Palais Brongniart, Paris. Pukul 01:18 dini hari.
Kelima orang yang duduk mengelilingi meja bundar itu adalah orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi, dan kekuasaan penuh dalam dewan pemerintahan mereka masing-masing. Sebelumnya, mereka menerima telepon dari sambungan rahasia, lalu berkumpul dengan tergesa-gesa.
"Komplotan anak Stalin harus dihentikan!" yang berseru adalah seorang senator Prancis yang wajahnya sering muncul di televisi. "Kita tidak bisa membiarkan krisis ini berlanjut lebih lama lagi."
"Tapi kita bisa mampus jika gegabah," sahut satu-satunya perempuan yang duduk di sebelahnya. Aksennya khas orang Inggris.
"Yang dikatakan Winkle benar." Pria berwajah jantan dan mempesona di seberang meja menyahut. "Mereka memegang rahasia besar organisasi kita. Jika publik sampai tahu .... " kata-katanya diabiarkan menggantung di diudara.
Wajah-wajah tegang dalam ruangan itu membisu. Menyadari realitas muram di antara mereka.
"Tapi kita harus melakukan sesuatu." Si senator memecah keheningan. "Ekonomi kita sekarat. Jika krisis ini tidak segera ditanggulangi, peristiwa Mei 1968 akan kembali terulang. Bahkan bisa lebih buruk lagi."
"Masalahnya, kita sama sekali tidak tahu di mana benda itu." Sebuah suara menyela. "Sedangkan sedikit saja mereka curiga, mampuslah kita."
"Keparat!" geram si senator, "gara-gara benda sial itu, kita diperbudak mereka selama hampir setengah abad."
Kembali hening.
"Bagaimana pendapat Anda, Sir Pongo?" pria yang lain menyahut. Aksen Jermannya kental.
Yang ditanya menggeser duduknya, sama resahnya. "Bidak kita tewas sebelum kita mendapat informasi yang dibutuhkan." Dia menoleh ke arah si senator. "Satu-satunya harapan kita hanyalah Sir David Robbinson."