “Aku sudah menulis catatan kecil untuknya dan memasukan alat perekam penyitas nomor itu ke dalam tasnya diam-diam. Seharusnya dia sudah menghubungi polisi.”

Kenapa dia peduli kalau pun aku sekarat, dia bisa menghabisiku sekarang.

“Aku sudah kehabisan energi tapi aku nggak bakal mati sendiri kalau kau nggak membunuhku.” kataku.

Dengan perasaan terguncang Julian langsung menatapku marah. “Kalau aku memang berniat membunuhmu, aku nggak perlu mencoba memberitahumu pakai kode-kode itu kalau Kristof adalah serigala berbulu domba!”

Aku bersikeras. “Lalu kenapa kau malah membawaku kemari?”

Kepedihan mulai terpancar dari tatapannya. “Karena kupikir akan bagus kalau kau mengawali semua ini dengan Tobias dan akan mengakhirinya bersama dia juga. Setelah itu, kau bisa melanjutkan hidup bersama orang baru.”

Bagaimana bisa seorang pembunuhku justru jadi penyelamatku?

“Kau merasa kasihan kepadaku?” aku terus mendesak.

Julian bertemu pandang denganku. “Aku terbiasa hidup tanpa siapa pun. Sejak awal misi ini aku harus mencari tahu semua tentangmu, lalu aku merasa kalau ternyata kita hidup dengan cara yang sama. Semakin jauh lagi, aku seakan melihat diriku dalam dirimu. Aku nggak bisa membiarkanmu mati.”

Kata-kata itu nggak pernah kutuliskan di dalam catatan kecil yang dicurinya. Julian bukan seperti mengutip ucapan Tobias kalau kami punya kesamaan. Dia mengatakan itu dari yang dirasakannya, Julian punya visi yang sama seperti Tobias.

Sementara itu, suara-suara sirine membelah kesunyian pemakaman. Bala bantuan akhirnya datang. Vivian memang selalu terlambat, karena itu Tobias jarang mau melibatkannya. Tapi dia selalu bisa dipercaya. Kami nggak bisa percaya pada orang lain lagi kalau Vivian saja sudah nggak bisa dipercayai.

Nyeri di kepalaku berdenyar saat teringat perkataan Tobias, aku melirik ke arah nisannya. Sebuah misteri yang nggak terpecahkan akan jadi salah satu hal yang paling menyakiti di akhirat.

Aku berharap kehidupannya lebih baik di sana.

“Kita akan menghancurkan para penjahat ini dan menuntut kematian teman baikku?” tanyaku.

Dia nggak harus mempertaruhkan nyawanya berapa kali lagi bersama orang sepertiku. Tapi persetujuan yang nggak terucapkan seakan melintasi benak kami, tanpa keraguan Julian tersenyum. “Kita lakukan bersama-sama dengan benar.”

Aku mengangguk, aku nggak akan membuat kesalahan dengan meninggalkan siapa pun lagi kali ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pantai dan pandangan pertama
256      198     1     
Short Story
Cinta yang berawal dari pandangan pertama
Yang Tak Kasat Mata
440      292     4     
Short Story
Kehidupan Lidia yang menjadi korban bullying disekolah berubah saat dipacari Kenzo yang ternyata hanyalah seorang playboy yang tidak berbeda jauh dengan teman-temanya yang lain. Sampai dia harus membuang perasaannya sendiri dan merelakan pacarnya itu bersama gadis lain. Meskipun sudah membenci Ken hal-hal aneh mulai terjadi saat Ken justru bertemu dengan orang baru yang justru hampir membuatnya m...
Bulan di Musim Kemarau
428      309     0     
Short Story
Luna, gadis yang dua minggu lalu aku temui, tiba-tiba tidak terlihat lagi. Gadis yang sudah dua minggu menjadi teman berbagi cerita di malam hari itu lenyap.
Laci Meja
500      338     0     
Short Story
Bunga yang terletak di laci meja Cella akhir-akhir ini membuatnya resah. Dia pun mulai bertekad untuk mencari tahu siapa pelakunya dan untuk apa bunga ini dikirim. Apa ini....teror?
Love and Pain
618      381     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.
RISA (Adik Abang Tersayang)
971      559     5     
Short Story
Abang hidup dalam bayang Risa.
MANTRA KACA SENIN PAGI
3748      1351     1     
Romance
Waktu adalah waktu Lebih berharga dari permata Tak terlihat oleh mata Akan pergi dan tak pernah kembali Waktu adalah waktu Penyembuh luka bagi yang sakit Pengingat usia untuk berbuat baik Juga untuk mengisi kekosongan hati Waktu adalah waktu
Noterratus
414      289     2     
Short Story
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...
STORY ABOUT THREE BOYS AND A MAN
15009      2981     34     
Romance
Kehidupan Perkasa Bagus Hartawan, atau biasa disapa Bagus, kadang tidak sesuai dengan namanya. Cintanya dikhianati oleh gadis yang dikejar sampai ke Osaka, Jepang. Belum lagi, dia punya orang tua yang super konyol. Papinya. Dia adalah manusia paling happy sedunia, sekaligus paling tidak masuk akal. Bagus adalah anak pertama, tentu saja dia menjadi panutan bagi kedua adiknya- Anggun dan Faiz. Pan...
Strange and Beautiful
4803      1311     4     
Romance
Orang bilang bahwa masa-masa berat penikahan ada di usia 0-5 tahun, tapi Anin menolak mentah-mentah pernyataan itu. “Bukannya pengantin baru identik dengan hal-hal yang berbau manis?” pikirnya. Tapi Anin harus puas menelan perkataannya sendiri. Di usia pernikahannya dengan Hamas yang baru berumur sebulan, Anin sudah dibuat menyesal bukan main karena telah menerima pinangan Hamas. Di...